Pelatihan Pengolahan Gula Semut bersama Masyarakat Adat Cindakko

Pelatihan pengolahan gula semut berlangsung di dusun Cindakko bersama Kelompok Wanita Tani (KWT) Bukit Cindakko; Selasa 16 Mei 2023. Pada titik di ketinggian, pada salah satu rentetan bukit Cindakko, kabupaten Maros; Masyarakat adat Cindakko menyebutnya Kacoci. Pada titik itu tujuan kami, (saya, Alfat dan Kak Enal) berjalan kaki selama satu jam dari perhentian motor, ke rumah Pak Indar.

Kami, tiba pada pukul 10 pagi. Melewati jalur terjal yang sering kami sebut sebagai “tanjakan kasih sayang.” Yang tak biasa berjalan sambil mendaki, akan merasa isi perutnya keluar, muntah kuning, pandangan kabur, dan itulah definisi kasih sayang pada tanjakan itu.

Pak Indar, Suami dari ketua KWT Bukit Cindakko menyambut kami di tengah pendakian, satu kilo meter menuju lokasi. Pak Indar saat itu sedang mencari jaringan di atas pematang sawah berundak-undak. Pak Indar bermaksud menghubungi kami, dia sudah cemas, karena kami belum datang juga, padahal janji pertemuan kami seharusnya satu hari yang lalu.

Pak Indar berteriak dari atas, kami menengok, dan dia menyambut kami dengan senyuman.

Bersama Pak Indar, kami berbincang soal rencana pelatihan gula semut yang sudah kami sepakati. Pak Indar tersenyum, kami menggoda; pelatihan gula semut harus dilaksanakan hari itu juga, dan Pak Indarlah yang kami andalkan untuk menyukseskan acara pelatihan. Pak Indar menyanggupi permintaan kami. Pak Indar berangkat menginformasikan kepada warga Kacoci untuk berkumpul pada pukul 14:00, dan kami melanjutkan perjalanan ke rumah pak Indar.

Di rumah pak Indar, kami disambut hangat oleh Bu Indar ketua KWT Bukit Cindakko. Dia memberi kami air putih yang dingin dan menyegarkan. Perjalanan menuju Kacoci bisa dibilang, sebagai perjalanan yang menghabiskan air liur sampai isi tenggorokan. Nikmat sekali rasanya meminum air putih pegunungan yang menyegarkan saat lelah dan ngos-ngosan.

Sehabis itu, pak Indar ikut bergabung, dan membawa kabar gembira, bahwa para anggota KWT menyanggupi waktu pelatihan gula semut.

Pada pukul 14:00, air nira sudah meletup-letup di atas wajan pembakaran, di bawah kolong rumah panggung kayu. Para anggota KWT berkumpul di sekitar wajan. Anggota KWT berbincang dan berdiskusi setelah mendengar penjelasan singkat dari narasumber soal proses pengolahan gula semut.

Hanya saja, setelah air Nira mulai gelap, air Nira tidak bisa berserbuk menjadi gula semut. Larutan nira yang digunakan sebagai bahan utama pembuatan gula semut, ternyata sudah tua dan sudah melewati proses fermentasi.

Namun, kegagalan ini tidak membuat semangat para ibu, anggota KWT, menjadi urung. Kami bersepakat untuk membeli air nira baru, dan mengulang lagi dari awal.
Sementara menunggu air nira yang baru dituang ke dalam wajan, pelatihan berlanjut ke produksi kopi.

Kak Enal sebagai narasumber menjelaskan dengan cukup detail. Penjelasan kak Enal juga tidak jelimet, sehingga proses pemindahan pengetahuan tentang kopi kepada para petani rakyat berlangsung cair dan mudah dipahami.

Lihatlah salah satu petani kopi, pak Nawir yang sangat bersemangat, ikut memberi masukan dengan membagikan pengalamannya tentang kesulitannya merawat pohon kopi. Menurut pak Nawir, dia amat sangat bersyukur mengikuti acara pelatihan, karena mendapatkan pengetahuan baru perihal tata cara merawat pohon kopi.

Pak Nawir juga menjelaskan bahwa tantangan terbesarnya sebagai seorang petani kopi adalah kemalasan. Padahal menurutnya, setelah mengikuti penjelasan dari narasumber, perawatan kopi dari mulai menanam hingga pasca panen membutuhkan komitmen dan ketelatenan.

Setelah proses diskusi pelatihan produksi kopi, para peserta kembali berpindah menuju wajan gula nira yang sudah mendidih di bawah kolong rumah. Waktu itu menjelang magrib, para ibu kembali berkerumun dan sangat berharap bahwa praktik kali ini bisa berhasil.

Melihat air nira yang tidak kunjung menjadi serbuk, para ibu mulai kewalahan dan ingin menyerah. Namun, mereka memutuskan untuk terus mengaduk hingga Nira mulai mendingin. Hasil dari upaya bersama dan pantang menyerah, air Nira yang diragukan pada akhirnya menyerbuk dan menjadi gula semut.

Pada proses pasca pengadukan gula semut, para ibu memiliki cara yang unik dalam mengayak gula semut; mereka mengganti proses pengayakan menjadi proses penapisan; gula semut diperlakukan seperti proses tapis beras. Proses yang unik ini ternyata lebih mudah dan lebih efisien. Gula semut yang kasar dan halus cepat sekali berpisah.

Pada proses pembungkusan gula semut, para ibu, anggota KWT, sangat bersyukur praktik mereka berhasil dan memiliki kualitas yang cukup bagus.

Penulis :

Ma'ruf Nurhalis