Perempuan dari Rimba yang Menembus Batas

“Bahwa kebahagian perempuan yang paling tinggi, sejak berabad-abad yang lalu hingga kini adalah hidup selaras bersama laki-laki.” – R.A Kartini –

Juliana, perempuan muda dari komunitas Suku Anak Dalam (SAD), ia adalah bukti nyata bahwa harapan dan perjuangan mampu menembus tembok tradisi, stigma, dan keterbatasan. Kisahnya bermula dari sudung, rumah sederhana yang menjadi saksi perjalanan Juliana meniti mimpi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya—mimpi untuk menuntut ilmu hingga jenjang perguruan tinggi.

Pertemuan pertama dengan Juliana terjadi di sudung, tempat tinggal tradisional SAD yang sederhana, terbuat dari kayu, bambu, dan daun rumbia. Saat itu, Juliana masih kecil, pendiam, dan pemalu. Ia adalah salah satu anak yang menerima beasiswa perlengkapan sekolah dari Pundi Sumatra, sebuah organisasi yang peduli terhadap pendidikan komunitas SAD.

“Juliana itu dulu sangat pemalu, bahkan jarang berbicara,” kenang Dewi, CEO Pundi Sumatra. Pundi Sumatra saat itu membuka jalan pendidikan bagi anak-anak SAD melalui sekolah alam, pendekatan unik yang mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung. Bagi anak-anak seperti Juliana, sekolah alam menjadi pintu pertama menuju dunia pendidikan formal.

Pendampingan intensif dilakukan sejak 2014, ketika komunitas SAD mulai menempati rumah yang dibangun oleh Kementerian Sosial untuk Rombong Hari dan Badai. Juliana mulai bersekolah di sekolah formal, sebuah langkah besar bagi seorang anak perempuan di komunitas yang kerap memandang pendidikan sebagai hal sekunder.

“Kami tidak mau memberikan beasiswa dalam bentuk uang, karena nanti induk-induk akan mengira bahwa pendidikan anak mereka menjadi tanggung jawab Pundi. Jadi kita berikan dalam bentuk benda, seperti tas, sepatu, dan seragam sekolah,” ujar Dewi lagi.

Seiring berjalannya waktu, Juliana menyaksikan teman-temannya satu per satu terhenti langkahnya akibat tradisi perkawinan anak. Dalam adat SAD, pernikahan dini adalah hal lumrah, bahkan sering dianggap sebagai takdir yang tidak bisa dielakkan. Di Suku Anak Dalam, perkawinan anak biasanya terjadi pada anak perempuan dengan rentang usia 13 hingga 17 tahun.

Dalam jurnal yang ditulis oleh Ira Hamzah (2014), dijelaskan bahwa dalam hukum adat Suku Anak Dalam, tidak ada konsep wali nikah maupun wali anak. Perkawinan adat mereka diatur oleh Tumenggung, pemimpin adat, dan dilaksanakan oleh seorang dukun yang bertindak sebagai penghulu. Karena proses perkawinan ini tidak melibatkan negara, maka pernikahan yang terjadi pada masa lalu tidak tercatat secara resmi.

Namun, pendampingan yang dilakukan Pundi Sumatra membawa perubahan. Orang tua mulai menyadari bahwa pendidikan adalah investasi masa depan. Berkat usaha tersebut, angka perkawinan anak di kalangan usia sekolah mulai menurun.

Juliana sendiri pun memilih jalan yang berbeda. Pada 2020, ia mengambil langkah berani dengan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, sebuah keputusan yang tidak mudah bagi keluarganya. “Kami sempat dianggap aneh oleh komunitas karena mengizinkan Juliana kuliah. Mereka bilang itu buang-buang uang,” ujar Samsu, ayah Juliana.

Bagi komunitas, peran perempuan sering kali hanya sebatas urusan domestik. Namun, bagi Juliana, pendidikan adalah kunci untuk membuka peluang yang lebih luas, sekaligus cara untuk mematahkan stigma.

Juliana resmi menjadi mahasiswa baru di Universitas Muhammadiyah Jambi (UMJ) pada 2020, mengambil jurusan Kehutanan. Sebagai perempuan pertama dari komunitas SAD yang melanjutkan pendidikan tinggi, ia menghadapi tantangan besar. Tidak jarang ia merasa terasing, bahkan mendapatkan anggapan negatif dari komunitasnya. Namun, dukungan dari orang tua dan Pundi Sumatra menjadi kekuatan yang menjaga semangatnya tetap menyala.

SAD Goes to Campus pada tahun 2020 menjadi pengalaman pertama bagi Juliana dan anak-anak dari komunitasnya untuk mengunjungi perguruan tinggi. Program ini menjadi langkah awal bagi mereka untuk mengenal dunia pendidikan tinggi, yang sebelumnya terkesan sangat jauh dan sulit dijangkau. Kunjungan pertama mereka ke perguruan tinggi di Kota Jambi, yaitu Universitas Muhammadiyah Jambi (UMJ), merupakan bagian dari upaya Pundi Sumatra, yang bekerja sama dengan Kemitraan dan Baznas, untuk membuka akses pendidikan formal bagi masyarakat Suku Anak Dalam.

Selama kuliah, Juliana terus berkembang. Ia tak hanya berprestasi secara akademik, tetapi juga aktif dalam berbagai kegiatan. Ia pernah tampil membaca puisi di Festival Budaya Jambi, berbicara di forum nasional, hingga menjadi narasumber untuk berbagi kisahnya. Dari gadis pemalu yang hanya menjawab dengan kata-kata singkat, Juliana kini mampu berbicara di depan umum dengan percaya diri.

Di tengah segala tekanan, Juliana membuktikan bahwa perempuan dari rimba juga bisa bermimpi dan mewujudkannya. Ia menjadi simbol harapan bagi komunitasnya, khususnya perempuan SAD yang selama ini terkungkung dalam tradisi dan stigma.
“Juliana adalah bukti bahwa pendidikan bisa mengubah segalanya,” ujar Dewi. Dengan keberanian dan keteguhannya, Juliana telah membuka jalan bagi generasi muda SAD untuk bermimpi lebih tinggi.

Di akhir perjalanan studinya, Juliana tidak hanya lulus dengan gelar sarjana, tetapi juga membawa perubahan besar dalam cara pandang komunitasnya terhadap perempuan dan pendidikan. Kini, ia berdiri sebagai pionir, membuktikan bahwa impian, sebesar apa pun, bisa dicapai oleh siapa saja, termasuk perempuan dari rimba.

Semoga Juliana menjadi ramalan yang terbukti dari sebuah tulisan yang digoreskan oleh Kartini. Bahwa emansipasi wanita bukanlah untuk persamaan derajat, namun merupakan pembuktian diri yang seimbang, antara raga yang tangguh dan hati yang senantiasa patuh. Bahwa emansipasi adalah penerimaan, setiap tempat ada empu yang dikodratkan dan dipantaskan.

Penulis :

PUNDI SUMATRA