Di sebuah desa terpencil bernama Bontosomba, di balik hutan dan perbukitan yang jarang terjamah, berdiri seorang perempuan tangguh yang jarang tersorot. Namanya Sabaria, seorang perempuan adat yang memancarkan ketenangan dengan sikapnya yang pendiam, tetapi menyimpan tekad kuat dalam menjalankan berbagai peran penting di komunitasnya. Meskipun kerap merasa malu saat diajak berbincang, Sabaria tidak pernah ragu untuk membantu sesama. Ia adalah kader posyandu desa sekaligus guru mengaji sukarela di dusunnya, Dusun Bara.
Di desanya, peran kader posyandu, yang mayoritas dijalankan oleh perempuan, sering kali dianggap remeh dan kurang diperhatikan. Upah yang kecil, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan harian, seakan menjadi cermin dari pandangan bahwa pekerjaan ini tak begitu bernilai. Namun, Sabaria dan para kader lainnya tahu, di balik semua itu, ada tugas mulia yang mereka emban—melindungi kesejahteraan ibu dan anak-anak di desa. Tanpa gembar-gembor, mereka adalah penjaga generasi masa depan.
Seiring waktu, Sabaria mendapatkan banyak pelatihan dan pendampingan melalui program Estungkara. Program ini membekali para kader dengan berbagai keterampilan, dari peningkatan kapasitas sebagai tenaga kesehatan hingga advokasi hak-hak perempuan dan anak. Sabaria sendiri kerap mengingatkan ibu-ibu hamil di desanya tentang pentingnya menjaga asupan gizi seimbang, rutin memeriksakan kesehatan kehamilan, hingga pentingnya pemberian ASI dan imunisasi bagi anak-anak mereka. Ilmu yang didapat Sabaria dari pelatihan, seperti cara membuat Makanan Pendamping ASI (MPASI), tak hanya ia simpan sendiri, tetapi ia sebarkan kepada para ibu di desanya.
Perubahan mulai terasa setelah beberapa bulan program berjalan. Pemerintah desa mulai memperhatikan kebutuhan posyandu, dan para kader mulai berani bersuara tentang hak-hak mereka. Sabaria, yang dulu enggan berbicara di depan umum, kini lebih percaya diri. Ia tak lagi ragu menyampaikan pendapat dalam rapat desa. “Dulu saya pemalu, sekarang saya lebih berani,” katanya sambil tersenyum. Bagi Sabaria, tanggung jawab sebagai kader posyandu bukan sekadar pekerjaan, melainkan panggilan jiwa. “Saya tidak mau menerima ‘gaji buta’. Saya ingin pekerjaan ini bermanfaat,” tambahnya.
Tidak hanya aktif sebagai kader posyandu, Sabaria juga memiliki peran penting lainnya di desanya. Melihat banyak anak-anak yang belum bisa mengaji, ia mengambil inisiatif menjadi guru mengaji sukarela. Anak-anak Dusun Bara yang jarang mendapat akses pendidikan agama kini bisa belajar membaca Alquran di rumahnya. Bahkan, beberapa orang dewasa yang ingin menikah datang kepadanya untuk belajar mengaji dan bersyahadat. “Mengaji itu bukan hanya untuk menikah, tapi juga kewajiban kita sebagai umat Islam,” tegas Sabaria.
Dalam perjalanan hidupnya sebagai kader, Sabaria tak hanya mengabdikan dirinya untuk kesehatan ibu dan anak, tetapi juga terlibat dalam inisiatif-inisiatif lain yang menguatkan komunitasnya. Salah satunya adalah arisan remaja yang diinisiasi oleh dirinya. Ia melihat bahwa anak-anak muda di desanya jarang bertemu dan berinteraksi karena jarak antar rumah yang jauh.
Melalui arisan remaja, Sabaria berharap para pemuda memiliki ruang untuk berkumpul, berbagi cerita, dan saling mendukung. Kini, arisan tersebut telah berkembang dengan 22 anggota yang terdiri dari remaja laki-laki, perempuan, hingga beberapa orang dewasa.
Perjalanan Sabaria menjadi lebih berani dan terampil dalam berperan di komunitasnya tidak terlepas dari pengalamannya sebagai kader posyandu. Ia merasakan langsung kegetiran hidup para ibu di Dusun Bara, khususnya kesulitan mengakses layanan kesehatan karena jarak yang jauh. Pengalaman itulah yang membuatnya tak ragu menerima tawaran menjadi kader posyandu dari puskesmas Tompobulu.
Baginya, masa depan anak-anak di dusunnya adalah prioritas. “Kalau kita tidak menjaga masa depan mereka, siapa lagi?” katanya penuh keyakinan.
Selain mengajar mengaji, Sabaria juga aktif sebagai guru di Sekolah Kolong, sebuah inisiatif pendidikan informal di desanya. Baginya, pendidikan anak-anak harus diprioritaskan, meski tantangan yang dihadapi tidaklah mudah. Namun, Sabaria tetap optimis. “Harapan saya mungkin butuh waktu lama, tapi saya tidak akan menyerah,” ujarnya penuh tekad.
Sabaria adalah contoh nyata dari perempuan adat yang berdaya. Meski hidup di tengah keterbatasan, ia mampu menjadi motor penggerak perubahan di desanya. Dari posyandu hingga sekolah, dari rumah ke rumah, langkah Sabaria terus berlanjut, menyebarkan kebaikan dan memberi inspirasi bagi banyak orang.
Baginya, perjuangan ini belum selesai. Namun, dengan semangat yang ia miliki, Sabaria yakin bahwa perubahan itu akan terus tumbuh, setapak demi setapak, untuk masa depan yang lebih baik.