Tiga Petani Rukun Pakel Divonis Hukuman Penjara

Dilansir dari catatan kertas Wahana Lingkungan (WALHI) Jawa Timur tahun 2021, sejak tahun 1925, warga Pakel, Licin, Banyuwangi mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran kepada pemerintah kolonial Belanda. Empat tahun kemudian, permohonan tersebut dikabulkan. Mereka diberikan hak membuka lahan kawasan hutan seluas 4000 Bahu (3000 hektar) oleh Bupati Banyuwangi, R.A.A.M. Notohadi Suryo. Akan tetapi, dalam perjalanannya, warga rukun pakel tetap mendapatkan berbagai tindak kriminal dari pihak aparat. Juga pemerintahan Belanda dan Jepang saat itu.

Warga Rukun Pakel tetap berjuang untuk mendapatkan kepastian penuh atas hak pembukaan hutan yang tertuang dalam akta 1929. Ditengah ketidakpastian tersebut, warga rukun pakel bercocok tanam di area wilayah Taman Glugoh–masuk dalam wilayah akta 1929–untuk bertahan hidup. Tahun 1980-an, perusahaan perkebunan milik PT Bumi Sari melakukan klaim hak milik mereka. Padahal jika merujuk SK Kementerian Dalam Negeri, tertanggal 13 Desember 1985, nomor SK.35/HGU/DA/85, PT Bumi Sari disebutkan hanya mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) dengan luas 1189,81 hektar, yang terletak di Kluncing dan Songgon.

PT Bumi Sari justru terus melakukan kegiatan penanaman dan menguasai seluruh wilayah hingga desa rukun pakel. Inilah awal mula, konflik dan perjuangan warga rukun pakel melawan pemodal atas eksploitasi yang dilakukan. Mereka kerap mendapatkan kekerasan dan penindasan yang struktural hingga saat ini. Kehilangan atas hak tanah, kehilangan atas ruang hidup mereka yang sudah ada turun-temurun.

Sejak tahun 2001 sampai hari ini, warga rukun pakel mencoba melakukan reclaiming. Mereka membangun posko perjuangan. Setidaknya 7 posko perjuangan dan 1 musollah telah terbangun di atas lahan perjuangan tersebut. Warga Pakel, menggelar kegiatan istiqosah, pengajian, bercocok tanam dan diskusi atas perjuangan secara rutin. Tiap malam warga rukun pakel juga tidur di posko secara bergantian.

Lagi, teror dan intimidasi justru yang didapatkan. Hasil tanam dibakar dan dibabat oleh sekelompok orang. Padahal desa rukun pakel telah menjadi korban ketidakadilan dalam penguasaan tanah yang mengakibatkan defisit kepemilikan lahan oleh warganya. Dari luas total lahan desa rukun pakel sebesar 1.309,7 hektar, hanya sekitar 321,6 hektar yang dapat dikelola. Isu ini mencuat setelah dilakukan analisis peta kawasan yang menunjukkan kepemilikan tanah oleh HGU PT Bumi Sari seluas 271,6 hektar. Pun, Perhutani KPH Banyuwangi Barat sebesar 716,5 hektar.

Upaya perjuangan warga untuk mendapatkan hak atas tanah pun memunculkan kasus-kasus yang mendapatkan perhatian, bahkan di laporan ke ATR/BPN. Tampaknya, upaya penyelesaian konflik ini belum mendapatkan respons yang memadai, terlebih dengan berbagai ketidakpastian yang mengelilingi masalah ini.

Ironinya, aparat keamanan justru melakukan tindakan kriminal. Bahkan penangkapan sewenang-wenang kepada tiga warga rukun pakel yakni, Mulyadi, Suwarno dan Untung, yang mempertahankan tanah mereka. Kasus ini jelas menunjukkan tindakan sewenang-wenang dalam penangkapan. Di mana tidak adanya surat tugas yang mencantumkan identitas, pelaksanaan penangkapan saat proses praperadilan tengah berlangsung. Serta penetapan tersangka yang tidak sah berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Hingga akhirnya, Pengadilan Negeri Banyuwangi memvonis hukuman 5 tahun 6 bulan penjara kepada Trio Pakel. Kasus ini semakin menunjukkan sistem peradilan mampu mengabaikan konteks kompleks di balik persoalan agraria yang berlarut-larut.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi sepertinya enggan melihat konteks konflik agraria yang tengah terjadi. Padahal, dalam kasus sebelumnya, pengadilan telah mempertimbangkan adanya konflik agraria sebagai alasan untuk membebaskan terdakwa. Namun, dalam kasus Trio Pakel, sikap praduga bersalah nampaknya telah menghantui proses persidangan sejak awal.

Putusan pengadilan yang memvonis trio petani Desa Pakel juga menunjukkan inkonsistensi dan ketidaksesuaian dengan fakta sebenarnya di lapangan. Surat BPN dan keterangan saksi BPN yang menunjukkan sengketa atas kepemilikan tanah tidak dipertimbangkan. Pengadilan seolah tidak mengakui pentingnya pembuktian yang memperkuat klaim warga terkait tanah tersebut.

Selain itu, pengabaian terhadap akta 1929 yang dilegalisir oleh notaris menjadi catatan serius. Pengadilan seharusnya memahami bahwa pertimbangan terkait keabsahan dokumen pertanahan adalah kewenangan BPN, bukan peradilan pidana.

Wahyu Eka S dari Wahana Lingkungan (WALHI) Jawa Timur mengatakan Pengadilan Negeri Banyuwangi membuat sebuah keputusan yang mengundang kontroversi. Khususnya, pertanyaan serius terkait keadilan hukum, khususnya dalam konteks konflik agraria yang tengah membara di desa rukun pakel. Tiga warga desa rukun pakel, divonis dengan tuduhan menyebarkan berita bohong yang disebut sebagai penyebab keonaran.

“Keputusan ini terasa gegabah. Terutama saat melihat bukti yang lemah dan konteks konflik agraria yang tengah menghantui desa tersebut,” ujar Wahyu.

Wahyu menambahkan kasus serupa di masa lalu, di mana pengadilan mempertimbangkan adanya konflik agraria sebagai salah satu alasan untuk membebaskan terdakwa. Justru sebaliknya, majelis hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi tampaknya tidak melihat konteks konflik agraria tersebut. “Ini menunjukkan ketidakadilan yang sangat nyata dalam penanganan kasus ini,” jelasnya.

Menurut Wahyu, kasus ini adalah sebuah bukti nyata kegagalan negara dalam memahami dan melindungi hak-hak warga yang berjuang untuk hak atas ruang hidup mereka. Tiga petani Desa Pakel bukanlah penjahat, kata Wahyu. Sebaliknya, mereka adalah pejuang yang mempertahankan tanah mereka, sumber mata pencaharian, dan warisan mereka.

“Bentuk kriminalisasi ini adalah cerminan kegagalan negara. Tidak mampu memahami peran penting ketiga petani yang bertindak untuk melindungi tanah mereka. Bukan karena mereka memilih, tetapi karena mereka harus berjuang demi hak atas tanah mereka,” tegasnya.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Habibus, mengatakan bahwa majelis hakim sangat abai terhadap bukti-bukti yang sudah jelas keasliannya. Habibus menambahkan, majelis hakim hanya melihat sesuai dengan konstruksi jaksa. Menganggap bahwa informasi yang di dapat oleh warga rukun pakel adalah berita bohong.

“Konflik agraria ini sudah ada sejak ada 1929 dan warga sudah ada hak atas tanah itu. Mau mengacu pada undang-undang apa?? Padahal undang-undang agraria hanya 20 tahun sedangkan konflik ini sudah hampir 100 tahun,” jelasnya.

Majelis Hakim menyebutkan bahwa Trio Pakel dianggap tidak melakukan upaya apapun. Padahal majelis hakim lah yang tidak melihat proses trio pakel ini dalam mencari informasi soal kebenarannya, kata Habibus.

“Putusan hakim ini sangat gamblang. Itu dimulai dari penangkapan dan persidangan, di mana saat persidangan dipenuhi oleh polisi dan ada batasan pada warga. Sehingga tidak diperbolehkan masuk untuk melihat proses persidangan secara langsung. Kita dihadapkan sidang online dan baru sidang ke sembilan bisa hadir. Dalam situasi itu kita melihat diskriminasi itu tampak di depan mata warga yang ditunjukkan oleh negara. Belum lagi kekerasan dan intimidasi saat praperadilan. Apa, sih, hubungan polisi masuk desa?? Mau mengamankan apa?,” ungkap Habibus.

Habibus mengatakan bahwa akan ada proses banding terkait vonis hukuman ini. Dirinya dan tim advokasi yang tergabung dalam beberapa jaringan akan terus mengupayakan agar trio pakel ini mendapatkan keadilan. “Kami juga berharap warga rukun pakel tetap solid, kompak dan tidak berhenti berjuang untuk mempertahankan tanah mereka,” tutupnya.

Saat diwawancarai via telepon, Koordinator Rukun Pakel, Harun, mengatakan bahwa warga sangat menyesal dengan putusan hakim terhadap Trio Pakel. Menurutnya, majelis hakim tidak mempertimbangkan dengan matang bukti-bukti yang sudah diberikan oleh warga rukun pakel dan kuasa hukum saat persidangan.

Dirinya menjelaskan bahwa saat ini warga dengan seluruh jaringan advokasi yang tergabung akan melakukan banding ke Pengadilan Negeri Jawa Timur. Tujuannya, agar trio pakel segera dibebaskan serta mendapatkan keadilan. “Kami tidak akan menyerah. Warga Rukun Pakel akan terus berjuang dan bersolidaritas sampai mereka dibebaskan.” tegasnya.

Apa yang Bisa Kita Simpulkan Dari Kasus Rukun Pakel?

Konflik agraria yang tidak pernah selesai di Indonesia, adalah cerminan dari kompleksitas masalah sosial, ekonomi, dan politik negara ini sejak lama. Dalam beberapa kasus, kita dapat melihat bagaimana negara sering kali gagal dalam melindungi rakyatnya. Terutama para petani dan masyarakat adat, yang merupakan pihak yang paling rentan dan terkena dampak dari konflik ini.

Contoh kasus lain di masyarakat adat Rendu, Nusa Tenggara Timur. 24 masyarakat adat dikriminalisasi dan ditangkap oleh aparat kepolisian karena berusaha melindungi tanahnya; untuk dilakukan pembangunan waduk Lambo, yang diperuntukkan untuk pembangkit tenaga listrik. Sejak tahun 2003 narasi ini mencuat, masyarakat adat Rendu menolak dengan tegas. Karena beranggapan pembangunan tersebut merugikan, dan akan menenggelamkan pemukiman penduduk, sarana dan prasarana umum, kampung adat dan perkuburan leluhur.

Dari konflik agraria ini, terdapat ketidaksetaraan dalam kepemilikan tanah, yang telah menjadi akar masalah sejak masa penjajahan Belanda. Sejarah tersebut menciptakan situasi di mana sejumlah besar tanah dikuasai oleh segelintir korporasi besar atau individu kaya,. Sementara petani kecil dan masyarakat adat terus berjuang untuk hak mereka. Pemerasan dan penindasan terhadap mereka telah terjadi selama berabad-abad, dengan hak-hak mereka sering kali diabaikan oleh pemerintah.

Konflik agraria juga mencerminkan ketidakmampuan negara untuk menegakkan hukum dan melindungi rakyatnya. Para petani sering kali terlalu lemah dalam hal sumber daya dan akses terhadap sistem hukum yang mahal. Di sisi lain, pihak-pihak yang lebih berkuasa memiliki keuntungan finansial dan politik yang besar. Sehingga sering kali mereka dapat menghindari pertanggungjawaban atas tindakan mereka. Ini menciptakan siklus kekerasan dan ketidakadilan yang berlanjut.

Ketidakmampuan negara untuk menyelesaikan konflik agraria juga menciptakan dampak yang merugikan pada pembangunan berkelanjutan dan stabilitas sosial. Konflik ini sering kali berujung pada kekerasan, pengusiran, dan penghancuran lingkungan, yang pada akhirnya merugikan masyarakat dan ekosistem lokal. Namun, perjuangan rakyat dalam menghadapi konflik agraria adalah bukti kegigihan dan keberanian. Pun, menciptakan semangat keadilan yang patut didukung dan diberikan hormat setinggi-tingginya.

*Sumber Foto: Rukun Tani Sumberejo Pakel

Penulis :

Yael Stefany