Talang Mamak: Mulai Dari Manugal, Memerun, Sampai Besiang

Suku Talang Mamak merupakan masyarakat yang hidup secara tradisional di sekitar Sungai Indragiri, Provinsi Riau. Dalam kelompok masyarakat ini, terdapat sub kelompok yang mereka sebut dengan suku. Kemudian dibagi lagi dalam tobo dan unit terkecil dengan nama hinduk atau puak anak. Secara garis besar, Talang Mamak menyebar di sekitar Bukit Tigapuluh. Secara administrasi berada di empat kecamatan yaitu Batang Gangsal, Kelayang, dan Rengat Barat. Satu kelompok berada di Dusun Simarantihan, Desa Suo-Suo, Kecamatan Batang Sumai, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi.

Data dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Talang Mamak adalah salah satu etnis yang kehidupannya tergantung pada sumber daya hutan. Dahulunya hidup dari dan dengan cara berburu dan meramu, serta mengolah sumber daya alam untuk dikonsumsi secara ego-keluarga maupun komunal. Dengan kehidupan tradisional yang masih melekat, mempengaruhi cara suku Talang Mamak bersosialisasi dan membangun ikatan kekerabatan dari segala aspek. Salah satunya dalam bercocok tanam.

Suku Talang Mamak memiliki kearifan lokal bernama manugal/menugal/nugal yang artinya melubangi tanah dengan menggunakan kayu yang diruncingkan untuk ditanami benih padi. Mendekati musim hujan, suku Talang Mamak mulai bercocok tanam di lokasi lahan mereka. Biasanya masa tanam ini dimulai pada bulan Agustus-September. Di mana pada bulan tersebut terjadi pergantian musim yakni musim kemarau ke musim hujan.

Sebelum dilakukan manugal, suku Talang Mamak akan melakukan beberapa tahap seperti, menebas–membersihkan semak-semak yang ada di tanah–kemudian menebang pohon dengan menggunakan kapak, beliung dan parang. Pada proses ini, pohon atau kayu tidak boleh ditebang sampai bagian pangkalnya. Ini dikarenakan dalam kepercayaan suku Talang Mamak tunggul-tunggul kayu yang tersisa dapat menahan erosi pada tanah. Terutama yang berada pada lereng bukit.

Setelah lahan bersih, dibuat sekat api sebelum lahan dibakar. Sekat api nantinya akan dibuat di sekeliling ladang yang sudah dibersihkan. Dengan tujuan agar saat pembakaran tidak mengenai tanaman lain atau lokasi lahan lain. Sekat api biasanya dibuat dengan membersihkan daun, tunggul-tunggul kayu yang lapuk dan benda lain yang mudah terbakar lalu diberikan batas.

Untuk proses pembakaran, masyarakat Talang Mamak biasanya akan memanggil dukun/kementan api sebagai penghubung dengan petalla guru atau makhluk penunggu hutan. Guna meminta restu kepada leluhur agar proses pembakaran lahan berjalan lancar. Serta hewan-hewan yang ada di dalam lahan pun dapat dilindungi. Dukun akan membaca arah angin untuk menghindari kecelakaan akibat asap dan api dari pembakaran. Pengetahuan lokal ini pun sudah ada sejak dahulu dan diwariskan turun-temurun dari nenek moyang mereka kepada orang yang layak. Sehingga tidak semua masyarakat Talang Mamak bisa menjadi dukun api.

Lahan yang sudah dibakar atau biasa mereka sebut memerun/merun, mulai ditanami dengan tanaman muda seperti cabai, kunyit, kencur, serai, daun sedingin, tebu, labu, dan keladi. Disinilah proses Manugal itu dilakukan. Masyarakat Talang Mamak akan bergotong-royong membantu salah satu keluarga yang akan menanam padi. Dalam budaya adat Talang Mamak, gotong-royong ini disebut dengan besolang/ploriyen. Laki-laki akan membuat lubang menggunakan kayu berujung runcing, sedangkan perempuan akan ikut dari belakang meletakkan benih ke dalam lubang yang sudah dibuat. Benih padi ini dibawa dengan menggunakan kombut yang dianyam dari daun rumbai.

Namun, tidak hanya menanam padi saja, biasanya mereka juga akan menanam jenis tanaman lainnya seperti, timun dan gambas. Sehingga akan tumbuh beragam jenis tumbuhan di ladang mereka. Pada tahapan ini biasanya mereka juga membagi lahan untuk ditanam beberapa varietas padi seperti padi biasa, padi ketan/pulut dan padi halus.

Lahan yang sudah ditanami benih, ditandai dengan kayu-kayu yang melintang dan membatasi petak tanaman satu dengan tanaman lainnya. Setelah itu, mereka akan melakukan besiang–membuat asap dari api unggun dekat pondok ladang. Hal ini diyakini agar binatang dan makhluk halus mengetahui bahwa ladang tersebut dijaga oleh pemiliknya. Besiang akan dilakukan sebelum batang padi berusia tiga bulan.

Terakhir, padi yang siap dipanen akan dipisahkan sesuai dengan kualitasnya yang kemudian dijadikan benih untuk musim tanam berikutnya. Padi ini kemudian dihitung menggunakan alat cupak–takaran beras yang terbuat dari tempurung kelapa–di mana satuan nilai untuk satu cupak sama dengan 1/4 kilogram.

Dari kegiatan manugal ini kita dapat melihat banyak sekali nilai kearifan lokal dari suku Talang Mamak. Suku Talang Mamak mengenal konsep gotong royong seperti besolang dan paloriyen, di mana kolektif dan solidaritas kelompok masih sangat kuat. Kolektif ini dibangun dalam tindakan pro-sosial yakni, adanya pembagian kerja dalam setiap kegiatan dan sesuai dengan perannya. Tak hanya itu, terbangun ikatan yang menghubungkan individu-individu dalam kelompok.

Dalam era globalisasi yang semakin berkembang, penting bagi kita semua untuk mengenali dan menjaga kearifan lokal dari masyarakat adat, khususnya di suku Talang Mamak ini. Kearifan lokal ini merupakan harta berharga yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Pun, memegang peranan penting dalam menjaga keseimbangan alam, budaya, dan keberlanjutan lingkungan. Kearifan lokal mencakup berbagai aspek kehidupan, seperti sistem pengetahuan tradisional, etika, adat istiadat, dan bahasa. Ini adalah pengetahuan yang telah teruji selama berabad-abad dan telah membantu masyarakat adat bertahan dalam lingkungan mereka yang unik.

Melalui penghormatan terhadap kearifan lokal, kita dapat belajar banyak tentang bagaimana menjaga alam dan SDA yang kita bagi bersama. Masyarakat adat sering kali memiliki hubungan yang mendalam dengan lingkungan mereka. Juga telah mengembangkan cara-cara berkelanjutan untuk memanfaatkan sumber daya alam tanpa merusaknya. Selain itu, menjaga kearifan lokal juga merupakan bentuk penghargaan terhadap keragaman budaya. Ini adalah peringatan bahwa kekayaan budaya tidak hanya harus dihormati, tetapi juga dilestarikan untuk generasi mendatang.

Mengenal dan menjaga kearifan lokal memungkinkan kita untuk memelihara keragaman budaya yang menjadi bagian tak ternilai dari warisan manusia. Mari kita bersama-sama berkomitmen untuk menghormati, mendukung, dan bekerja sama dengan masyarakat adat. Dengan begitu, kita dapat berperan aktif dalam menjaga keberlanjutan budaya dan alam semesta yang kita bagikan bersama.

Penulis :

Anggun Nova Sastika