Melihat Perjuangan Rukmini Toheke Perempuan Adat To Kulawi

Selama berabad-abad, perempuan adat telah mendiami dan berkembang di beberapa wilayah yang paling beragam secara ekologis. Cara hidup mereka yang unik, berakar pada pemahaman yang mendalam tentang alam. Menumbuhkan hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungan.

Perempuan adat memiliki pengetahuan mendalam tentang bagaimana menjaga kesuburan tanah dan menjaga keseimbangan ekosistem pertanian. Mereka juga memiliki pengetahuan tentang pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Pengetahuan ini mencakup cara-cara tradisional dalam memanfaatkan sumber daya alam. Seperti hutan, sungai, dan lahan pertanian tanpa merusak atau mengeksploitasi secara berlebihan.

Pengetahuan tradisional perempuan adat bukan hanya berkaitan dengan aspek teknis, tetapi juga mencerminkan kebijaksanaan sosial dan spiritual. Perempuan adat sering kali memiliki peran sentral dalam menjaga harmoni sosial dalam masyarakat mereka.

Mereka menjadi penjaga nilai-nilai budaya, tradisi, dan kearifan lokal, serta mengatur hubungan manusia dengan alam semesta. Pengetahuan tradisional ini, membekali mereka dengan pemahaman yang tak tertandingi tentang lingkungan mereka. Menjadikan mereka pelindung alami tanah leluhur mereka.

Peran mereka melampaui sekadar aktivisme; mereka secara aktif terlibat dalam upaya penghijauan kembali dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Dengan memelihara lingkungan mereka dan memastikan pelestarian keanekaragaman hayati, para perempuan adat ini berjuang melawan krisis lingkungan saat ini.

Salah satunya di masyarakat Toro, yang merupakan suku asli Kulawi atau biasa disebut Komunitas Adat Toro. Mereka memiliki pranata, dan kelembagaan adat sangat kuat. Komunitas Adat Toro memiliki sejarah panjang dengan lingkungannya. Hingga memiliki sistem tersendiri dalam pemanfaatan sumber daya alam, terlebih menginternalisasikan peran perempuan sebagai pemegang otoritas kultural.

Perempuan, berwenang merancang pekerjaan dalam pertanian. Mendinginkan konflik dalam kampung, dan mengatur kerja-kerja pengelolaan sawah dan ladang, seperti menentukan kapan waktu tepat untuk panen.

Dalam praktik kehidupan bermasyarakat Toro, tina ngata atau ibu kampung memegang peran dominan. Misal, setiap ada musyawarah kampung, harus dihadiri tina ngata. Tanpa kehadiran tina ngata, keputusan seperti tidak memiliki keabsahan kultural dan harus dibatalkan. Perempuan berperan kuat sebagai pengambil keputusan.

Rukmini Paata Toheke, beliau merupakan tokoh perempuan adat Toro. Dia tina ngata di komunitas yang berada di Desa Toro, Kecamatan Kulawi, Sigi, Sulawesi Tengah. Tina ngata, Dewan Pimpinan Kampung di Komunitas Adat Toro yang berperan penting dalam pengelolaan sumber daya alam. Kehadiran perempuan di komunitas ini memiliki legitimasi sosiologi dan kultural kuat untuk pelestarian lingkungan.

Sejak tahun 1994, dirinya sudah berjuang mengembalikan peran perempuan adat dalam pengambilan keputusan. Baginya, perempuan adat yang sudah seharusnya mendapatkan ruang berbicara lebih banyak saat membahas tentang Sumber Daya Alam (SDA). “Perempuan adat harus setara dalam semua lini,” tegas Rukmini dalam sesi ngobrol inklusif yang diadakan KEMITRAAN pada 27 September 2023 lalu.

Perempuan adat Toro memandang alam sebagai tetuah. Ada filosofi kehidupan yang sampai saat ini dipegang teguh oleh masyarakat adat Toro. Dimana masyarakat adat Toro sejak dulu diajarkan harus menjaga hubungan baik dengan pencipta, sesama manusia dan hutan.

“Dulu pemerintah mengelompokkan perempuan di komunitas PKK. Menganggap komunitas itu sudah mewakili suara perempuan adat Toro, padahal sebenarnya tidak,” jelasnya.

Menurutnya, perempuan adat Toro punya peran yang sangat strategis. Dalam budaya Toro dikenal pobolia ada (perempuan sebagai penyimpan adat), pangalai baha (perempuan sebagai bagian dari pemutusan perkara), dan potavari bisa (perempuan sebagai pendamai).

Perempuan adat Toro juga sebagai tombak utama dalam melakukan dokumentasi untuk menentukan wilayah adat mereka. Sehingga, ketika perempuan adat tidak dilibatkan dalam pengelolaan sumber daya alam, maka hasilnya tidak akan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat.

Membangun kepercayaan diri, meningkatkan kapasitas serta melakukan negosiasi dengan pemerintah baik tingkat desa maupun kecamatan menjadi langkah awal perjuangan Rukmini. Salah satunya mendorong skema hutan adat, agar tanah adat Toro diakui oleh negara. “Kami sudah mendapat 1347 hektar tanah yang diakui. Akan tetapi itu bukan wilayah yang kami usulkan tapi sesuai wilayah yang ditetapkan pemerintah,” tambahnya.

Masyarakat di sini mayoritas petani tradisional. Secara turun-temurun, mereka menggunakan hutan sebagai sumber penghidupan. Kebutuhan akan pangan mereka dicukupi dengan memanfaatkan hutan untuk berkebun (pobonea), menanam padi (pae), jagung (galigoa), rica (mariha) dan sayur-sayuran (uta-uta). Mereka juga dilarang pakai pestisida dalam bertani.

“Kami dengan sendirinya melakukan moratorium sesuai dengan nilai adat sejak tahun 2009. Kami sudah merasakan cukup dengan hanya bertani dan bersawah daripada jadi buruh.”

Berdasarkan kearifan lokal, Komunitas Adat Toro membagi hutan dalam beberapa tingkatan atau kategori (zona) menurut pengetahuan dan pemanfaatan yang ditetapkan leluhurnya. Seperti, wana ngkiki, yaitu zona hutan di puncak gunung didominasi rerumputan, lumut dan perdu. Zona ini tidak ada aktivitas manusia karena dianggap sumber udara segar (winara) orang Toro.

Rukmini bilang, perempuan menjadi gerbang terdepan menjaga hutan di zona-zona yang dibuat secara kearifan lokal. Ketika ada penebangan pohon ilegal di zona-zona itu, perempuan Toro paling awal protes ke lembaga adat. Dia bilang, akses kontrol atas pengelolaan sumber daya alam, perempuan Toro lebih tinggi.

Sebagai tina ngata, dia berperan penting dalam pengambilan keputusan dalam memberikan efek jera kepada perusak hutan. Kalau suara perempuan tak dihargai, sama dengan membiarkan hutan itu rusak.

Sejak tahun 2020, dia juga membuat sekolah aman dan sekolah adat sebagai tempat mengajarkan bahasa daerah, pembuatan kerajinan tradisional, hukum adat, dan tradisi budaya. Juga, kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam untuk menjaga keseimbangan ekologi kepada generasi muda. “Sudah menjadi tanggungjawab perempuan adat Toro agar generasi selanjutnya dapat melanjutkan perjuangan dan pengelolaan SDA yang berkelanjutan,” tambah Rukmini.

Dirinya menegaskan bahwa perjuangan terhadap pengakuan perempuan adat tidak akan pernah terwujud dan terawat ketika perjuangan perempuan hanya dipandang sebagai kepentingan perempuan saja. Seharusnya, filosofi kehidupan yang selama ini diyakini masyarakat Toro, harus dipandang sebagai perjuangan bersama. Dimana menjaga kearifan lokal dan SDA sama halnya menjaga kehidupan bersama.

“Juga bagaimana program inklusi bisa sampai ke semua kelompok marginal salah satunya perempuan adat penyandang disabilitas,” tutupnya.

Penulis :

Yael Stefany