Menjaga Alam atau Mencemari Sungai? Paradoks Pelestarian Lingkungan di Kasepuhan Cibarani

Di tengah derasnya arus modernisasi, masyarakat adat Kasepuhan Cibarani di Banten tetap berpegang teguh pada filosofi menjaga keseimbangan alam. Sejak turun-temurun, mereka mewarisi sistem pengelolaan hutan adat yang terbagi menjadi tiga kategori: Leweung Tutupan-Titipan (hutan larangan), Leweung Cawisan (hutan cadangan), dan Leweung Garapan (hutan produksi). Sistem ini mencerminkan pemahaman mendalam akan hubungan timbal balik antara manusia dan ekosistemnya, sebuah warisan kearifan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Namun, di balik keharmonisan yang mereka bangun dengan alam, muncul realitas lain yang justru bertolak belakang. Sungai yang membelah desa kini dipenuhi sampah rumah tangga. Paradoks ini memunculkan pertanyaan mendasar: benarkah masyarakat adat selalu menjadi penjaga lingkungan yang ideal? Ataukah ada dinamika lain yang membuat praktik keseharian mereka berlawanan dengan nilai-nilai adat yang dijunjung tinggi?

Berdasarkan penelitian Campbell (2011), praktik ekologis masyarakat adat sering kali didasarkan pada konsep sakralitas. Mereka memandang alam sebagai entitas suci yang harus dijaga keseimbangannya. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Dicky Sofjan (2011) yang menekankan bahwa ritual adat dan pengetahuan lokal berperan besar dalam perawatan lingkungan.

Namun, dalam dua tahun terakhir, pengelolaan hutan adat di Kasepuhan Cibarani mengalami stagnasi. Sejak pergantian kepala desa (Jaro), sistem adat yang selama ini mengatur pemanfaatan hutan menjadi tidak terorganisir dengan baik. Terdapat indikasi penyalahgunaan dana oleh oknum tertentu, yang menyebabkan pengelolaan hutan hanya mengandalkan gotong royong tanpa administrasi yang memadai. Ketidakpastian ini merugikan keseimbangan sosial dan ekologis yang selama ini dijaga dengan susah payah.

Di sisi lain, kondisi ini juga mencerminkan pandangan Latour (2005) tentang hibriditas antara kepentingan manusia dan lingkungan. Ketika aspek sosial dan politik tidak lagi mendukung sistem tradisional, maka ketidakseimbangan ekologi pun menjadi tidak terelakkan. Ini terlihat dari praktik pembuangan sampah ke sungai, sebuah ironi di tengah upaya menjaga kelestarian hutan.

Fenomena pembuangan sampah ke sungai di Kasepuhan Cibarani bukanlah sekadar masalah perilaku individu, melainkan mencerminkan kesenjangan dalam sistem pengelolaan lingkungan. Olot Suarta, salah satu tokoh adat, mengungkapkan bahwa pernah ada tawaran proyek bank sampah, tetapi program tersebut gagal karena ketiadaan lahan untuk pengelolaan. Padahal, kesadaran ekologis masyarakat sebenarnya cukup tinggi, hanya saja tanpa dukungan infrastruktur yang memadai, mereka tidak memiliki alternatif yang lebih baik.

Kurangnya sosialisasi tentang pengelolaan sampah oleh pemangku kepentingan juga memperparah keadaan. Masyarakat yang selama ini terbiasa dengan pola hidup berbasis adat tidak memiliki akses yang cukup terhadap edukasi lingkungan modern. Hal ini sejalan dengan analisis Sofjan (2011) yang menyoroti pentingnya ritual dan edukasi baru dalam membentuk kesadaran ekologis berkelanjutan. Jika dibiarkan tanpa solusi konkret, praktik ini dapat menjadi ancaman serius bagi ekosistem sungai dan keseimbangan alam secara keseluruhan.

Meskipun masyarakat adat telah lama mengandalkan agama dan tradisi dalam menjaga lingkungan, realitas modern menunjukkan bahwa pendekatan ini saja tidak lagi cukup. Dibutuhkan integrasi antara kearifan lokal dan intervensi berbasis sains serta teknologi untuk menciptakan solusi yang lebih berkelanjutan.

Pendekatan hybrid yang menggabungkan pengetahuan tradisional dengan teknologi sederhana dapat menjadi kunci dalam menyelesaikan masalah ini. Salah satu inovasi yang dapat diterapkan adalah pembangunan bank sampah berbasis komunitas dengan memanfaatkan teknologi pengelolaan limbah yang sederhana dan terjangkau. Selain itu, perlu adanya program sosialisasi yang lebih intensif tentang pengelolaan sampah, dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk lembaga adat dan pemerintah desa.

Konsep “place” yang dikemukakan Campbell (2011) juga menjadi relevan dalam konteks ini. Solusi ekologis harus berbasis kebutuhan lokal dan mempertimbangkan nilai-nilai budaya masyarakat setempat. Dengan cara ini, perubahan yang dihasilkan tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga diterima dan dipraktikkan secara berkelanjutan oleh masyarakat adat.

Kasepuhan Cibarani memiliki potensi besar untuk menjadi model ideal dalam menjaga keseimbangan alam, asalkan mereka mampu beradaptasi dengan tantangan zaman. Kesadaran ekologis sejati harus melibatkan transformasi budaya yang mencakup aspek spiritual, sosial, dan teknologi. Dengan mengedepankan kolaborasi lintas sektor, masyarakat adat tidak hanya dapat mempertahankan identitas mereka sebagai penjaga alam, tetapi juga membuktikan bahwa mereka mampu beradaptasi dalam menjaga lingkungan untuk generasi mendatang.

Perubahan ini bukan sekadar tanggung jawab individu, tetapi merupakan kewajiban kolektif yang melibatkan semua elemen masyarakat. Jika berhasil, Kasepuhan Cibarani tidak hanya akan kembali menjadi teladan dalam pelestarian lingkungan, tetapi juga menjadi inspirasi bagi komunitas lain dalam menghadapi tantangan ekologis di era modern.

Sebagaimana ditegaskan oleh Latour, perubahan membutuhkan adaptasi dinamis yang melibatkan manusia, teknologi, dan lingkungan secara bersamaan. Kini, saatnya bagi Kasepuhan Cibarani untuk kembali pada filosofi adat mereka—namun dengan pendekatan yang lebih relevan dan berkelanjutan bagi masa depan.

Penulis :

Ayu Maun Nadhifah