Mengenal Konsep Berbagi di Masyarakat Adat Orang Rimba

Sore hari ketika sedang duduk santai dengan Orang Rimba di pinggir hutan, lewatlah seorang ibu mengenakan topi dan membonceng anaknya melewati jalan depan rumah mengarah ke Taman Nasional. Orang Rimba merupakan masyarakat adat yang tinggal di Provinsi Jambi. Ibu tersebut adalah orang Medan (suku Batak) yang menjual daging babi ke Orang Rimba. Saya sering melihat ibu ini melewati kantor KKI WARSI dan masuk ke dalam. Terbesit dalam benak saya mengapa Orang Rimba yang hidup sebagai pemburu dan peramu membeli hewan buruan yang asalnya juga dari hasil Orang Rimba, pikirku. Pertanyaan tersebut kutanyakan pada Gemambun yang sedang duduk di depanku.

“Kakok engkah Orang Rimba beli louk ke urang beheru iyoy, napolah hopi beli dari kanti dewek bae?” (Kakak kenapa Orang Rimba membeli daging ke orang lain itu, kenapa tidak dibeli dari Orang Rimba saja?),” tanyaku.

Gemambun yang sedang menikmati hisap rokoknya menggelengkan kepalanya dan berkata “hopiii… kalu dijual ke sesamo kanti hopi ndok kanti mbolinye” (tidak… sesama kami tidak ada yang mau membeli).”

Meski sedikit heran kutanya lagi.

“Kenapo ndoknye, gratisan bae – kenapa maunya gratisan saja ya,” tanyaku sembari bercanda.

“Au kalau sesamo kami hopi ado nang boli, cuma dikasih bae – Iya kalau sesama kami Orang Rimba tidak ada yang beli, dikasih saja),” jawab Gemambun.

Saya masih heran kenapa mereka tidak mau membeli hasil buruan ke sesama mereka saja, toh pada akhirnya mereka akan membeli lauk dari luar. Setelah kupikir agak lama kuingat salah seorang senior kami sering menceritakan tentang bagaimana pembagian hasil buruan di Orang Rimba.

Dalam budaya Orang Rimba mereka tidak pernah menjual hasilnya ke sesama mereka dan mereka tidak memahami transaksi jual beli di internal mereka. Yang mereka pahami adalah berbagi. Di dalam hutan uang tidak berlaku.

Saya teringat saat sedang berkunjung ke kelompok yang berada di Singosari, Muay mengatakan kalau mereka akan masuk ke dalam untuk bejernang.

“Kalu di dalam enak kito dak mikir harus punyo esen, kalau mau makan bisa delok benor, lauk dicari idak pakoi esen mumpa di luar nio,” ujarnya yang ku respon dengan mengangguk tanda setuju.

Dulu mereka juga belum mengenal uang mungkin mereka mulai menggunakan uang di akhir tahun 70-an, untuk mendapatkan garam, kopi, kain dan bahan-bahan yang tidak tersedia di hutan dengan cara sistem barter. Misalnya, 10 batang manau atau rotan ditukar dengan 2 kilo gara.

Konsep berbagi yang berlaku umum di Orang Rimba, juga dikenal dalam hukum adat yang mengatur. Contoh si A sedang berjalan ke lokasi lain di ladang ubi dan dalam keadaan lapar, si A boleh mengambil ubi di ladang milik Orang Rimba lain secukupnya untuk dimakan. Dengan syarat batang ubinya ditanamkan lagi. Saya juga teringat ketika salah satu warga desa pernah mengeluh tanaman ubinya dicabut oleh Orang Rimba kemudian ditanam kembali batangnya di tempat yang sama. Sehingga saat orang desa tadi ingin mengambil ubi ternyata ubi tersebut tidak ada. Salah satu orang desa merasa dikelabui saat itu. Dalam perspektif Orang Rimba, apa yang dilakukan tersebut sesuai dengan aturan adat, tidak ada yang salah dalam pandangan Orang Rimba. Namun perbedaan cara pandang ini membuat antara Orang Rimba dan desa tidak dalam satu pemikiran.

Konsep berbagi dalam Orang Rimba ini juga ingin menunjukkan bahwa hutanyang mereka tinggali memiliki banyak sumber daya yang disediakan alam untuk mereka. Kata berbagi adalah kata yang pas ketika hewan buruan yang didapat dengan jumlah yang besar. Tidak ada sistem pengawetan alami dalam Orang Rimba. Sisa hewan buruan yang belum dimakan diletakkan di dalam air sungai (lemari es alami) meski ketahanannya tidak lama karena daging sudah terkena air. Jumlah daging yang banyak itu dibagikan kepada kerabat sesuai dengan bagiannya, sehingga tidak ada yang terbuang. Konsep berbagi ini menciptakan timbal balik dalam Orang Rimba, jika yang lain mendapatkan buruan maka dia juga akan membagi hasil buruannya kepada kerabatnya itu dan begitu seterusnya.

Pemberian hewan buruan disebut nubo dan hewan buruan yang diberikan kepada mertua dan keluarga istri itu disebut dengan mempeka. Jika ada kerabat yang tidak diberikan maka akan terkena denda. Apakah kondisi ini tetap berlangsung? Iya kondisi ini tetap berlangsung di Orang Rimba walaupun mereka sudah mengenal uang dan pasar. Biasanya mereka berbagi dalam satu kelompok saja. Beberapa perempuan adat Orang Rimba bercerita kepada saya dalam satu hari mereka bisa saja membeli 2-3 kg ikan dan habis dalam satu hari. Ikan tersebut tidak hanya dimakan sendiri tetapi dibagi ke tetangga yang juga kerabat mereka. Jika tidak dibagi maka akan ada sanksi sosial yang didapat. Sanksi tersebut bisa berupa gunjingan para kerabat atau dirutuk kanti. Ini menunjukkan bahwa inti budaya masyarakat adat Orang Rimba masih kuat hingga saat ini.

Penulis :

Anggun Nova Sastika