Kepulauan Mentawai terkenal akan objek wisata alam dan budayanya yang menarik perhatian para wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Selain dari sektor pariwisata dan budaya, Kepulauan Mentawai juga memiliki cerita kuliner yang menarik. Salah satunya adalah Toek, sejenis ulat kayu yang berasal dari Kayu Tumung, Kayu Bak-Bak, dan Kayu Etet. Selain Toek juga terdapat Batra atau Ulat sagu yang di dapatkan dari pohon sagu. Selain mengandung protein tinggi, Toek juga memiliki nilai ekonomi tinggi dimana satu batang Kayu Tumung dengan diameter kayu yang semakin besar, maka akan memiliki nilai jual yang semakin besar.
“Harganya berkisar 50rb per batang dengan panjang +70cm bahkan ada yang sampai 200rb sehingga dalam satu Pohon Tumung utuh bisa mencapai 1juta,” ujar Lia Anjelina, salah seorang perangkat desa Kaur Umum di Desa Nemnemleleu.
Sebelum bisa disantap, kayu-kayu yang menghasilkan Toek harus direndam terlebih dahulu. Dari hasil rendaman inilah, kayu-kayu tersebut akan menghasilkan Toek atau Ulat Kayu. Proses peremdaman kayu-kayu tersebut memakan waktu cukup lama, yaitu kurang lebih 3 bulan. Untuk menghasilkan Toek tentunya masyarakat adat Mentawai menggunakan kayu pilihan agar prosesnya bisa lebih cepat dan hasilnya juga baik. Kayu-kayu tersebut biasanya dibagi menjadi beberapa bagian dengan ukuran yang sudah ditentukan.
“Biasanya kurang lebih setengah meter. Lalu, masyarakat akan merendam kayu tersebut di sungai dan diikat dengan tali agar tidak hanyut,” ujar Lia.
Setelah 3 bulan, kayu yang direndam tersebut diangkat dan dibelah dengan kapak. Di dalam Kayu Tumung busuk inilah terdapat Toek. Biasanya setelah masa perendaman, para perempuan akan berkumpul di sungai. Astrid Nadila Putri atau di panggil Dila (19) menyebutkan bahwa Mutoek tidak hanya sekedar makan bersama namun juga saling bertukar informasi. Mutoek merupakan istilah yang digunakan para perempuan di komunitas adat Mentawai saat mereka makan Toek bersama.
“Katanya kandungan proteinnya tinggi, rasanya seperti susu, ada gurih gurihnya, makan Toek bersama ini bagi kami bukan cuma sekedar makan makan saja, tapi juga kami biasanya saling bertukar informasi tentang warga lainnya, tentang rumah tangga, tentang ladang, anak-anak. Mungkin kalau orang luar bilangnya gosip, jadi dengan Mutoek ini kami bisa saling bertukar informasi sesama perempuan, bahkan bisa saling belajar satu sama lain,” tambah Dila sambil menyantap Toek.
Proses pembuatan Toek juga sangat bergantung pada kondisi air sungai saat akan direndam. Apabila sedang musim kemarau, Toek tidak akan berisi karena kandungan air cenderung sedikit. Namun, saat musim hujan pun kualitas Toek tidak begitu baik karena kualitas airnya tidak bersih. Setelah direndam selama 3 bulan bahkan bisa mencapai 4 bulan, kayu-kayu tadi dibelah menggunakan kapak, dan ulat-ulat yang disebut Toek ini akan berkumpul di dalamnya selama proses pembusukan di dalam kayu.
Toek mirip seperti cacing tanah, warnanya cenderung putih pucat agak kemerahan. Masyarakat Mentawai biasanya menyantap Toek mentah-mentah, rasanya gurih. Namun ada juga yang menambahkan dengan perasan jeruk nipis, garam, dan irisan bawang merah mentah serta cabai rawit.
Dalam proses pembuatan Toek, ada beberapa wilayah menerapkan aturan di masyarakat adat Mentawai, seperti kaum perempuan yang sedang menstruasi dilarang terlibat dalam proses pembuatan. Selain mendukung komoditi pangan lokal, Toek juga menjadi simbol dari kebersamaan, kekompakan, dan juga keharmonisan sesama masyarakat. Pembagian peran antara laki-laki dan perempuan juga nampak dalam proses pembuatan Toek. Lia Anjelina (31) menyebutkan bahwa Toek menunjukkan kerjasama antar perempuan dan laki-laki. Laki-laki biasanya akan bertugas memotong kayu sebagai bahan pembuatan untuk membuat Toek hingga proses perendaman di sungai.
“Perempuan akan bertugas setelah proses perendaman selesai. Biasanya kami akan ke sungai dan membelah kayu yang sudah terisi Toek,” tambah Lia.
Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) menyelenggarakan diskusi praktik pangan lokal di Desa Nemnemleleu yang melibatkan kelompok perempuan adat dari 3 dusun, yaitu Dusun Nemnemleleu Tengah, Utara dan Selatan. Dalam diskusi ini, Toek menjadi salah satu topik yang disebut sebagai salah satu pangan lokal Kepulauan Mentawai yang memiliki kadar protein dan lemak yang baik bagi tubuh. Tentu saja selain ikan yang merupakan hasil komoditi utama di wilayah yang sebagaian besar merupakan kepulauan.
Bagi masyarakat Suku Mentawai, Toek sudah menjadi kudapan sehari-hari dan menjadi sebuah simbol dari kekompakan antar penduduk terutama kaum perempuan dan remaja putri. Ketika mereka berkumpul biasanya akan menjadi ramai ketika ngobrol sambil makan Toek.
Dalam rangkaian kegiatan ini, peserta tidak hanya berdiskusi namun juga diajak untuk mengolah beberapa komoditi seperti keladi, pisang menjadi kue kering dan roti. Kegiatan ini bertujuan untuk mendorong komunitas terutama kelompok perempuan untuk bisa mengembangkan potensi yang dimiliki daerahnya dalam mendukung gizi dan ekonomi keluarga.
“Biasanya hasil olahan kelompok ini dipasarkan untuk punen atau pesta Adat seputaran desa saja dan beberapa kali diorder oleh Perangkat Desa untuk kegiatan pertemuan di desa,” ujar salah satu peserta diskusi.
“Saya berharap dengan semakin mengenal ragam dan potensi lokal, komoditas pangan di Kepulauan Mentawai semakin berdaulat. Sehingga mengurangi ketergantungan pada makanan-makanan instan,” ujar Mina selaku Bendahara kelompok SL (sekolah Lapang) OMB Silasi saat diskusi.