Perempuan Adat dan Kisah Perjuangan Menjaga Lingkungan

“kenapa saya sangat fokus terhadap krisis iklim dan dampaknya terhadap perempuan adat pesisir, karena saya melihat sendiri bagaimana perempuan adat pesisir mengalami kekerasan yang paling besar daripada yang lain.”

Teh Aas, begitu sapaannya, mendeskripsikan kegelisahannya terhadap kondisi perempuan pesisir di daerahnya di Pulau Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu, pada 16 Oktober 2023 di acara diskusi panel konferensi tenurial 2023. Pulau Pari adalah salah satu di antara seratus pulau yang ada dan membentuk gugusan kepulauan di Teluk Jakarta. Sampai saat ini dirinya dan nelayan pesisir sedang berjuang di pengadilan negara Swiss untuk menuntut keberlanjutan wilayah mereka yang kini sudah tercemar akibat limbah dan sampah dari kegiatan industri ekstraktif.

“kenapa kami tidak menuntut ke pengadilan hukum Indonesia, karena hukum di negara kita sangat tidak adil,” jelasnya.

Teh Aas bersama dengan kelompok Forum sejak tahun 2015 memiliki konsentrasi terhadap upaya pelestarian mangrove. Bukan tanpa alasan, hal tersebut dilakukan demi menjaga kelestarian alam pulau Pari yang kini mulai terancam. Catatan dari Greenpeace menjelaskan, tahun 2014-2015 yang lalu Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengeluarkan sekitar 77 sertifikat di atas tanah Pulau Pari. Sertifikat-sertifikat ini kemudian dinyatakan maladminstrasi oleh Ombudsman Republik Indonesia pada awal April 2018.

Warga Pulau Pari adalah penduduk yang sudah mengelola lahan setempat secara turun temurun. Mereka hanya mempunyai tanah tempat rumah mereka berdiri saat ini, sementara hidup mereka juga bergantung pada kelestarian laut. Kini, tanah 41 hektar yang ditempati oleh 32 Kepala Keluarga itu pun terancam dan sedang dirampas oleh perusahaan yang menguasai tanah seluas 44.500 hektare di seluruh Indonesia.

Perjuangan Teh Aas dan warga pulau Pari lainnya seakan tidak bertepi di tengah banyaknya pihak yang menyatakan keberpihakannya kepada rakyat. Teh Aas dan warga pulau Pari masih terus berjuang menghadapi besarnya kekuatan pemodal yang bahkan sempat melakukan kriminalisasi kepada warga dan mencoba melakukan privatisasi pulau-pulau kecil. Ditambah dengan kondisi pulau yang kini penuh dengan limbah dan sampah. Mangrove hampir terkikis sepenuhnya dan kondisi biota laut pun sudah hampir punah. Ini menjadi ketakutan warga di tengah perubahan iklim yang semakin nyata, kalau-kalau abrasi muncul dan menimpa warga pulau Pari.

“kalau terjadi krisis iklim, para suami gak bisa melaut dan menghasilkan tangkapan ikan, dan ini tentu menjadi beban ganda bagi kami perempuan pesisir untuk lebih keras lagi mendapatkan pendapatan dan kehidupan yang layak,” tegas Teh Aas.

Teh Aas mengakui bahwa sampai saat ini warga pulau Pari masih menunggu kepastian legalitas wilayah mereka dari pemerintahan Indonesia. Mereka akan terus berjuang sampai mereka mendapatkan hak-haknya. “Mungkin saat ini kami masih aman untuk bertani dan melaut, tapi gak tahu untuk 10 tahun ke depan, karena air laut terus naik sejak perubahan iklim ini,” jelasnya.

Bagaimana Perempuan Adat Mollo Memaknai Lingkungan Hidup

Dalam artikel ilmiah Do Trees Talk to Each Other disebut masyarakat adat Mollo menyampaikan bahwa untuk menjadi Indonesia, kau seharusnya berakar pada jati diri. Dan di Mollo, itu semua bermula dari menjaga alam dan tradisi. Di Mollo, hampir semua kebutuhan hidup bisa dipenuhi tanpa perlu terus-menerus mengeluarkan uang. Jagung, jamur, lakoat, kujawas, umbi-umbian, dan sayur-mayur, semuanya tumbuh dan bisa dipanen di pekarangan rumah, kebun, dan hutan.

“bagi perempuan adat Mollo di NTT, ada empat elemen lingkungan hidup yang penting bagi kami. Air sebagai darah, batu sebagai tulang, dan hutan sebagai rambut, jantung dan paru-paru,” kata Marlinda Nau, pada diskusi panel konferensi tenurial, 16 Oktober 2023.

Marlinda Nau menyebutkan, dalam konsep masyarakat adat Mollo, alam, hutan, mata air, batu, adalah tentang peran perempuan. Merekalah yang selama ini menjaga situs dan batu marga. Jika alam dirusak, peran mereka mengatur persediaan hajat hidup keluarga terganggu. Perempuanlah yang paling akan merasakan dampak dari ketidakseimbangan yang terjadi di alam.

“Untuk dua tahun terakhir ini, kondisi lingkungan di Mollo masih berjalan dengan baik, mau dibilang perempuan dan anak muda sudah ada ruang, mereka bisa menyampaikan pendapat, mereka juga bisa terlibat di badan pemerintahan maupun musyawarah,” jelasnya.

Bagi masyarakat adat Mollo, uem bubu bukan sekadar rumah. Ia adalah lumbung pangan dan pengetahuan. Ketika gunung batu, mata air, atau hutan diganggu, masyarakat akan bereaksi karena itu terhubung dengan jati diri mereka. Kasus penambangan marmer yang terjadi di Mollo pada 1999, misalnya. Masyarakat adat melawan karena gunung batu yang hendak ditambang adalah gunung batu identitas masyarakat Mollo. Ketika gunung batu itu dihancurkan, asal muasal leluhur lenyap.

Dilansir dari laporan project multatuli, perjuangan masyarakat Mollo mengusir perusahaan tambang berlangsung panjang. Pada 2006, para perempuan turun berjuang mempertahankan identitas mereka dengan menenun selama berbulan-bulan di gunung batu. Pendekatan kebudayaan, lewat narasi tenun dan nama marga terkait batu, mata air, dan hutan terbukti ampuh menggalang keberanian para warga untuk menolak dan melawan kehadiran perusahaan tambang.

Perempuan punya peran strategis dalam tatanan masyarakat adat Mollo. Seorang bife ainaf—mama—bertugas memanajemeni keluar-masuk bahan pangan. Mengatur hajat hidup satu keluarga dan merancang strategi agar bisa bertahan melewati musim dengan bahan pangan yang dimiliki.
Tak hanya itu mereka merawat ritual-ritual adat untuk menjaga relasi dengan alam dan leluhur. Ritual-ritual adat yang dijalankan terkait pengetahuan iklim dan ekologi. Merekalah yang merawat narasi itu tetap hidup dalam masyarakat adat Mollo.

“di Mollo itu peran perempuan tidak usah diragukan lagi. Seratus persen perannya menjaga hutan dan alam, karena sumber pengetahuan itu dari perempuan itu sendiri.”

Marlinda Nau berharap, dengan adanya konferensi tenurial yang diselenggarakan oleh berbagai sektor lembaga lingkungan ini, semakin banyak perempuan khususnya anak muda diberikan ruang untuk berbicara dan mengambil keputusan terkait isu agraria dan pengelolaan sumber daya alam di Mollo.

Hutan Perempuan di Tobati

Hutan Perempuan adalah nama hutan bakau yang keberadaannya tak bisa dipisahkan dari perempuan Enggros dan Tobati. Letaknya di Teluk Youtefa, Jayapura, Papua. Hutan itu adalah kawasan bakau yang dirawat oleh para perempuan dengan kearifan lokal secara turun-temurun. Kaum lelaki yang berani datang ke hutan itu ketika ada perempuan di dalamnya harus membayar denda adat berupa manik-manik, barang berharga bagi warga Tobati yang mahal harganya.

Tradisi mengunjungi hutan bakau, dalam bahasa setempat disebut tonotwiyat. Tonot berarti hutan bakau, sedangkan wiyat berarti ajakan. Di hutan yang sunyi itu, para perempuan dengan bebas mencurahkan hati satu sama lain, menceritakan masalah yang dihadapi atau nostalgia masa lalu, sambil mendengarkan kicauan suara burung.

“Di daerah Tobati, Jayapura, perempuan adat selalu tidak diberi ruang ketika ingin bersuara. Makanya kami menggunakan hutan sebagai wadah untuk kami berbicara,” jelas Mama Marice pada diskusi panel konferensi tenurial, 16 Oktober 2023.

Mama Marice juga menambahkan kalau ada rapat besar-besaran, laki-laki dan perempuan dipanggil untuk rapat. Laki-laki duduk di para-para adat, perempuan duduk di para-para rumah saja. Hal inilah yang menjadikan Hutan Perempuan sangat sakral bagi perempuan adat di Tobati. Sayangnya, kearifan lokal di Hutan Perempuan kini mulai tergerus oleh perkembangan zaman.

Mama Marice menuturkan makin sedikit perempuan muda yang peduli untuk melestarikan tradisi Hutan Perempuan. Sehingga tumpuan harapan pelestarian, kini berada di pundak mama-mama yang telah lanjut usia. Ditambah Hutan Perempuan kini menghadapi beragam ancaman yang berdampak pada makin menyusutnya luasan hutan akibat pembangunan dan pencemaran lingkungan akibat sampah perkotaan yang bermuara di Teluk Youtefa.

“Di konferensi ini, mama berharap mendapatkan wawasan yang lebih luas untuk dapat terus berjuang dan mewariskannya dengan anak muda yang ada demi menjaga hutan untuk anak cucu mama ke depannya,” tutupnya.

Penulis :

Yael Stefany