Sudah hampir satu bulan saya tinggal di tengah masyarakat adat Kaluppini. Dalam keseharian, saya selalu menyempatkan diri berkeliling, mengamati aktivitas mereka yang penuh kehangatan. Satu hal yang begitu mencuri perhatian saya adalah semangat gotong royong yang menyatu dalam setiap aspek kehidupan mereka.
Suatu pagi, saya menyaksikan tetangga saling membantu memanen kacang tanah. Keesokan harinya, masyarakat beramai-ramai menuju ladang jagung—sumber penghidupan utama masyarakat Kaluppini. Jagung yang mereka hasilkan sebagian besar diolah menjadi pakan ternak dan dijual ke kota Enrekang. Melihat antusiasme mereka, saya bertanya-tanya, apakah orang-orang yang membantu panen akan mendapatkan bagian dari hasilnya?
Sambil ikut membantu, saya mendekati Mama Ayu, seorang ibu yang sibuk menghaluskan jagung. Dengan penuh rasa ingin tahu, saya bertanya, “Tanta, apakah orang yang membantu memanen jagung akan mendapatkan bagian dari hasil panennya?”
Mama Ayu tersenyum lembut. “Ah, tidak, Nak,” jawabnya. “Orang di sini membantu bukan karena mengharap imbalan. Begitulah gotong royong, terutama di antara tetangga.”
Jawaban sederhana itu meninggalkan kesan mendalam. Gotong royong di Kaluppini bukan sekadar tradisi, tetapi nilai kehidupan yang dipegang teguh. Berbeda dengan kehidupan kota yang sering terasing, di sini hubungan antarwarga begitu erat, seolah satu keluarga besar.
Semangat gotong royong ini tak hanya terlihat di ladang, tetapi juga dalam berbagai acara adat, seperti pernikahan, kelahiran, hingga kematian. Beberapa waktu lalu, saya menyaksikan persiapan pernikahan salah satu warga. Perempuan-perempuan bergotong royong membersihkan beras dalam jumlah besar untuk dimasak. Tak ada keluhan, semua bekerja dengan ikhlas.
Dalam setiap acara adat, ayam menjadi elemen penting. Ayam yang akan disembelih melalui prosesi doa terlebih dahulu. Setelahnya, perempuan bertugas mencabut bulu ayam—pekerjaan yang disebut ma’bubu—sementara laki-laki menyiapkan api untuk memanggang. Jika pemilik acara memiliki rezeki lebih, sapi juga disembelih. Laki-laki memotong daging besar, sedangkan perempuan memotong daging menjadi bagian kecil secara berpasang-pasangan.
Semua orang bekerja dengan sigap, memahami peran masing-masing tanpa perlu diarahkan. Ketika makanan telah siap, pemangku adat akan memanjatkan doa dalam prosesi ma’baca. Makanan disajikan di atas daun jati, menciptakan kesan alami dan lokal. Hanya setelah doa selesai, barulah semua tamu mulai menikmati hidangan bersama-sama.
Masyarakat adat Kaluppini memiliki banyak ritual adat yang sarat nilai-nilai luhur. Upacara adat bukan sekadar seremoni, tetapi juga wadah memperkuat kebersamaan. Filosofi ini diwariskan melalui peppasang (pesan leluhur), yang hingga kini dijunjung tinggi oleh masyarakat.
Nilai-nilai ini tak hanya mengikat masyarakat Kaluppini secara emosional, tetapi juga menjaga harmoni kehidupan mereka. Semangat gotong royong di Kaluppini mengajarkan bahwa kebersamaan adalah kekuatan. Gotong royong bukan sekadar kerja sama, tetapi wujud cinta terhadap sesama.
Tradisi ini bukan hanya menjaga harmoni komunitas, tetapi juga menjadi pengingat bagi kita semua tentang pentingnya saling mendukung dalam kehidupan. Warisan nilai dan tradisi masyarakat adat Kaluppini adalah harta yang tak ternilai. Di tengah modernisasi, semangat ini menjadi inspirasi bagi siapa saja yang ingin memahami arti sebenarnya dari kehidupan yang penuh makna dan kebersaman.
*Penulis: Kurnia (CRCS UGM), Peserta Magang Estungkara 2024