Di masa lampau, seni merajut bagi perempuan Cina Benteng bukan sekadar keterampilan tangan, tetapi juga wujud kreativitas yang diwariskan lintas generasi. Merajut menjadi bagian dari keseharian, mengisi waktu dengan menghasilkan karya yang bernilai estetika sekaligus fungsional. Namun, seiring dengan perubahan zaman dan modernisasi, seni ini perlahan memudar. Generasi muda semakin asing dengan keterampilan ini, dan warisan leluhur ini nyaris terhapus dari kehidupan mereka.
Tidak hanya faktor perubahan gaya hidup yang membuat seni merajut semakin ditinggalkan, tetapi juga minimnya fasilitator dan akses terhadap bahan serta pelatihan. Ketidaktersediaan modal dasar, seperti benang dan alat rajut, serta ketiadaan mentor yang dapat membimbing mereka dalam berinovasi, menjadi penghalang utama bagi perempuan Cina Benteng untuk kembali menghidupkan keterampilan ini.
Sebagai bagian dari upaya pemberdayaan perempuan, seni merajut kini mulai dihidupkan kembali di komunitas Cina Benteng. Sejak Oktober 2024, PPSW Jakarta menginisiasi pelatihan merajut bagi perempuan Cina Benteng sebagai langkah awal untuk membangkitkan kembali keterampilan yang hampir punah ini.
Pelatihan ini diikuti oleh berbagai peserta, baik mereka yang pernah memiliki keterampilan merajut maupun pemula yang tertarik untuk belajar. Hasilnya cukup menggembirakan. Dalam sesi pelatihan awal, para peserta menunjukkan kemampuan yang masih mumpuni dan berpotensi untuk dikembangkan. Mereka berhasil menciptakan berbagai produk kreatif, seperti gantungan kunci, bros, tas kecil, hingga dompet rajut.
Melihat hasil karya tersebut, dapat disimpulkan bahwa mengembangkan potensi keterampilan yang telah dimiliki komunitas jauh lebih efektif dibandingkan memberikan keterampilan baru. Pendekatan ini sejalan dengan konsep Asset-Based Community Development (ABCD) yang dikembangkan oleh Kretzmann dan McKnight (1993), yang menekankan pentingnya memperkuat aset lokal yang sudah ada dalam masyarakat.
Hanna Nel (2020) juga menegaskan bahwa pengembangan masyarakat berbasis aset memiliki enam prinsip utama: Perubahan harus berasal dari dalam komunitas, Fokus utama adalah mengenali dan mengoptimalkan aset yang telah ada, Inisiatif pengembangan harus dipimpin oleh komunitas itu sendiri.
Pemahaman terhadap keberhasilan sebelumnya menjadi dasar untuk pembangunan yang berkelanjutan, Perubahan harus didorong oleh hubungan sosial yang kuat dan berakar pada budaya local, dan Proses pengembangan harus bersifat partisipatif dan kolaboratif.
Dalam konteks ini, pemberdayaan perempuan melalui seni merajut tidak sekadar mengajarkan keterampilan, tetapi juga menghidupkan kembali warisan budaya yang pernah dimiliki. Menariknya, kebangkitan seni merajut ini tidak hanya menjadi ajang nostalgia, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru bagi perempuan Cina Benteng. Salah satu peserta, Ibu Cin Wah, berhasil menciptakan tas rajut mawar merah yang elegan dan kini banyak diminati.
“Saya sangat bersyukur dengan adanya pelatihan ini. Saya mendapatkan ilmu baru dan sekarang bahkan banyak yang mulai memesan tas rajut mawar yang saya buat,” ujarnya penuh semangat.
Selain sebagai sumber penghasilan, seni merajut juga memiliki makna spiritual bagi perempuan Cina Benteng. Salah satu contoh yang menarik adalah pembuatan sarung kue Cina Benteng oleh Ibu Sin Nio. Produk ini memiliki nilai khusus dalam tradisi sembahyang Imlek.
“Biasanya, kue untuk sembahyangan akan ditutup dengan sarung kue rajut. Sarung ini akan dipasang selama dua minggu, mulai dari perayaan Imlek hingga Cap Go Meh,” ungkap Ibu Chen Fie, salah satu perempuan Cina Benteng yang aktif dalam pelatihan ini.
Namun, meskipun memiliki nilai budaya yang kuat, tantangan tetap ada. Saat ini, hanya segelintir orang yang mampu membuat rajutan dengan model sarung kue Cina Benteng. Banyak peserta yang kesulitan mengembangkan keterampilan mereka secara mandiri karena keterbatasan akses terhadap bimbingan dan pelatihan yang lebih lanjut.
Untuk mengoptimalkan pemberdayaan perempuan melalui seni merajut, dibutuhkan fasilitator yang dapat mendampingi mereka secara berkelanjutan. Fasilitator ini tidak hanya membantu dalam hal teknis merajut, tetapi juga memperkenalkan teknik baru serta mendorong inovasi. Dengan adanya pendampingan yang konsisten, keterampilan ini dapat berkembang dan menjadi aset berharga yang tidak hanya memperkuat ekonomi perempuan Cina Benteng, tetapi juga memperkaya identitas budaya mereka.
Harapannya, penghidupan kembali seni merajut ini tidak sekadar menjadi aktivitas pengisi waktu luang, tetapi juga menjadi pintu masuk bagi perempuan Cina Benteng untuk lebih berdaya. Mereka tidak hanya terbatas pada peran domestik, tetapi juga dapat berkontribusi secara ekonomi dan sosial. Dengan memanfaatkan keterampilan yang telah lama ada dalam komunitas mereka, perempuan Cina Benteng dapat mengukuhkan kembali identitas budaya mereka sekaligus membuka peluang ekonomi yang lebih luas di masa depan.
Kebangkitan seni merajut ini adalah bukti bahwa warisan leluhur masih bisa hidup di era modern, asalkan ada upaya kolektif untuk menjaga dan mengembangkan potensi yang telah dimiliki. Kini, benang yang dulu hampir terputus mulai disulam kembali, merajut harapan baru bagi perempuan Cina Benteng dan generasi mendatang.