Memartabatkan Kedaulatan Pangan Berbasis Kearifan Lokal

Di era globalisasi yang semakin dominan, pangan lokal sering kali terlupakan, mengakibatkan kerugian budaya dan ketidaksetaraan pangan. Namun, di berbagai sudut daerah di Indonesia, masyarakat adat dan lokal terus memartabatkan pangan lokal mereka. Menunjukkan bahwa tradisi dan kearifan lokal berperan penting dalam mencapai kedaulatan pangan yang berkelanjutan.

Masyarakat adat dan lokal memiliki pengetahuan lokal yang telah diwariskan selama berabad-abad. Mereka menggantungkan hidup mereka pada pertanian berbasis kearifan lokal. Mencakup teknik penanaman, pemilihan varietas tanaman, serta penggunaan sumber daya lokal dengan bijak. Hal ini bukan hanya tentang tata cara pertanian, tetapi juga tentang menjaga ekosistem, budaya, dan nilai-nilai yang dianut oleh komunitas mereka.

Hayu Dyah Patria, Direktur Mantasa mengatakan seperti di daerah Alor dikenal dengan sistem kinar balik. Masyarakat di sana membagi tanaman mereka menjadi 4 karakter. Pertama, pekarangan. Biasanya mereka manfaatkan area ini untuk menanam bumbu-bumbuan. Kedua, kebun. Mereka menanam jagung dan padi. Biasanya ditanami dengan tanaman kelapa, pisang, sirih dan pinang, terakhir ada hutan ditanami tumbuhan yang hidup secara berkala.

“Dengan sistem kiner balik, kedaulatan pangan sangat mementingkan bagaimana tumbuhan di kembangkan dan nutrisi tanaman menjadi yang utama,” jelas Hayu pada ngobrol inklusif episode ke 29 yang diadakan oleh KEMITRAAN.

Salah satu ciri khas dari pangan lokal adalah keanekaragaman. Masyarakat adat sering menanam berbagai varietas tanaman yang sesuai dengan lingkungan mereka. Ini menciptakan keanekaragaman genetik yang sangat penting untuk ketahanan pangan. Varietas-varietas lokal ini sering memiliki sifat tahan terhadap kondisi lingkungan tertentu dan dapat bertahan dalam perubahan iklim.

Akan tetapi di beberapa komunitas adat tidak adanya dokumentasi yang detail terkait jenis-jenis pangan lokal. Kita sering kali berbicara bagaimana masyarakat adat tumbuh dengan keanekaragaman hayati yang melimpah, namun tidak punya buktinya, kata Hayu.

“Di semua komunitas adat yang bergantung pada alam, pengetahuan tradisional mereka hanya disebarluaskan secara oral tapi tidak tertulis. Resiko hilangnya pengetahuan ini pun semakin sangat tinggi,” tambahnya.

Misalnya, di kampung adat Saga di desa Ende. Mama-mama di sana secara tidak sengaja suka menyanyi di mana nyanyian tersebut menceritakan kehidupan mereka sehari-hari. Ini menjadi informasi penting bagaimana masyarakat adat Saga ternyata dulunya memiliki makanan khas yang serupa dengan urap. Namun di masyarakat Saga sendiri, makanan ini berasal dari umbi-umbian dan kacang. Mama-mama pada zaman dulu, ketika ingin menggarap lahan di hutan, mereka membawa makanan ini dan mengambil umbian dan kacangan liar yang ada di hutan lalu mencampurkan langsung kedalam makanan tersebut. “Mama-mama punya lagu tentang ritual ini yang berisikan informasi tentang makanan ini. Dulu mereka tidak makan nasi hanya ubi dan jagung untuk sumber karbohidrat,” tegas Hayu.

Masyarakat adat dan lokal yang memartabatkan pangan lokal mereka memiliki kontrol yang lebih besar terhadap produksi, distribusi, dan konsumsi pangan. Hal ini membantu mengurangi ketidaksetaraan pangan dan ketergantungan pada pangan impor. Mereka mampu memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri dan berbagi pengetahuan serta sumber daya dengan komunitas mereka.

Hayu menceritakan masyarakat di Alor sampai sekarang tidak mengenal dengan namanya revolusi hijau. Ini tidak jauh berkat mama-mama yang ada disana. Tahun 90an pemerintah mencoba menawakan bantuan benih jagung dengan varietas yang lain serta pupuk kepada masyarakat Alor. Ketika dicoba, jagung yang dihasilkan lebih pendek dar jagung asli varietas masyarakat Alor. Menimbulkan kemarahan dari mama-mama hingga akhirnya mereka menolak bibit itu dengan tegas.

“Ternyata jagung itu pendek ayam itu dengan gampang mematuk jagung itu. Padahal jagung asli masyarakat Alor bisa tumbuh sampai 3 meter. Buat perempuan adat di sana, pekerjaan mereka sangat banyak. Akan menambah beban mereka jika menunggu tumbuhan jagung agar tidak dipatok ayam.”

Meskipun upaya masyarakat adat dan lokal dalam memartabatkan pangan lokal sangat berharga, mereka juga dihadapkan pada berbagai tantangan. Teknologi dan praktik pertanian modern sering kali mengancam kearifan lokal dengan menggantikan varietasnya.

Hilangnya identitas diri di kalangan anak muda di komunitas pun salah satunya. Banyak anak muda khususnya di desa Ende mengenyam pendidikan tinggi. Namun, ketika balik ke kampung tidak dapat mengaitkan ilmu yang mereka dapat untuk mengelola Sumber Daya Alam (SDA) sendiri. Mereka memilih untuk bekerja di perusahaan industri atau menjadi buruh. Hayu mengatakan anak muda di komunitas pun tidak diberikan ruang berbicara ketika musyawarah kampung dilakukan.

“Jadi buat anak muda tidak banyak pilihan ketika balik ke kampung.”

Keresahan ini yang menjadikan Hayu melakukan pendokumentasian bersama anak muda di derah komunitas. Hayu berserta anak muda keliling untuk mendata dan melakukan wawancara dengan para orangtua tentan potensi pangan lokal yang ada. Manfaatnya, anak muda di komunitas menjadi tahu bahwa mereka memiliki identitas yang sangat kuat dan unik.

“Mereka juga tidak menyangka bahwa mereka kaya akan SDA dan terjadi transfer pengetahuan untuk belajar hal baru. Ada kosakata lama tapi tidak pernah dengar lagi. Ada juga resep makanan yang buat penasaran sehingga membangkitkan kebanggaan mereka akan jati diri mereka.”

Ini sebagai bentuk penyadaran ketika narasi yang mengatakan daerah timur adalah daerah yang miskin dan rawan pangan, ternyata memiliki SDA yang sangat kaya dan bisa diberdayakan. Hal ini sudah cukup bagi Hayu untuk memumpuk jati diri mereka khususnya kepada anak muda di komunitas adat.

Hayu juga menambahkan selama ini pemerintah memberikan indikator yang timpang untuk mengukur ketahanan pangan yang baik. Bagi pemerintah semakin banyak daerah yang mengkonsumsi beras, artinya daerah tersebut masih rawan pangan. “Padahal ketahanan pangan tidak harus makan beras. Padahal bukan hanya beras sumber karbohidrat,” jelasnya.

Edukasi dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pangan lokal dan kearifan lokal dalam mencapai kedaulatan pangan harus ditingkatkan. Masyarakat adat dan lokal harus sadar bahwa mereka memiliki peran yang sangat penting dalam memartabatkan pangan lokal. Dengan menjaga dan menghormati kearifan lokal, mereka dapat menciptakan kedaulatan pangan yang berkelanjutan. Menjaga keberlanjutan lingkungan, budaya, dan meminimalkan ketidaksetaraan pangan.

Penulis :

Yael Stefany