Dalam kehidupan masyarakat adat di Indonesia, perempuan adat memegang peran sentral yang sangat penting. Mereka menjaga kelestarian alam dan memastikan keberlanjutan hidup komunitas mereka. Namun, data baseline yang dilakukan oleh KEMITRAAN pada tahun 2022 mengungkapkan bahwa perempuan adat masih menghadapi tantangan besar. Seperti, minimnya keterlibatan dalam komunitas adat dan dominasi laki-laki dalam pengambilan keputusan.
Masyarakat adat sangat bergantung pada sumber daya alam. Perempuan adat memiliki peran khusus sebagai penjaga pengetahuan adat yang diperoleh dari leluhurnya. Namun, ketidaksetaraan gender membuat perempuan adat terpinggirkan dalam proses pembangunan. Sehingga, mereka rentan terhadap kekerasan berbasis gender dan dampak ganda akibat persoalan iklim.
KEMITRAAN, sebagai mitra pelaksana program KEMITRAAN Australia-Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif, telah berupaya mengatasi ketidaksetaraan ini. Dengan melakukan pendataan dan dokumentasi pengetahuan adat, KEMITRAAN berusaha membangun kesadaran di antara komunitas adat. Untuk menggunakan pengetahuan adat sebagai kekuatan dalam mendukung ketahanan sosial dan ekonomi komunitas.
Widya Anggraini, Project Manager KEMITRAAN, menyatakan bahwa tantangan ini menjadi fokus utama program mereka. KEMITRAAN berpartisipasi dalam Paris Peace Forum 2023 di Prancis untuk berbagi inisiatif. Juga belajar bersama praktisi dari seluruh dunia mengenai isu-isu sosial, lingkungan hidup, perubahan iklim, dan isu gender.
“Melihat tantangan-tantangan tersebut, KEMITRAAN bersama 10 mitra lokal melakukan pendataan dan dokumentasi pengetahuan adat. Nantinya mendukung riset dan studi untuk kebijakan berbasis bukti, serta membangun kesadaran di antara komunitas adat. Pengetahuan adat tersebut sebagai kekuatan, baik dalam mendukung ketahanan sosial maupun ekonomi komunitas.” ujar Widya Anggraini.
Contohnya, di Desa Toro, Sigi, Sulawesi Tengah, perempuan adat memiliki peran dalam merancang pekerjaan pertanian dan penanganan konflik di kampung. “Kami juga mengatur kerja-kerja pengelolaan sawah dan ladang. Seperti, menentukan kapan waktu tepat untuk panen,” ujar perempuan adat di Desa Toro, Rukmini.
Di Desa Meurumba, Kabupaten Sumba Timur, salah satu tokoh perempuan adat, Rambu Bombu, menegaskan pembangunan tidak hanya sebatas penyediaan infrastruktur, tetapi juga mencakup pemenuhan kebutuhan detail seperti bibit dan alat pertanian.
“Kami merasakan perubahan di mana mereka ketika diberikan ruang serta peluang, terutama pelibatan dalam forum-forum diskusi hingga pengambilan kebijakan. Dari yang sebelumnya setiap keputusan musrembangdes hanya mengakomodir untuk urusan infrastruktur, kini sudah ada dukungan bibit dan alat-alat pertanian. Seperti, mesin potong rumput dan mesin pompa air untuk kegiatan pertanian dan ekonomi desa,” jelas Rambu.
Kedua contoh tersebut menunjukkan bahwa memberikan ruang setara bagi perempuan adat dapat memberikan jaminan rasa aman. Juga memaksimalkan peran mereka sebagai penjaga pengetahuan adat dalam pengelolaan sumber daya alam.
Melalui partisipasi dalam Paris Peace Forum 2023, KEMITRAAN berharap dapat membuka jejaring yang lebih luas untuk mengangkat isu perempuan adat. Terutama dalam mengatasi tantangan krisis pangan. Dengan keyakinan bahwa menjaga pengetahuan adat tidak hanya melibatkan tradisi, tetapi juga menjamin keberlanjutan hidup saat ini dan di masa mendatang.