Komunitas internasional telah mengakui bahwa tindakan khusus diperlukan untuk melindungi hak-hak masyarakat adat di dunia. Instrumen pertama yang membahas hak-hak mereka adalah Konvensi ILO 107 tahun 1957. Kemudian, digantikan oleh Konvensi ILO 169 tahun 1989 tentang Masyarakat Adat. Selama beberapa dekade terakhir, Persatuan Bangsa – Bangsa (PBB) semakin melibatkan masyarakat adat melalui dua dekade internasional. Tidak hanya itu, PBB pun membentuk badan khusus yang mempromosikan hak-hak mereka.
Baik gerakan hak-hak masyarakat adat internasional maupun gerakan hak-hak disabilitas internasional telah mencapai kemajuan besar dalam beberapa tahun terakhir. Setelah lebih dari dua dekade melakukan negosiasi, Majelis Umum mengadopsi Deklarasi PBB tentang hak-hak Masyarakat Adat pada tahun 2007. Setahun berikutnya, Majelis Umum pun mengadopsi Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas.
Meskipun kedua gerakan tersebut aktif memperjuangkan hak-hak sub-kelompok di daerah pemilihan mereka, dan meskipun UNDRIP dan UNCRPD memasukkan perlindungan bagi masyarakat adat penyandang disabilitas, hak-hak mereka belum ditangani secara terpusat oleh kedua gerakan tersebut.
Di antara kelompok-kelompok ini, perempuan adat yang juga penyandang disabilitas adalah salah satu kelompok yang sering kali terabaikan. Pemenuhan hak perempuan adat penyandang disabilitas adalah perjuangan hak asasi manusia yang memegang peranan penting dalam membangun masyarakat yang adil, inklusi, dan berkelanjutan. Kelompok ini, sering kali terpinggirkan dalam berbagai aspek kehidupan, dan masih sangat jarang pembicaraan ini disuarakan. Padahal, pemenuhan hak asasi manusia adalah prinsip yang mendasar dalam masyarakat yang adil dan beradab.
Pengabaian terhadap kelompok perempuan adat penyandang disabilitas sudah pasti karena adanya diskriminasi ganda yang dialami. Yaitu, sebagai perempuan dan sebagai penyandang disabilitas. Diskriminasi gender yang masih berlanjut dalam masyarakat, dapat mengakibatkan akses terbatas terhadap pendidikan, pekerjaan, dan pengambilan keputusan. Di samping itu, stigma terhadap disabilitas juga dapat membatasi kesempatan mereka dalam berpartisipasi penuh dalam kehidupan sosial dan ekonomi.
Dikutip dari penelitian Watson tahun 2002 yang berjudul ‘well, I know this is going to sound very strange to you, but I don’t see myself as a disabled person: identity and disability‘, mengatakan, para penyandang disabilitas mempunyai satu sifat yang sama, yaitu bahwa mereka semua rentan terhadap penindasan, apa pun cara mereka mengidentifikasi diri mereka. Watson juga mengklaim bahwa budaya ibaratkan pisau bermata dua; sumber penindasan dan pembebasan bagi individu penyandang disabilitas. Menjadi semakin jelas bagaimana kekerasan berlapis yang harus diterima perempuan adat penyandang disabilitas.
Lalu, Bagaimana Dengan Indonesia?
Pada tahun 2011, Indonesia resmi menandatangani Konvensi Internasional Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang ditandai dengan terbitnya Undang-undang nomor 19 tahun 2011. Undang-undang tersebut mengatur apa saja yang menjadi kewajiban negara dalam merealisasikan hak yang termuat dalam konvensi. Salah satunya mengubah peraturan perundang-undangan, kebiasaan dan praktik-praktik yang diskriminatif terhadap penyandang disabilitas, baik perempuan maupun anak. Pun, menjamin partisipasi penyandang disabilitas dalam segala aspek kehidupan, seperti; pendidikan, kesehatan, pekerjaan, politik, olah raga, seni dan budaya, serta pemanfaatan teknologi, informasi dan komunikasi.
Sedangkan dalam pemenuhan haknya, negara harus menjamin penyandang disabilitas bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena, serta memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain. Termasuk didalamnya hak untuk mendapatkan perlindungan dan pelayanan sosial dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan darurat.
Namun, ternyata peraturan tersebut lagi-lagi hanya lips service saja. Terbukti, masih banyak perempuan adat penyandang disabilitas mendapatkan diskriminasi dan pengucilan dari komunitas adatnya. Salah satunya, hak untuk menikah dengan persetujuan dan menentukan pasangannya sendiri. Ini dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan Desmaisi tahun 2021 bertajuk ‘Dilema Adat Pada Perjodohan Disabilitas’. Desmaisi mengambil studi kasus budaya perjodohan yang banyak diterapkan kepada kelompok perempuan disabilitas dalam masyarakat adat Nagari Padang Gantiang, Sumatera Barat. Ia mengatakan bahwa praktik perjodohan ini berkaitan erat dengan banyaknya kasus kawin-cerai di daerah tersebut.
Praktik perjodohan ini pun dilanggengkan oleh stigma-stigma yang mengakar kuat tentang perempuan dan disabilitas yakni, disabilitas bukan individu yang mandiri. Karena itu, masyarakat adat Nagari Padang Gantiang berpendapat bahwa perempuan disabilitas harus dinikahkan dengan laki-laki sesama disabilitas. Sedangkan perempuan dewasa yang belum menikah, dianggap sebagai aib dan dianggap berpotensi menjadi pelaku pelanggaran nilai dan norma.
Budaya perjodohan antar sesama disabilitas semakin terlegitimasi dengan adanya agen-agen dalam masyarakat adat Nagari Padang Gantiang. Salah satunya adalah adalah sosok ‘mamak’ atau saudara laki-laki dari ibu (paman), yang memiliki memiliki kewenangan adat untuk mencarikan jodoh dari kemenakan (keponakan) yang disabilitas. Tindakan itu akan mendapatkan dukungan penuh dari pihak keluarga.
Pelanggengan kekerasan itu semakin diperkuat dengan pernyataan dari Mariah Un dari Himpunan Wanita Disabilitas (HWDI) Sulawesi Selatan. Mariah bercerita bahwa apa yang dialami perempuan disabilitas dari masyarakat adat di Nagari Padang Gantiang, tidak jauh berbeda dengan di kampung halamannya, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tingginya pembedaan antara laki-laki dan perempuan, terutama yang disabilitas. Masih banyak ditemukan perbedaan perempuan adat disabilitas dengan perempuan adat pada umumnya, dan perbedaan tersebut paling tampak pada acara ritual adat.
Masih banyak terjadi perempuan adat penyandang disabilitas tidak diperkenankan mengikuti ritual, karena diyakini akan kurang atau gagal. Porsi perempuan adat disabilitas dalam struktur adat pun akhirnya begitu sedikit. Tidak hanya budaya, posisi perempuan adat disabilitas dalam masyarakat adat juga tersubordinasi di bidang politik. Perempuan adat disabilitas jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan bersama, misalnya saat Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbang). Di samping hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk turut terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam pun, banyak perempuan adat penyandang disabilitas yang tidak memahaminya.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Mendorong semua stakeholder untuk mewujudkan kebijakan inklusi, merupakan salah satu cara paling efektif untuk memenuhi dan melindungi hak-hak perempuan adat penyandang disabilitas. Memastikan bahwa semua individu memiliki akses yang sama terhadap pendidikan. Ini sangat penting bagi perempuan adat penyandang disabilitas yang sering kali diabaikan dalam sistem pendidikan. Dengan inklusi, mereka memiliki kesempatan yang lebih baik untuk belajar dan berkembang.
Tidak hanya itu, kebijakan inklusi pun mendukung partisipasi aktif dalam dunia kerja. Perempuan adat penyandang disabilitas harus memiliki peluang yang sama untuk bekerja dan menghasilkan pendapatan yang dapat mendukung kehidupan mereka. Juga memiliki akses yang sama ke layanan kesehatan yang mereka butuh, sehingga meningkatkan kualitas hidup mereka. Terpenting adalah dengan kebijakan inklusi mengacu pada pemberdayaan dan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Dengan melibatkan perempuan adat penyandang disabilitas dalam proses kebijakan, kita dapat memastikan bahwa kebijakan yang ada mencerminkan kebutuhan dan aspirasi mereka.
Dengan memberikan akses yang sama terhadap pendidikan, pekerjaan, layanan kesehatan, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan, kita dapat menciptakan masyarakat yang adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan. Terakhir, mengutip dari seorang penulis, feminis, dan filsuf, Mary Wollstonecraft, dalam bukunya yang berjudul ‘pembenaran hak-hak perempuan’; “saya tidak ingin mereka [perempuan] mempunyai kekuasaan atas laki-laki; tapi atas diri mereka sendiri.”