Persoalan perubahan iklim kini menjadi tantangan terbesar yang dihadapi hampir setiap negara. Perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia menimbulkan dampak kerusakan pada alam dan manusia, seperti bencana alam, krisis sosial, krisis ekonomi dan lain-lain. Degradasi ekosistem terjadi akibat aktivitas manusia seperti penggunaan lahan dan sumber daya alam yang tidak berkelanjutan, deforestasi, dan lain-lain.
Dalam mengatasi perubahan iklim, pengurangan emisi karbon menjadi salah satu solusi yang ditawarkan. Hal ini yang juga menjadi salah satu keputusan dari COP 29 yang baru-baru ini terselenggara. Dalam perundingan tersebut, negara-negara menyepakati bahwa untuk mengatasi perubahan iklim perlu upaya pengurangan karbon berbasis alam (nature-based solution) dan mendorong perlindungan hak komunitas terdampak.
Karbon berperan penting dalam mengatasi perubahan iklim karena karbon, khususnya dalam bentuk karbon dioksida (CO₂) adalah salah satu gas rumah kaca utama yang berkontribusi pada pemanasan global. Mengurangi kadar CO₂ di atmosfer adalah langkah kunci dalam mitigasi perubahan iklim.
Dikutip dari laman Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) (2023), disebutkan bahwa kawasan hutan Indonesia Indonesia pada tahun 2022 mencapai 127.795.306 hektar dengan panjang batas 284.033,3 km. Hal ini memproyeksikan sektor kehutanan dan penggunaan lahan akan berkontribusi hampir sekitar 60% dari target penurunan emisi gas rumah kaca yang ingin dicapai Indonesia.
Karbon dalam Konteks Lingkungan
Karbon adalah elemen yang terdapat dalam berbagai bentuk, baik dalam senyawa organik (seperti protein, karbohidrat, dan lemak) maupun senyawa anorganik (seperti karbon dioksida dalam atmosfer). Dikutip dari laman lingungihutan.com salah satu bentuk karbon yang paling dikenal dalam konteks perubahan iklim adalah karbon dioksida (CO2), yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan aktivitas industri lainnya. CO2 berfungsi sebagai gas rumah kaca yang menyerap panas di atmosfer bumi, sehingga menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim.
Namun, karbon juga memiliki kontribusi dalam ekosistem bumi. Proses fotosintesis pada tanaman mengubah karbon dioksida (CO2) menjadi oksigen dan bahan organik yang berguna bagi makhluk hidup lainnya. Tanaman, pohon, lautan berfungsi sebagai penyerap karbon yang sangat penting, karena mereka menyerap CO2 dari atmosfer dan menyimpannya dalam bentuk biomassa. Hutan tropis, misalnya, merupakan penyerap karbon yang besar dan memainkan peran krusial dalam menjaga keseimbangan karbon di atmosfer. Oleh sebab itu, hutan menjadi salah satu kunci penting dalam mengurangi emisi karbon penyebab perubahan iklim.
Hutan dan Masyarakat Adat
Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), masyarakat adat adalah kelompok-kelompok manusia yang telah lama tinggal dan bergantung pada ekosistem alam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Mereka memiliki hubungan yang sangat erat dengan alam, dan menjadi bagian integral dari identitas, budaya, dan kehidupan mereka. Masyarakat adat biasanya hidup di wilayah yang kaya akan keanekaragaman hayati, seperti hutan tropis dan pedalaman, di mana mereka memainkan peran penting dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Sebagai penjaga hutan dan ekosistem alam lainnya, masyarakat adat telah lama mengembangkan praktik-praktik pengelolaan lingkungan yang berbasis pada kearifan lokal dan pengetahuan tradisional. Praktik-praktik ini sering kali berfokus pada konservasi, seperti rotasi penanaman, pembatasan perburuan, serta pelestarian habitat-habitat penting untuk keberlangsungan spesies. Dengan cara ini, mereka membantu menjaga keseimbangan alam, yang berperan penting dalam pengaturan siklus karbon.
Oleh sebab itu, masyarakat adat memiliki peran yang sangat penting dalam mengatur dan menjaga penyimpanan karbon di hutan dan tanah mereka. Hutan-hutan adat, yang sering kali dikelola secara tradisional, berfungsi sebagai penyerap karbon yang besar. Ketika hutan ditebang atau rusak, karbon yang tersimpan dalam pohon dan tanah akan terlepas ke atmosfer dalam bentuk karbon dioksida, yang memperburuk pemanasan global. Pelestarian hutan adat dapat membantu mengurangi emisi karbon yang berbahaya bagi iklim bumi.
Meski demikian, dalam praktik saat ini, kebijakan pemerintah melalui Proyek Strategis Nasional justru mendorong praktik deforestasi, seperti pembangunan Waduk Lambo di Kabupaten Nagekeo serta pembangunan Food Estate di Merauke, Papua. Pembangunan ini justru menyebabkan perusakan lahan yang mengalihfungsikan hutan. Hutan yang biasanya menjadi sumber komoditi mereka hidup sehari-hari dan menjadi tempat untuk mendukung pelaksanaan ritual hiang karena pembangunan. Ketika hutan hilang, penyimpanan karbon yang ada di dalamnya juga hilang, sehingga meningkatkan emisi CO2.
Seperti disebutkan di atas, hutan dan masyarakat adat memiliki ikatan yang sangat kuat. Mereka melihat hutan bukan sebagai komoditi yang hanya memberikan keuntungan, namun sebagai rumah dan bagian integral dalam struktur hidup masyarakat adat. Masyarakat adat yang hidup bertahun-tahun juga membangun pengetahuan adat yang diwariskan dari leluhur terkait pengelolaan SDA. Hal ini merupakan praktik konservasi berbasis masyarakat adat dan lebih efektif.
Masyarakat Adat dalam Mitigasi Perubahan Iklim
Masyarakat adat memiliki pengetahuan lokal yang sangat berharga tentang cara-cara mengelola hutan yang berkelanjutan. Oleh sebab itu, kesepakatan dalam COP 29 lalu untuk melindungi hak komunitas yang yang rentan terdampak dalam perubahan iklim seperti masyarakat adat wajib menjadi prioritas, karena praktik lokal mereka dalam melindungi dan mengelola hutan telah terbukti mampu mengurangi emisi karbon dan mendukung mitigasi perubahan iklim.
Berikut beberapa contoh praktik baik dari masyarakat adat dukungan Program Estungkara, di komunitas adat To Kulawi, dikenal istilah Pampa, yaitu satu zonasi tradisional masyarakat adat, otoritas pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang dimiliki kaum perempuan. Pampa merupakan ‘dapur kedua’ bagi kaum perempuan, tempat mereka menanam berbagai macam tanaman, seperti; ubi kayu, ubi jalar, sayur-sayuran, serta tanaman penghasil bumbu dapur seperti bawang, rica, tomat. Juga tanaman buah-buahan, coklat, kayu-kayuan, pandan serta tanaman untuk bahan kerajinan.
Ada juga di komunitas adat Kaluppini di Kabupaten Enrekang, mereka mengelola lahan menggunakan sistem agrosilvopastura yang merupakan integrasi antara praktik pertanian (agro), kehutanan (silvo), dan peternakan (pastura). Sistem ini menggunakan bahan-bahan yang sudah tersedia dari komunitas dan dapat mengurangi deforestasi karena tidak perlu membuka lahan baru serta meningkatkan kapasitas hutan untuk menyerap karbon.
Oleh sebab itu dengan masuknya Masuknya Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 dapat memberikan pengakuan hak atas tanah dan perjuangan melawan ekses pembangunan yang merusak lingkungan bagi masyarakat adat. Dengan menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat dalam mengelola tanah dan sumber daya alam mereka, ini bisa menjadi salah satu langkah penting upaya mengurangi dampak perubahan iklim.
Dengan pengelolaan lingkungan dan hutan yang baik, alam juga memberikan ruang hidup yang baik bagi manusia. RUU Masyarakat Adat diharapkan menjadi payung hukum dalam melindungi pengetahuan dan praktik adat yang dapat berkontribusi penting dalam menjaga keseimbangan karbon di bumi. Masyarakat adat adalah penjaga hutan dan pengelola sumber daya alam yang dapat membantu mengurangi emisi karbon dan menjaga keberlanjutan ekosistem. Oleh karena itu, melindungi hak-hak masyarakat adat adalah langkah yang sangat penting untuk menjaga bumi dan memitigasi dampak perubahan iklim.