Di tahun 2024 ada sejumlah penyelenggaraan forum internasional yang melibatkan banyak pihak termasuk para pengambil kebijakan terkait persoalan iklim dan masyarakat adat. Diantaranya adalah World Urban Forum (WUF) di Mesir pada 4-8 November 2024 dan Conference of the Parties (COP16 dan COP29) di tahun yang sama. Dalam ketiga forum ini, pembahasan mengenai masyarakat adat menjadi salah satu fokus yang didiskusikan.
Masyarakat adat dengan kekayaan pengetahuannya adalah mereka yang berada di garis depan dalam menghadapi tantangan perubahan iklim, ketidaksetaraan, dan pengembangan perkotaan. Pengetahuan adat secara turun temurun dilihat sebagai sebuah metode berkelanjutan baik terhadap lingkungan, dan keberlanjutan tradisi dan budaya. Lantas apa saja yang dibahas dalam ketiga forum ini?
World Urban Forum 2024
Di WUF 2024 salah satu tema yang didiskusikan adalah pentingnya mengintegrasikan suara dan hak masyarakat adat dalam perencanaan dan pembangunan kota yang berkelanjutan. Masyarakat adat, yang kerap tinggal di wilayah perbatasan kota atau daerah juga turut terdampak perubahan iklim. Mereka dinilai memiliki pengetahuan lokal yang berharga dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan pembangunan yang inklusif. Sehingga dalam diskusi upaya pengakuan terhadap hak masyarakat adat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan penting didorong. Suara mereka menjadi kunci penting dalam mewujudkan perencanaan ruang kota dan pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Topik yang diangkat dalam forum ini adalah “Local Actions for Sustainable Cities and Communities” (Aksi Lokal untuk Kota dan Komunitas yang Berkelanjutan). Topik ini ingin menekankan bahwa ‘rumah’ sebagai tempat tinggal tidak hanya mencakup ruang fisik, tetapi juga kerangka budaya, sosial, dan lingkungan yang mendefinisikan komunitas.
Dalam diskusi ini, salah satu narasumber Nancy Porsanger anti, State Secretary to the Norwegian Minister of Local Government and Regional Development. Mengatakan bahwa masyarakat adat, di tengah tantangan serius seperti keterbatasan akses layanan, telah terbukti memainkan peran penting dalam memanfaatkan pengetahuan dan tradisi lokal untuk beradaptasi secara berkelanjutan dengan krisis modern.
Menurut Nancy perlu upaya keberlanjutan di level global untuk pengelolaan lingkungan, dan menjaga ketahanan praktik budaya. Kemampuan masyarakat adat untuk mempertahankan warisan mereka, sambil secara inovatif menghadapi isu-isu global seperti perubahan iklim dan pembangunan memberikan pelajaran berharga dalam keberlanjutan yang sangat penting untuk perencanaan dan pembangunan.
Conference of the Parties 16 (COP16)
COP16 diharapkan mampu memperkuat komitmen negara-negara peserta dalam mencapai target pengurangan emisi global, serta memberikan perhatian khusus pada perlindungan masyarakat adat yang sering kali menjadi kelompok paling rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Pada hari terakhir KTT Keanekaragaman Hayati COP16, Indonesia juga menyatakan sikap mendukung terbentuknya badan permanen masyarakat adat atau subsidiary body on Article 8j. Badan ini dibentuk untuk mendukung pemenuhan hak-hak masyarakat adat dan lokal dalam rangka implementasi Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global atau Global Biodiversity Framework (GBF).
Pembentukan badan permanen ini berkaitan dengan penghormatan, perlindungan, pengakuan pengetahuan tradisional, dan inovasi dan praktik yang dilakukan masyarakat adat. Berbagai hal tersebut relevan dengan prinsip-prinsip konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dari keanekaragaman hayati dengan menghormati pengetahuan-pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat adat. Badan permanen ini menunjukkan bentuk keberpihakan terhadap masyarakat adat sebagai aktor penting sebagai penjaga keanekaragaman hayati sebagai upaya mengatasi persoalan perubahan iklim yang kian nyata.
Conference of the Parties 29 (COP29)
Masyarakat adat hidup dekat dengan alam, hal ini yang membuat mereka sangat rentan terhadap bencana alam, hilangnya tanah adat, serta degradasi lingkungan yang disebabkan oleh eksploitasi sumber daya alam. Perhatian terhadap hak-hak masyarakat adat perlu memperhatikan konteks keberagaman budaya dan ekologi.
Kaitan dengan masyarakat adat, COP29 mengangkat topik mengenai NbS (Nature-based Solutions) atau solusi berbasis pengetahuan lokal. Hal ini menjadi fokus penting dalam memberikan solusi untuk meningkatkan keanekaragaman hayati dan mengatasi tantangan iklim. COP29 menekankan pentingnya meningkatkan skala proyek-proyek NbS seperti reforestasi, restorasi ekosistem, dan penggunaan lahan yang berkelanjutan.
COP29 juga disebut sebagai COP Finance karena bahasan utamanya adalah mobilisasi pendanaan iklim. Salah satu target pendanaan baru dalam pertemuan itu adalah New Collective and Quantified Goal (NCQG). Pendanaan iklim bukan hanya soal mendapatkan uang, tetapi memastikan pendanaan yang adil terutama bagi komunitas adat sendiri. Koalisi CSO dari sejumlah lembaga di Indonesia mendorong agar penyaluran dana iklim diberikan secara langsung bagi masyarakat adat dan lokal sebagai solusi efektif dalam upaya meningkatkan ketahanan sosial dan ekosistem dari risiko krisis iklim. Masyarakat adat lebih memahami kondisi ruang hidup dan tantangan keanekaragaman hayati sehingga memungkinkan bagi mereka untuk menerapkan solusi yang efektif dan praktik berkelanjutan
Pembahasan-pembahasan ini menunjukkan bahwa pelibatan masyarakat adat penting, tidak hanya dalam proses mitigasi, tetapi juga memberi ruang bagi mereka untuk terlibat dalam pembentukan kebijakan terkait iklim dan lingkungan. Keterlibatan masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan menjadi kunci untuk memastikan bahwa solusi yang diusulkan adil, inklusif, serta memperhatikan keberagaman pengetahuan serta tradisi yang telah terbukti efektif dalam menjaga bumi dan lingkungannya.
Dalam ketiga forum ini, satu benang lurus yang bisa ditarik adalah mendengar lebih banyak suara dari masyarakat adat sebagai subyek utama penjaga kelestarian lingkungan dan iklim. Sehingga rumusan kebijakan dan ruang yang mengakomodir suara-suara komunitas adat perlu direalisasikan. Harapannya forum-forum tersebut dapat direalisasikan melalui kebijakan yang inklusif di tiap negara termasuk Indonesia.