Acara pendidikan publik yang diselenggarakan oleh Kemitraan bersama Yayasan Jurnal Perempuan dan Universitas Katolik Atma Jaya, dengan dukungan Program Estungkara, menjadi momen penting dalam diskusi terkait isu penghapusan kekerasan seksual dan keadilan gender.
Acara ini berlangsung pada Selasa, 10 September 2024, di Gedung Yustinus Universitas Katolik Atma Jaya. Mengangkat tema yang krusial dan relevan, acara ini mengajak masyarakat untuk lebih mendalami persoalan yang sering kali sulit diungkapkan, khususnya di kalangan masyarakat adat.
Pendidikan Publik ini menghadirkan beberapa narasumber. Seperti Retno Daru Dewi dari redaksi Jurnal Perempuan, L Nurtjahyo, dosen dari Universitas Indonesia, Asmin Fransiska, Dekan Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, serta Tracy Pasaribu dari Kemitraan. Selain itu, hadir pula M. Zamzam Fauzanafi, peneliti dari LAURA UGM, sebagai penanggap. Acara ini pun diawali dengan sambutan hangat dari Wakil Rektor Bidang Inovasi, Penelitian, dan Kerja Sama Universitas Katolik Atma Jaya, Yanti, serta Abby Gina Boang Manalu, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan.
Salah satu poin utama yang menjadi sorotan dalam acara ini adalah betapa sulitnya mendiskusikan isu kekerasan seksual di dalam komunitas adat. Tantangan ini muncul dari berbagai batasan budaya dan nilai-nilai yang tertanam kuat di masyarakat adat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh LAURA UGM dan Kemitraan, di Sumba Timur dan Mentawai, ditemukan bahwa bentuk kekerasan seksual di masyarakat adat telah dikategorikan oleh tetua adat dan perempuan adat itu sendiri. Mereka mampu membedakan antara kekerasan seksual berat, seperti pemerkosaan, dan kekerasan seksual ringan. Mmeskipun penanganan kasus-kasus tersebut masih sangat terikat dengan norma adat.
Di Desa Wanggameti, Sumba Timur, misalnya, kekerasan seksual berat sering kali terjadi dalam lingkup keluarga. Baik keluarga kandung maupun kerabat jauh. Anak-anak desa yang harus pergi ke kota, untuk melanjutkan sekolah kerap menjadi korban pemerkosaan ketika tinggal bersama saudara atau kerabat.
Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari, anak-anak perempuan yang tinggal di rumah untuk membantu pekerjaan rumah tangga seringkali menghadapi ketimpangan relasi kuasa. Terutama dengan adanya sistem kasta di masyarakat adat Sumba Timur, yakni maramba dan ata. Kelompok maramba, yang memiliki status sosial lebih tinggi, seringkali menjadi pelaku kekerasan. Ditambah korban sulit untuk berbicara karena pelaku memiliki kekuasaan dalam masyarakat.
Hal yang lebih menarik adalah bahwa meskipun masyarakat adat Sumba Timur telah mampu mengenali bentuk kekerasan seksual, stigma dan hambatan sosial masih sangat kuat, sehingga korban enggan berbicara. Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan di Desa Malancan, Mentawai, ditemukan bahwa kasus kekerasan seksual telah masuk dalam peraturan desa (Perdes Malancan No. 1 Tahun 2022). Hal ini menunjukkan adanya kesadaran hukum yang lebih progresif di desa tersebut. Meskipun permasalahan utama tetap berada pada hierarki kekuasaan dan manipulasi hukum adat.
Dalam konteks penghapusan kekerasan seksual, pembahasan tentang “ruang aman” bagi korban menjadi sangat penting. Namun, menurut Tracy Pasaribu, banyak yang belum memahami konsep ruang aman ini secara mendalam. Ruang aman bukan sekadar tempat fisik, tetapi juga ruang di mana relasi kuasa dan aktivitas terjadi tanpa ada rasa takut. Di masyarakat adat, tempat seringkali masih diartikan secara fisik. Sementara kekerasan seksual yang dialami korban dapat berupa fisik maupun emosional.
Ruang aman harus mampu menciptakan rasa nyaman, di mana korban bisa berbicara tanpa takut akan stigma atau sanksi sosial. Contoh nyata yang diungkapkan dalam diskusi adalah bagaimana perempuan adat di Wanggameti, Sumba Timur, berani berbicara tentang pengalaman mereka. Meskipun banyak yang melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Mereka mendatangi para peneliti di malam hari, atau berbicara sambil bekerja di ladang. Karena itulah satu-satunya ruang di mana mereka merasa aman.
Konsep ruang aman juga harus diterapkan dalam forum-forum resmi seperti Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes) dan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Dusun (Musrenbangdus). Sayangnya, forum-forum ini sering kali masih didominasi oleh pelaku kekerasan atau mereka yang memiliki relasi kuasa kuat. Sehingga korban merasa terintimidasi.
Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk menciptakan ruang diskusi yang benar-benar aman dan inklusif bagi perempuan adat. Salah satu tantangan terbesar adalah mengubah norma sosial yang ada. Agar perempuan adat bisa lebih leluasa menyuarakan pengalaman mereka tanpa rasa takut.
Penelitian ini memberikan gambaran yang jelas tentang kompleksitas kekerasan seksual di masyarakat adat, serta pentingnya mendukung ruang aman bagi korban. Dengan keterlibatan berbagai pihak, termasuk akademisi, peneliti, dan komunitas lokal, diharapkan isu kekerasan seksual dapat diatasi secara lebih komprehensif. Sehingga perempuan adat dapat memiliki keberanian untuk berbicara dan berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan di komunitas mereka.