Lima Dampak PSN Bagi Kelangsungan Hidup Masyarakat Adat

Belum usai persoalan konflik yang muncul akibat pembangunan proyek strategis nasional (PSN) Waduk Mbay Lambo di Kabupaten Nagekeo Flore Timur untuk penlok 1, bulan September 2024 lalu sudah mulai dilanjutkan dengan penlok 2. Bahkan di sejumlah wilayah lain seperti Merauke, Papua Selatan, saat ini tengah terancam dengan rencana pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) food estate berupa konsesi lahan pertanian, perkebunan tebu dan pabrik bioethanol. Pembangunan ini akan membutuhkan lahan seluas 2,29 juta hektar atau setara dengan 70 kali luas Jakarta.

Seperti halnya PSN Waduk Mbay Lambo yang diharapkan dapat meningkatkan pola tanam hingga produktivitas padi, PSN Food Estate juga bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional sebagai penyumbang stok pangan nasional. Cita-cita mulia ini, ternyata dalam praktiknya memunculkan banyak persoalan sosial, terutama bagi masyarakat adat yang hidup di lahan yang digunakan untuk proyek pembangunan tersebut.

Masyarakat Adat adalah mereka yang hidup di suatu wilayah secara turun temurun dan memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alamnya. Sementara itu, PSN seringkali dilaksanakan di wilayah yang menjadi ruang hidup mereka, seperti pembangunan Waduk Mbay Lambo yang dibangun di atas lahan masyarakat adat Suku Redu di Desa Rendu Butowe, Desa Ulupulu, dan Desa Labolewa. Serta pembangunan food estate yang mengancam lahan hidup masyarakat adat di Kabupaten Merauke, Papua Selatan.

Bulan Agustus 2024 lalu, KEMITRAAN melalui program Estungkara melakukan kegiatan jurnalis visit bersama 7 media nasional untuk melihat bagaimana Proyek Strategis Nasional untuk Waduk Mbay Lambo di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur berdampak pada masyarakat di sekitar pembangunan.

“Kami sebenernya mau tetap tinggal di sini. Kami sejak awal menolak pembangunan waduk ini karena merusak adat budaya kami di sini. Tanah, lahan pertanian, kebun dan padang untuk menggembalakan ternak hilang. Bahkan kami kehilangan bahan baku untuk membuat tenun dan anyaman karena hutan kami sudah tergusur,” ujar Hermina Mawa salah seorang warga dan masyarakat adat Suku Redu di Desa Rendu Butowe saat ditemui rombongan jurnalis visit.

Selama kegiatan kunjungan dan interaksi dengan warga masyarakat, tidak sedikit yang mengeluhkan pembangunan waduk tersebut karena berdampak pada bagaimana mereka melanjutkan hidup kedepan. Berikut merupakan lima hal yang dapat dilihat dari dampak pembangunan PSN Waduk Lambo yang juga secara umum dialami oleh masyarakat adat yang terdampak PSN.

1. Hilangnya Ruang Hidup Sebagai Masyarakat Adat
Masyarakat adat adalah penjaga sumber daya alam dan hutan adatnya terbaik. Sejak dulu, mereka tinggal dan menetap di wilayah dan bergantung hidup sepenuhnya dari hasil sumbar daya yang dihasilkan di wilayahnya. Sama seperti warga Desa Rendu Butowe yang menggantungkan hidup dari ladang, mulai dari menanam padi, singkong, jagung, sampai tanaman berumur panjang. Hasil berladang ini tidak hanya untuk kebutuhan sehari-hari, namun juga kelebihannya mereka jual ke kota untuk menambah pemasukan.

Dengan adanya PSN yang menggusur mereka, maka lokasi yang biasa digunakan untuk berladang hilang. Tidak sedikit yang pada akhirnya beralih profesi dengan mencari pekerjaan ke kota atau malah kehilangan mata pencaharian karena tidak ada keahlian lain yang dimiliki. Bahkan kompensasi “ganti untung” yang diberikan tidak mampu menutup kerugian yang dialami masyarakat adat. Mereka pada akhirnya harus berpindah ke wilayah lain dan memulai hidup yang baru.

2. Hilangnya Mata Pencaharian Masyarakat Adat
Hilang ruang hidup tentu secara tidak langsung berdampak pada mata pencaharian masyarakat adat. Selain ruang hidup, mereka juga kehilangan mata pencaharian yang mayoritas bekerja di ladang dan bertani. Mereka yang seumur hidup bekerja di ladang terpaksa banting setir mencari pekerjaan di kota karena tidak ada lagi lahan yang bisa mereka olah. Bagi perempuan adat, kondisi ini menjadi beban ganda. Pasalnya mereka tidak memiliki ruang gerak bebas seperti laki-laki sehingga tak jarang mereka tidak memiliki kesempatan yang sama seperti laki-laki.

Meski demikian bagi perempuan adat di Kabupaten Nagekeo, mereka memiliki tenun sebagai salah satu strategi bertahan. Warna kuning yang melambangkan emas dan hitam yang melambangkan tanah menjadi corak khas dalam kain tenun masyarakat adat di Nagekeo.

3. Rusaknya Relasi Sosial Masyarakat Adat
Masyarakat adat hidup bersama secara komunal dan terikat akan pola aturan adat yang sudah terbangun erat selama ratusan tahun. Dampak PSN melalui skema “ganti untung” yang diberikan pemerintah dalam praktiknya juga turut merusak pola relasi masyarakat adat. Dalam kasus PSN Waduk Mbay Lambo di Kabupaten Nagekeo, sejumlah konflik relasi sosial muncul karena dipicu pro-kontra terkait penerimaan dan penolakan pembangunan, saling klaim lahan demi uang kompensasi tersebut; serta iri karena hingga saat ini masih belum ada yang belum mendapatkan “ganti untung” tersebut.

“Sebelumnya tak ada konflik. Setelah ada terima ganti untung ini muncul konflik mereka yang mendukung pembangunan. Banyak anak-anak muda yang berani melawan tetua adat hanya untuk dapat kompensasi,” kata Kepala Suku Nakabane saat ditemui tim jurnalis visit KEMITRAAN.

4. Hilangnya Adat dan Budaya Masyarakat Adat
Masyarakat adat erat kaitanya dengan tradisi, dan ritual. Dalam menjalankan proses ritual, penggunaan komoditi tanaman tertentu yang biasa diambil dari hitan dan air tidak pernah lepas dari proses ritual tersebut. Seperti ritual Tau Ae, dimana ini merupakan ritual mandi di kali yang harus dilakukan seorang ayah yang putrinya beranjak dewasa dan masuk waktu menikah. Ritual ini sebagai simbol pembersihan diri. Kali yang biasa digunakan untuk menjalankan ritual ini pun juga terdampak pembangunan Waduk Mbay Lambo.

Selain itu proses ritual juga menggunakan perkakas-perkakas yang terbuat dari bahan alami, seperti anyaman. Bahan-bahan untuk membuat anyaman itu pun kini sudah semakin langka karena terbuat dari daun pohon lontar yang lokasi tumbuhnya juga akan terendam genangan waduk.

5. Kerusakan Ekologis
Tujuan utama PSN adalah untuk meningkatkan pembangunan melalui pertumbuhan ekonomi. Namun nyatanya menjadi boomerang dimana hal ini kerap menyebabkan kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan mampu meningkatkan emisi gas rumah kaca, yang secara kumulatif meningkatkan krisis ekologi. Krisis ekologi ini mencerminkan ketidakseimbangan hubungan manusia dengan alam yang sudah sangat parah. Masyarakat adat sebagai garda terdepan penjaga alam dan hutanlah yang merasakan dampaknya secara langsung.

Keberadaan masyarakat adat yang hidup dalam harmoni dengan alam dengan kearifan lokalnya, menjadi kunci penting pelestarian lingkungan. Banyak nilai dan praktik tradisional mereka yang justru mendukung keberlanjutan lingkungan. Kedekatan mereka dengan alam, membuat mereka jauh lebih paham akan keseimbangan ekologi.

“Semoga alam tidak marah, kalau hutan hilang, tanaman-tanaman hilang,” ujar Mateus Bhui, Kepala Woe Dhiri Ke’o, Suku Redu, Masyarakat Adat di Desa Rendu Butowe saat bercerita dengan tim jurnalis.

Peran penting masyarakat adat tersebut dalam kenyataannya sering mendapat tantangan dari pemerintah sendiri. Berkedok program pembangunan untuk meningkatkan ekonomi dan investasi, dalam praktiknya tanah dan sumber daya alam yang dikelola oleh masyarakat adat justru terampas dan mengancam tradisi dan keseimbangan ekologis.

Tak hanya PSN pembangunan Waduk Mbay Lambo di Nagekeo, PSN Food Estate yang tengah dimulai di Merauke juga mendapat tantangan masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil. Kelima dampak yang disebutkan di atas, juga dapat terjadi di lokasi proyek pembangunan kedepan. Apabila tujuan Proyek Strategis Nasional tersebut untuk meningkatkan ketahanan pangan, kesejahteraan dan ekonomi, lantas mengapa dalam praktiknya justru mengabaikan hak sosial individu yang telah lama berdaulat di wilayah tersebut?

Penulis :

Melya