Pembangunan Waduk Lambo: Hilangnya Tanah Adat di Komunitas Rendu

Pembangunan Waduk Lambo merupakan salah satu proyek strategi nasional (PSN) yang bertujuan untuk menyediakan kebutuhan air baku dan irigasi di kabupaten Nagekeo. Wacana pembangunan tersebut sudah hadir di Nagekeo sejak tahun 1999. Dimana pembangunan tersebut masih dinamai dengan pembangunan waduk Mbai. Namun, isu itu kemudian menghilang karena masyarakat menolak pembangunana tersebut.

Aspirasi masyarakat pada saat itu pun disampaikan langsung oleh Jacob Nuwa Wea, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada kabinet gotong royong. Akan tetapi, pasca pemekaran kabupaten Ngada dan lahirnya kabupaten Nagekeo di tahun 2008, wacana pembangunan waduk Lambo ini hadir kembali di tahun 2015.

Masyarakat pun kembali melakukan penolakan, terutama menolak lokasi pembangunan yang berada di desa Lowo Se. Perjuangan demi perjuangan pun dilakukan masyarakat adat Rendu seperti membentuk Forum Penolakan Waduk Lambo (FPWL) dimana sudah beberapa kali menyurati Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Gubernur, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Polisi daerah (Polda) NTT, Pemerintahan daerah (Pemda) Nagekeo, juga staf Kepresidenan. Akan tetapi hasilnya nihil.

Bahkan masyarakat melakukan konsolidasi serta melakukan koordinasi untuk memimpin aksi massa. Masyarakat adat Rendu pernah melakukan pagar betis atau penghadangan terhadap Satuan Polisi Pamong Praja (SatPol PP) di dekat pintu masuk titik nol. Bentrokan fisik pun terjadi. Satpol PP dengan masyarakat adat melakukan dorong-dorongan yang mengakibatkan semua perempuan adat yang ikut dalam penghadangan tersebut jatuh dan dua orang mengalami pingsan.

Tidak hanya itu, penghadangan yang dilakukan masyarakat terhadap aparat kepolisian pun mengakibatkan perempuan adat mengalami kekerasan fisik seperti dicekik, diborgol dan ditangkap ke Polres Nagekeo tanpa alasan yang jelas. Tidak berhenti samapi disitu, masyarakat adat Rendu juga melakukan ritual adat dengan menggantung seekor babi dan ayam sebagai simbol untuk mengutuk semua yang merampas tanah ulayat mereka.

Pada 4 April 2023 masyarakat kembali melakukan penghadangan di pintu masuk roga-roga. Penghadangan itu pun mengakibatkan 24 orang masyarakat adat Rendu yang terdiri dari 1 perempuan dan 23 laki –laki ditangkap oleh aparat kepolisian dan ditahan di Kapolres Nagekeo selama satu hari satu malam. Di hari yang sama pula alat berat berupa eksavator serta para pekerja mulai masuk ke lokasi Lowo Se. Pembangunan waduk Lambo pun kini terus berlanjut hingga sekarang.

PEREMPUAN AMAN menilai alam yang dulu sangat indah kini sudah tergerus habis. Lahan garapan, aset tanaman tumbuhan, padang penggembalaan dan tempat ritual kini sudah hancur untuk dibangun bantalan waduk. Pembangunan waduk raksasa ini juga menenggelamkan 30 rumah, makam leluhur dan aset tanaman tumbuhan di pekarangan yang selama ini menjadi sumber untuk memenuhi kebutuhan harian keluarga.

Pasca pembangunan waduk Lambo, masyarakat adat Rendu pun berjuang untuk hak-hak masyarakat adat yang sampai saat ini belum mereka dapatkan. Hal ini terkait ganti rugi yang dijanjikan pemerintah pada saat perencanaan pembangunan waduk. Berkali-kali masyarakat adat harus turun ke BPN kabupaten yang jaraknya sekitar 33 km untuk memastikan data dan mengawal sudah sejauh mana proses ganti rugi tersebut dilakukan.

Apalagi kondisi hari ini, masyarakat juga harus dihadapkan dengan konflik lain yakni pengklaiman tanah antar individu dan antar suku. Kini, masyarakat adat Rendu membentuk pantia relokasi untuk mengatur, berkoordinasi dan melakukan relokasi ke tempat yang tidak digenangi air. Ini mereka lakukan karena adanya ketakutkan masyarakat adat akan keberlangsungan hidup dan generasi mendatang.

“Kami tidak tahu akan kemana dan seperti apa kehidupan kami kedepannya, untuk saat ini kami terus bertahan di tempat ini sampe air yang harus mengusir kami,” kata mama Melda, perempuan adat Rendu.

Penulis :

Sisilia Wunu