Perempuan Adat, Penjaga Kearifan Lokal: Sebuah Review Film Dokumenter GEDSI

Sebagai seorang penikmat film yang terbiasa dengan drama Korea yang penuh emosi dan jalan cerita yang kompleks, saya tak pernah menyangka bahwa sebuah film dokumenter berdurasi kurang dari 20 menit mampu meninggalkan kesan yang begitu mendalam. Film ini bukan sekadar suguhan visual yang memanjakan mata, tetapi juga menghadirkan kisah reflektif yang membuka wawasan tentang kehidupan masyarakat adat yang lekat dengan nilai-nilai kearifan lokal.

Ketika tombol putar ditekan, saya langsung disuguhkan dengan visual yang memukau. Sinematografi dalam film ini begitu tajam dan imersif, menangkap keindahan desa di Kabupaten Maros dengan cara yang estetis sekaligus intim. Pengambilan gambar yang memperlihatkan hamparan alam, interaksi masyarakat, hingga detail kehidupan sehari-hari, membuat saya seolah-olah hadir di sana. Salah satu adegan yang paling membekas adalah saat ritual adat ditampilkan.

Prosesi sakral itu ditampilkan begitu nyata, menghadirkan ekspresi penuh penghormatan masyarakat terhadap leluhur dan alam. Film ini tidak sekadar mengajak saya menjadi penonton, tetapi juga membuat saya benar-benar merasakan atmosfer kehidupan masyarakat desa yang penuh filosofi.

Selain kekuatan visualnya, narasi dalam film ini juga sangat mengalir. Alur yang disusun dengan cermat menciptakan kesinambungan cerita yang terasa alami. Tidak ada kesan dramatisasi berlebihan, justru film ini menyajikan realitas yang apa adanya. Dalam keterbatasan durasi, ia berhasil menyampaikan isu-isu sosial dan keresahan masyarakat dengan cara yang subtil namun menggugah. Ada momen-momen yang membuat saya tersentak, menyadari bahwa di balik kesederhanaan kehidupan masyarakat adat, tersimpan berbagai tantangan yang layak direnungkan bersama.

Salah satu refleksi terbesar yang saya dapatkan dari film ini adalah bagaimana masyarakat adat sering kali dianggap menjalankan praktik-praktik kuno yang tidak relevan dengan kehidupan modern. Namun, film ini berhasil membalik perspektif tersebut. Ritual-ritual yang mereka lakukan bukanlah sekadar tradisi tanpa makna, tetapi ekspresi penghormatan terhadap alam dan kehidupan. Dalam kehidupan masyarakat desa, tidak ada dikotomi antara manusia dan lingkungan. Alam bukan hanya sumber daya yang bisa dieksploitasi, tetapi bagian dari keberlanjutan hidup yang harus dijaga. Kesadaran ekologis mereka jauh lebih tinggi dibandingkan kebanyakan dari kita yang hidup di kota dengan segala kemudahan teknologi.

Saya merasa iri dengan bagaimana mereka memiliki rasa kepemilikan yang tinggi terhadap tanah dan lingkungannya, sesuatu yang semakin langka di dunia modern.
Namun, meskipun film ini begitu kaya akan pesan, saya merasa ada beberapa aspek yang masih bisa dikembangkan lebih jauh. Salah satunya adalah memberikan ruang lebih bagi suara generasi muda di desa. Akan sangat menarik jika pemuda dan pemudi turut berbagi kisah dan harapan mereka tentang masa depan warisan budaya mereka.

Dengan begitu, kita bisa melihat bagaimana tradisi ini diinterpretasikan oleh generasi muda dan bagaimana mereka beradaptasi dengan dunia yang terus berubah. Selain itu, satu aspek yang dapat diperbaiki adalah penyertaan teks terjemahan pada setiap dialog atau audio dalam film. Hal ini akan membantu lebih banyak penonton memahami isi film dengan lebih baik, terutama bagi mereka yang tidak familiar dengan bahasa atau dialek yang digunakan.

Film dokumenter ini, meskipun berdurasi singkat, mampu menyampaikan begitu banyak pesan yang dalam. Ia tidak hanya memperlihatkan keindahan desa, tetapi juga menggugah kesadaran kita tentang nilai-nilai yang mungkin mulai terkikis dalam kehidupan modern. Film ini layak diapresiasi dan didiskusikan lebih jauh.

Terima kasih kepada para pembuat film yang telah menghadirkan potret kehidupan masyarakat adat di desa Bonto Manurung dan Bonto Somba. Saya berharap lebih banyak film seperti ini diproduksi dan dinikmati oleh masyarakat luas, karena masih banyak pelajaran yang bisa kita petik dari mereka yang hidup lebih dekat dengan alam dan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati.

Penulis :

Khaerunnisa Muhiro