Mengenal Maramba dan Ata di Sumba

Sumba, sebuah pulau yang terletak di timur Indonesia, memiliki sejarah dan budaya yang kaya. Salah satu aspek menarik dalam budaya Sumba adalah struktur sosial mereka yang unik, yakni adanya kelas sosial secara vertikal yang masih bertahan hingga saat ini. Sistem ini dikenal dengan istilah “maramba” (tuan) dan “ata” (hamba). Meskipun zaman semakin modern, sistem ini tetap sulit diubah karena telah menjadi bagian turun temurun, berdasarkan perjanjian dan sumpah adat antara suku dan kampung.

Maramba adalah orang yang memiliki hamba (ata) dan memegang hak prerogatif yang besar. Maramba dapat memberikan perintah kepada ata yang harus mereka laksanakan. Dalam masyarakat Sumba, terdapat sebutan seperti “Umbu Nai” untuk laki-laki dan “Rambu Nai” untuk perempuan, yang sering diikuti dengan nama hamba mereka.

Golongan Maramba adalah golongan bangsawan, yang menurut sejarah turunannya tetap memelihara derajatnya di dalam struktur sosial masyarakat Sumba itu sendiri. Kedudukan Maramba sebagai bangsawan bukan karena tingkat pendidikan yang tinggi atau jumlah kekayaannya, tetapi berdasarkan asal usulnya.

Ata juga disebut dengan tau kuru uma (orang dalam rumah) terbagi dalam tiga golongan, yakni Hamba Pusaka. Mereka adalah hamba-hamba yang dibawa oleh nenek moyang orang Sumba pada masa lampau. Lalu, ada Hamba Baru, dimana mereka menjadi hamba karena dibelis (bayar mahar dengan hewan proses adat) atau menjadi tawanan pada saat perang. Terakhir Hamba Bawaan, dimana mereka adalah hamba yang diberikan oleh orang tua mereka kepada anak mereka untuk dinikahkan.

Mereka tidak memiliki kebebasan untuk menjadi maramba, karena sistem ini diwariskan secara turun temurun. Para ata memiliki tugas yang bervariasi, seperti merawat ternak, mengolah kebun, menyiapkan makanan, dan memenuhi perintah maramba mereka. Perlakuan maramba terhadap ata pun bervariasi, ada yang memperlakukan dengan baik dan adapula yang semena-mena.

Dalam perspektif masyarakat saat ini, sistem sosial masyarakat Sumba mengundang perdebatan yang berkaitan dengan perbudakan modern. Dimana individu atau kelompok diperlakukan seperti properti, dieksploitasi, dan kehilangan kebebasan mereka yang sering tidak manusiawi. Mereka kehilangan kontrol atas kehidupannya sendiri. Mereka diperintah oleh pihak lain dan tidak memiliki pilihan atau hak untuk membuat keputusan tentang kehidupan mereka.

Dalam konteks hierarki Maramba dan Ata, beberapa orang mungkin mengalami kekerasan fisik, kekerasan verbal bahkan penekanan psikologis juga sering terjadi. Dimana seringkali terjadi kaum Ata tidak diperbolehkan oleh tuannya untuk menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, mendapati kekerasan secara fisik ketika melakukan kesalahan dalam pengucapan panggilan honorari seperti Rambu/Umbu.

Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa ada sumber yang mengklasifikasikan orang Sumba dengan cara yang berbeda. Ini menunjukkan variasi dalam pemahaman masyarakat terhadap sistem ini. Dalam masyarakat Sumba Timur, peran kaum Ata tidak selalu negatif. Mereka diberikan tempat tinggal, makanan, atau perlindungan oleh kaum Maramba, yang pada dasarnya berperan sebagai penjaga bagi mereka.

Seperti halnya untuk golongan Hamba Pusaka, yang dimana kedudukan mereka menjadi istimewa. Mereka bisa menjadi bendahara, juru bicara, pengawal kepercayaan tuannya, bahkan dipercayakan tuannnya unntuk memelihara sejumlah ternak untuk dipelihara.

Dalam kesimpulan, budaya Sumba memiliki asal-usul yang kaya dan sistem sosial yang unik. Stratifikasi sosial yang masih bertahan hingga saat ini, sistem garis keturunan patrilineal, dan peran ata dalam perkawinan adalah elemen penting dalam budaya Sumba. Budaya ini mencerminkan kedalaman sejarah dan warisan budaya yang patut dijaga dalam masyarakat yang terus berubah.

Untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang hubungan antara Maramba dan Ata, diperlukan penelitian yang lebih lanjut serta penting serta mengingatkan bahwa ketika kita menghadapi isu-isu seperti modern slavery dalam konteks budaya yang kaya, pendekatan yang penuh rasa hormat dan kolaboratif adalah kunci untuk mencapai perubahan positif.

*Ditulis oleh: Yohanes Levin Lampe, Mahasiswa Magang Estungkara, UGM_FISIPOL 2023

Penulis :

Yael Stefany