Peran Perempuan Cina Benteng Menjelang Perayaan Imlek

Menjelang Tahun Baru Imlek, suasana di kawasan Cina Benteng di Desa Belimbing, Kosambi, Kabupaten Tangerang mulai terasa berbeda. Jalan-jalan utama di desa ini biasanya menjadi saksi dari tradisi turun-temurun yang terus dijaga oleh komunitas Tionghoa Peranakan. Namun, dalam perjalananku kali ini, aku mendapati bahwa perayaan Imlek di Cina Benteng tidak semeriah yang kubayangkan.

Tak banyak rumah yang dihiasi lampion merah atau ornamen khas Imlek. Hanya beberapa rumah dan vihara yang memperlihatkan suasana perayaan, sementara rumah lainnya tampak biasa saja. Meski begitu, Imlek bagi masyarakat Cina Benteng bukan sekadar perayaan yang ditandai dengan dekorasi, tetapi lebih kepada esensi menjaga tradisi dan kebersamaan keluarga.

Aku menyempatkan diri berkunjung ke rumah Ibu Chen Fie, seorang perempuan yang cukup dihormati di lingkungan RW 01. Dari luar, rumahnya tampak sederhana tanpa pernak-pernik Imlek. Namun, begitu aku diajak masuk ke dapurnya, pemandangan yang kutemui sangat berbeda. Dapur itu dipenuhi dengan aroma manis dari wajik dan ladu yang sedang dibuat untuk sembahyang Imlek. Tangan Ibu Chen Fie cekatan mengaduk adonan wajik, yang terbuat dari beras ketan, gula merah, dan santan. Di sampingnya, beberapa anaknya turut membantu menata ladu, kue manis lengket yang menjadi pasangan wajik.

“Dulu, saya buat semua sendiri. Sekarang sudah tidak sekuat dulu, jadi setengahnya beli,” katanya sambil tersenyum. Baginya, membuat wajik dan ladu bukan sekadar tradisi, tetapi simbol kebersamaan keluarga. Tekstur lengket dari makanan ini melambangkan eratnya hubungan antaranggota keluarga, sementara rasa manisnya menjadi doa agar kehidupan di tahun yang baru penuh keberkahan dan kebahagiaan.

Namun, Ibu Chen Fie mengakui bahwa tradisi ini mulai memudar. Banyak generasi muda yang lebih memilih membeli kue jadi daripada membuatnya sendiri. “Zaman sekarang, orang lebih memilih yang praktis,” ujarnya dengan nada pasrah. Meski demikian, ia tetap berusaha menjaga tradisi ini agar tidak hilang begitu saja.

Di sudut lain Desa Belimbing, aku bertemu dengan Ibu Lanni, seorang perempuan Cina Benteng yang menjadikan tradisi Imlek sebagai ladang rezeki. Berbeda dengan Ibu Chen Fie yang membuat kue untuk konsumsi keluarga, Ibu Lanni menerima pesanan berbagai macam kue khas Imlek setiap tahunnya. Kue nastar, semprit, lidah kucing, biji ketapang, hingga kue keranjang menjadi produk andalannya.

“Setahun sekali, saya selalu kebanjiran pesanan,” katanya dengan antusias. Baginya, momen Imlek bukan hanya sekadar perayaan, tetapi juga kesempatan untuk mengasah keterampilan dan menambah penghasilan. Berkat usahanya, banyak keluarga di Cina Benteng yang tetap bisa menikmati kue tradisional tanpa harus repot membuatnya sendiri.

Di tengah dapur yang sibuk, ada generasi muda yang mempersiapkan Imlek dengan cara berbeda. Tata dan Nana, dua gadis remaja Cina Benteng, tampak sibuk mencuci pakaian bernuansa merah. Warna merah dalam budaya Tionghoa melambangkan keberuntungan dan kebahagiaan, sehingga banyak orang memilih mengenakan pakaian berwarna cerah saat Imlek.

Namun, ada aturan yang harus dipatuhi. Menurut Mba Dewi, seorang perempuan Cina Benteng lainnya, mereka yang sedang berduka tidak diperbolehkan mengenakan warna cerah seperti merah, kuning, atau pink. “Mereka hanya boleh memakai warna gelap seperti biru, hijau, atau hitam, yang menandakan bahwa mereka sedang berkabung,” jelasnya.

Seiring perkembangan zaman, peran perempuan Cina Benteng dalam menyambut Imlek mengalami banyak perubahan. Jika dulu mereka sibuk membuat kue dan menyiapkan hidangan sembahyang, kini sebagian besar memilih cara yang lebih praktis. Meski demikian, esensi dari perayaan ini tetap terjaga: kebersamaan dan penghormatan kepada leluhur.

Bagi sebagian perempuan seperti Ibu Chen Fie dan Ibu Lanni, menjaga tradisi berarti tetap membuat kue-kue khas meski dalam jumlah yang lebih sedikit. Sementara bagi generasi muda, Imlek lebih tentang menampilkan diri dengan pakaian terbaik dan berkumpul bersama keluarga. Perbedaan ini mencerminkan bagaimana budaya terus berkembang tanpa kehilangan akar tradisinya.

Di tengah hiruk-pikuk perubahan zaman, perempuan Cina Benteng tetap menjadi penjaga tradisi, baik di dapur, di rumah, maupun dalam komunitas mereka. Dengan caranya masing-masing, mereka memastikan bahwa perayaan Imlek tetap menjadi momen istimewa yang penuh makna bagi keluarga dan masyarakat Cina Benteng.

Penulis :

Eri Susilowati