Sebuah Cerita: Mengikuti Daeng Joha Menuju Balianja’

Saya bertemu Daeng Joha pada bulan Desember tahun 2022 dua bulan yang lalu untuk pertama kali, sebagai relawan pengajar dari Anak Muda Mengajar; komunitas Sekolah Anak Muda. Selama tiga hari, bersama Andi Alfian dan sebelas orang lainnya. Saya menginap di rumah Daeng Joha, lelaki tua ramah berwajah tegas khas lelaki Makassar, yang berada tepat di belakang rumah sekolah sementara di bawah kolong rumah di Dusun Bara, Maros.

Kedua kali, saya kembali bertemu Daeng Joha, kali ini bersama Lisa, Daeng Olleng dan Alfat di tempat yang sama. Saat itu, 12 anak Dusun Bara sudah duduk di kursi papan sambil memperhatikan arahan Lisa, dan saya menyelempangkan handuk biru di punggung, bersiap-siap untuk mandi di kamar mandi kayu milik Ibu Saba’.

Ibu saba’ adalah pemilik rumah kayu yang dijadikan kesepakatan warga tanah Dusun Bara sebagai rumah sekolah sementara untuk anak-anak Dusun Bara.

Hari itu, karena bukan saya yang bertugas menjadi tenaga pengajar, saya terlambat mandi. Meski pun saya tampil berpotongan rambut yang lebih pendek, Daeng Joha tetap mengenali saya. Daeng Joha tersenyum, saya bersalaman dan menempelkan kening ke lengan Daeng Joha.

“Ki u’rangija daeng?: Daeng masih ingat saya?”

“Iye.” Daeng Joha tersenyum lebar.

“Nakke riolo daeng, abbangngi’ riballatta’ tallung bangngi’ siagang sampulo se’re baine: Kemarin, saya yang bermalam di rumah daeng bersama sebelas orang perempuan.”

“Iye, agannaki Piang?: Oh iye, kita adalah temannya Pian?” tanya Daeng Joha sambil menepuk-nepuk lengan saya.

“Iye, siagangma’ anjo katte Piang: Iye betul Daeng, saya juga bersama Pian.”

Setelah berkenalan kembali bersama Daeng Joha, saya pamit sebentar untuk mandi. Saya memohon kepada Daeng Joha untuk tidak kembali ke rumahnya, karena saya masih ingin mengobrol lebih lama.

Saya lalu bergegas ke kamar mandi.

Di dalam kamar mandi, setelah mengguyur badan dengan air pegunungan yang dingin bagai air kulkas, saya mendengar Daeng Joha bercakap-cakap dengan Daeng Olleng perihal hasil penelitian Andi Alfian, kawan saya yang pernah meneliti di Dusun Bara selama dua bulan.

Setelah lekas mandi dan berpakaian, saya kembali menjabat dan mengelus lengan Daeng Joha.

“Edede, annakukangku’ anne rikatte Daeng.: saya sangat merindukan Daeng Joha.”

Mendengar saya berbahasa Makassar yang aneh, karena saya menyebut kata “rindu’ yang seharusnya disebut “nakku” malah “annakukang,” Dg Olleng tertawa lepas. Saya juga melihat Daeng Joha ikut tertawa.

“Punna nakku’ maki’ antu, sipannakukang ngasengi antu tawwa: jika kamu merindukan seseorang, yang dirindukan, juga akan merindu,” kata Daeng Joha, yang membuat saya tersipu malu sekaligus terkesima mendengar kata-kata Daeng Joha yang puitis. Daeng Joha memang lelaki tua yang memiliki segudang kelong-kelong tau riolo; sastra lisan Makassar dalam bentuk peribahasa.

“Kipacinikkangi bede anjo laporanna Andi Alfian, Dg Joha ri Laptopta’: tolong perlihatkan hasil laporan penelitian Andi Alfian kepada Daeng Joha yang ada di dalam laptopmu,” pinta Dg Olleng.

“Eh,” saya berpikir sejenak, saya tidak ingat apakah saya menyimpan hasil laporan penelitian Andi Alfian di laptop, “Oh iye adajie.”

Setelah mengutak-atik penyimpanan dokumen, saya mendapatkan draf pdf dalam bentuk power point, dari hasil laporan penelitian Andi Alfian yang sempat dia bagikan lewat pesan Whatsapp untuk presentasi Andi Alfian kepada Kemitraan.

Sambil membuka lipatan laptop agar lebih lebar, saya membacakan satu persatu poin-poin yang dirangkum Andi Alfian sebagai “Mengembangkan kewargaan Inklusif Berbasis pada Pengetahuan Adat di masyarakat Adat Bara dan Cindakko,” kepada Dg Joha.

Saat membacakan poin prosesi adat Balianja’ Daeng Joha berkata, “Kadde napauji Piang kana nanaerangi anjo mange ri Jakarta laporanna, kupaissengang ngaseng ji anjo adaka’: Seandainya, Andi Alfian menerangkan jika hasil laporannya akan dibawa ke Jakarta, saya bisa menjelaskan lebih banyak pengetahuan-pengetahuan adat,” kata Dg Joha. “Mingka anjo adaka’ tena nakkulle ri pau punna lebba’mo ri tarima ngaseng: namun tidak semua pengetahuan adat bisa disebarkan setelah diterima.”

“Napaujie kapang daeng, mingka anjo bahasayya tena memang nasigappa dudu, ka Piang bahasa Bugisi napake’ katte bahasa mangkasara: Andi Alfian mungkin mengatakan akan memaparkan hasil penelitiannya kepada Kemitraan kepada Daeng Joha, namun Pian hanya bisa berbahasa Bugis, jadi komunikasi tidak berjalan baik,” kata saya. “Anjo lagi nakke daeng, bahasa mangkasarajie kupake nania tong bahasata’ tena dudu kuissengi kabattuanna: ini saja Daeng, saya yang berbahasa Makassar tidak bisa memahami beberapa istilah yang diucapkan Daeng.”

“Muko nia anjo balianja’ ri bokkong mata, kapunna erokki amminawang miki: besok ada pelaksanaan balianja’ di Bokkong Mata, dusun Cindakko. Apabila Anda mau, Anda boleh ikut.” Kata Daeng Joha dengan tatapan tegas, seolah-olah ingin menjelaskan bahwa pada pelaksanaan balianja’ adat asli Bara dan Cindakko akan diperhelatkan.

“Iye, amminawanga ri katte daeng, ero dudua anjo anciniki ri kanayya balianja’: Iye, perbolehkan saya untuk ikut daeng, saya ingin sekali melihat acara adat yang disebut sebagai balianja’”

Setelah mengantar Lisa berjalan kaki selama dua jam di bawah terik siang matahari menuju kampung toa, RT 01 dusun bara, untuk menginap di rumah Nur Azizah , saya dan Alfat kembali turun ke rumah Dg Joha dan kami sampai pada jam 20:00 malam.

Sambil menunggu Alfat menggunakan kamar mandi, saya berbincang kembali bersama Daeng Joha. Sambil berbincang-bincang, Daeng Joha menggunakan kaos tangan ala pro biker. Meski pun saya tahu bahwa Daeng Joha menggunakan kaos tangan itu untuk melindungi tangannya dari luka gesek selama memipil jagung, saya tetap bertanya untuk menggoda Daeng Joha.

“Kullei tawwa anjari pambalap daeng dih, punna jai tawwa bonena kokonna: kita bisa menjadi pembalap ya daeng, ya, apabila kebun kita banyak hasilnya?” tanyaku.

“Ngapa nakulle kamma anjo?” tanya Daeng Joha sambil menunjukkan wajah heran.

“Anjo kucini make ngasengi tawwa kaos tangan pambalap.”

Daeng Joha tertawa terpingkal-pingkal, dan menimpali godaan saya yang terancam kualat karena berani bercanda kepada orang tua, “Anjari tojengi tawwa iya pambalap, mingka pambalap tena motoro’na: kita bisa betul menjadi pembalap, tetapi pembalap yang tidak menaiki motor.”

Saya tertawa lepas bersama Daeng Joha.

Setelah itu, Daeng Joha banyak bercerita mengenai masa mudanya. Daeng Joha adalah warga Cindakko asli, dia pindah ke tanah berua di Dusun Bara, 43 tahun yang lalu.

Pada saat menceritakan masa-masa romantisnya yang indah, Daeng Joha sering mengulang-ulang menyebut nama Karaeng Gajang. Daeng Joha menyaksikan bagaimana rotan ditarik di dalam hutan: Karaeng Gajang yang membawa mobil masuk ke hutan untuk pertama kalinya, dan memperjual belikan rotan-rotan di Makassar.

Saat saya bertanya, kapan Karaeng Gajang menjabat sebagai kepala desa, Daeng Joha tidak bisa mengingat waktu tepatnya. Daeng Joha hanya memberi jawaban, bahwa ketika Karaeng Gajang menjabat Daeng Joha masih seumuran saya. Lalu saya mengira-ngira, bahwa Karaeng Gajang menjabat sekitar tahun 1989.

Sebelum masa Karaeng Gajang menjabat sebagai kepala desa, kata Daeng Joha, orang harus, merasakan maha gatal, untuk hidup. Karena setiap orang yang membuka lahan tanam harus memotong tumbuhan liar yang menyebabkan gatal-gatal di badan selama berbulan-bulan.

Selain itu, untuk mencari peruntungan di luar atau di kaki gunung, Daeng Joha harus berjalan kaki selama dua belas jam sambil menerobos dedaunan yang tinggi. Saat menjelaskan rute menuruni gunung, Daeng Joha memeragakan bagaimana dia berjalan menembus romang, dengan dua lengan menyilang di belakang leher untuk melindungi wajah dari batang-batang dan dedaunan tajam yang bisa melukai wajah, agar bisa sampai ke pusat desa di Masale.

Setelah Karaeng Gajang meninggal dan jabatan Karaeng Gajang diteruskan oleh anaknya, menurut kesaksian Daeng Joha, kehidupan warga Bontosomba memang semakin terbuka namun muruah kepemimpinan kepala desa tidak lagi pernah seadil Karaeng Gajang. Daeng Joha berkata, jika Karaeng Gajang adalah satu-satunya sosok pemimpin desa yang sangat menghargai adat asli Bontosomba.

Saya, Alfat dan Daeng Joha terus memperbincangkan suasana politik dan keaslian pangerang adat dan penghayatan adat hingga waktu melewati jam 21;30 malam. Daeng Joha mempersilakan kami untuk tidur, karena besok pagi kami harus berjalan kaki ke bokkongmata. Tepat 22:00 saya telah tertidur.

Di jam 06:30 pagi, kami berangkat berjalan kaki dari Tanah Berua di dusun Bara ke Bokkongmata di dusun Cindakko. Mungkin berselang lima menit berjalan kaki, Daeng Joha meminta maaf kepada saya karena dia berselimut sarung. Saya, yang juga merasakan dingin pagi yang masih menggigit, cuman bisa bilang, “Iye Daeng.”

Selama mengikuti punggung Daeng Joha, saya terkesima memperhatikan langkah kaki Daeng Joha yang masih begitu ringan melangkahi batu-batuan terjal pada usianya yang seharusnya sudah lemah badan.

Setiap kali kaki-kaki Daeng Joha menapak di bebatuan, otot betis aenDg Joha tampak mengolok-olok kakiku yang lemah. Saya terus memperhatikan otot betisku yang memiliki perbedaan yang jauh dari kata betis yang tegas seperti betis Daeng Joha. Sementara saya terus membenakkan bayangan tentang bentuk betis, Daeng Joha terus melantunkan kelong-kelong yang selalu diawali Dg Joha dengan frasa, “Nakana tau panritayya.”

Salah satu kelong pappasang dari Daeng Joha, yang tidak sempat saya catat, memaknakan tentang peringatan nenek moyang kepada para manusia perihal peringatan apabila manusia melupakan jati dirinya.

Pada salah satu penggalan, yang bisa saya ingat dari satu pappasang, “Ada’ passikokannna buluka.” yang memaknakan bahwa adat istiadat merupakan ikatan kuat, yang apabila terus dijaga akan melindungi manusia dari ancaman krisis lingkungan hidup. Apabila nilai adat terlupakan, kelangsungan hidup masyarakat di pegunungan, dalam hal ini pegunungan Bontosomba, akan mendatangkan bencana.

Selama berada di jembatan gantung di atas sungai dusun Bara, saya berhenti dan berupaya mengambil gambar punggung Daeng Joha sambil menarik napas karena keletihan. Sementara itu, Dg Joha terus bercerita mengenai nilai-nilai adat Bontosomba. Tak ingin ketinggalan, saya lekas menyusul Daeng Joha.

Di dalam hatiku, “Kuatko betis.”

Setelah menyusul Dg Joha, dia juga bercerita sambil menyesali perbuatan segelintir manusia dan kepolosan warga Bontosomba. Kata Daeng Joha, “Setiap kali ada anggota dewan yang mencalonkan diri di Bontosomba, selalu ada janji pengecoran jalan dan pembangunan jembatan, tapi begitu mereka terpilih, hanya ada pengecoran pendek, hanya untuk menutupi kemaluan anggota dewan, yang begitu terkena arus air hujan akan mudah rusak.”

Sebelum sampai pada gambar di atas, ketika matahari pagi telah melewati punggung bukit dan jarak yang mulai dekat ke pemukiman Parang Luara di dusun Cindakko, Daeng Joha mengarahkan kami melewati jalan memotong dari dusun Bara ke dusun Cindakko.

Jalan itu menanjak dengan kemiringan sekitar 30 derajat. Kata Daeng Joha, dia pernah melewati jalan itu bersama Daeng Lallo, seorang peneliti yang bertubuh jauh lebih besar dari saya. Daeng Lallo harus sampai merangkak seperti hewan melata, karena saking tidak kuatnya melewati jalan itu. Saya sendiri hampir menjadi kadal, tapi karena penasaran dengan prosesi balianja’ saya tidak ingin berlama-lama terhadap keletihan yang saya alami.

Di dalam benak, saya menyadari bahwa rasa penasaran, adalah kekuatan yang bisa mendorong kita melewati jalan mendaki, ekstrim, selama 30 menit.

Selama berada di jalan itu, Daeng Joha memberi pelajaran hidup, dengan nada suara teratur, seperti orang yang berbicara sambil duduk tanpa pernah merasakan keletihan, yang menurut saya amat berkesan, “Kita hanya bisa bersyukur, di dunia ini dalam hal dan keadaan apa pun, kesyukuran adalah hiburan.”

Pada jam delapan pagi, saya mengambil gambar punggung Daeng Joha di jembatan Cindakko setelah melewati pemukiman Parang Luara. Selama melewati beberapa rumah di Parang Luara, Daeng Joha sesekali mengajak orang-orang untuk menghadiri acara balianja’ sambil bercanda, “Namaijiki antu bela abbalianja’ do, ka katte anne nacippakki bantu, assembei anjo balianjaka.” Model bercandaan Daeng Joha itu sama seperti, “Saya cepat-cepat ke masjid untuk sholat Jum’at karena saya yang akan pergi khutbah. Padahal, bukan.”

Di depan Jembatan itu, ada dua persimpangan jalan menuju dua RT dusun Cindakko. Jalan ke kiri untuk RT 02, jalan ke kanan untuk RT 03. Tujuan kami adalah RT 03. Sialnya, setelah melewati jembatan dan sungai kecil, masih ada tanjakan ekstrim yang membikin betis meletus. Tanjakan itu bukan pilihan, agar bisa sampai ke Bokkongmata, tempat pelaksanaan balianja’.

Setelah beristirahat di rumah kepala dusun Cindakko selama tiga puluh menit, kami melanjutkan perjalanan melewati pematang sawah warga dusun Cindakko. Selama menapakkan kaki di pematang sawah, beberapa kali, saya hampir terjatuh ke sawah. Saat itu, saya sibuk mengagumi lanskap pemandangan Dusun Cindakko yang membuat saya menangis.

Pukul sembilan pagi, Daeng Joha tiba di tempat pelaksanaan palappassang kanre, yang saya kira adalah pelaksanaan balianja’. Di sana, Daeng Joha berbincang-bincang dengan warga sekitar. Di belakang Daeng Joha, saya menguping pembicaraan, sambil menebar senyuman ke semua orang yang menatap saya. Di ujung, saya melihat seorang ibu berselendang merah jambu yang tunawicara berkomunikasi bersama ibu yang lain sambil memeragakan bentuk ikat kepala yang saya gunakan. Saya tahu, dia penasaran melihat orang asing yang berada di pelaksanaan palappassang kanre. Setelah bertumbukan mata, saya tersenyum ke arahnya.

Sementara itu, saya mendengar keluhan Daeng Joha kepada beberapa warga yang sudah tidak mengingat Daeng Joha, padahal Daeng Joha adalah warga asli Cindakko.

“Inilah pentingnya pelaksanaan adat, agar setiap orang bisa saling bertemu dan saling mengingat sebagai saudara,” kata Daeng Joha. “Kalau sudah tidak ada lagi pelaksanaan adat, kekerabatan kepada alam dan juga kekerabatan kepada masa lalu juga akan menghilang.”

Selama berada di tempat pelaksanaan palappassang kanre, saya menyaksikan para ibu memberi sajian ayam kunyit kelapa dan songkolo sambil menyebut nama kepala keluarga mereka untuk didoakan oleh Daeng Sau, salah satu pangerang ada’ sebagai pinati.

Menurut Daeng Ramallang sebagai Galarrang, penyebutan itu adalah doa agar keluarga mereka diberi kekuatan selama menjaga tanaman padi hingga melaksanakan panen. Selain itu, Palappassang kanre adalah bentuk kesyukuran warga Cindakko kepada alam Cindakko, karena padi yang telah mereka tanam sudah mulai tumbuh.

Setelah pemberkahan pinati kepada sajian warga cindakko selesai, para ibu bergotong royong untuk memotong-motong ayam kunyit kelapa untuk dibagikan kepada para hadirin.

Para ibu menyajikan potongan ayam kunyit kelapa bersama songkolo di atas lembaran daun pisang. Di tempat, saya kebagian daging dada ayam, saya menyantapnya sambil berbincang dengan para ibu yang ramah.

Di jam 10:45 , setelah melaksanakan palappasang kanre di Bokkongmata, rombongan berpindah ke pelaksanaan balianja’. Melewati pematang sawah terasering, saya menangis lagi melihat lanskap yang sangat indah.

Di lokasi pelaksanaan balianja’ saya melihat banyak anak-anak yang meramaikan pelaksanaan balianja. Menariknya ada satu-dua ibu yang menjual makanan ringan dalam sebungkus kantong plastik berkuran besar.

Di sekitar saukang, rumah panggung kecil , warga Cindakko mengatur latar pelaksanaan balianja’ dari daun aren dan daun pisang. Lalu, para ibu mengatur sajian, di antaranya: buah boyo, potongan pisang, ubi-ubian, kunyit, ayam, dan pa’leo.

Pada pelataran balianja’ yang telah rapi, para ibu bergotong royong menyusun sajian tersebut di atasnya. Lekas kemudian, para pangerang ada’: Pinati, bali karaeng, karaeng, gallarrang, dan panre duduk berdampingan untuk memberkahi sajian warga cindakko dengan beberapa gerakan ritual; menggenggam beras di tangan kanan di atas asap dari kulit kelapa; membaca mantra; menabur beras kepada tiga sisi tubuh: kiri, kanan, dan kepala; lalu menabur-nabur beras ke arah sajian. Masing-masing pangerang adat, mendapatkan giliran dan melakukan gerakan yang sama.

Setelah gerakan ritual balianja’ itu, masih ada gerakan ritual; memindahkan piring dari satu tangan ke tangan lain kepada warga, yang mengelilingi pelataran sajian sebanyak tiga kali putaran.

Gerakan ritual selanjutnya, adalah menancapkan batang bambu berukuran kecil yang berisi air berkah dalam bentuk menyilang pada enam sudut. Selama pangerang ada’ menancapkan batang bambu tersebut, para ibu bergotong royong menyusun sajian dalam kelompok kecil di atas dedaunan pisang.

Seorang pangerang ada lalu memberkahi sajian di atas piring dan berjalan membawa sajian tersebut mengelilingi, ke arah sisi kiri tubuh, pelataran balianja.

Setelah berkeliling, pangerang ada’ membawa piring tersebut ke atas batu yang besar, tidak jauh dari pelataran balianja’. Di sana, pangerang ada’ meneriakkan mantra dalam bahasa Makassar setempat, sebanyak tiga kali, sambil menabur beras kepada tubuh dan ke arah depan tubuh. Dalam teriakan itu, saya hanya bisa mengartikan beberapa frasa, yang bermakna harapan warga Cindakko agar alam Cindakko memberi kesuburan hidup untuk setiap tanaman yang mereka tanam, dan untuk setiap hasil tanam yang mereka makan, dan hasil tanam yang mereka belanjakan.

Untuk mengakhiri pelaksanaan balianja’ sajian ayam kunyit bersama Songkolo disajikan di atas daun pisang, dan seorang ibu bertugas untuk membagikan sajian kepada setiap orang yang menghadiri pelaksanaan balianja’.

Setelah semua prosesi telah terlaksana, pelaksanaan balianja’ berakhir pada pukul satu siang. Para ibu yang berduyun meninggalkan tempat pelaksanaan balianja’ membawa sebatang bambu kecil sebagai pembawa berkah yang akan mereka tancapkan di sawah. Para ibu yang berjalan melewati saya, mengundang untuk datang ke rumahnya. Saya hanya bisa bilang “iye, tarima kasi” sambil terkesima dengan keramahan para ibu di Dusun Cindakko.

Penulis :

sulawesi community foundation