Polemik terkait penggusuran lahan masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan besar seakan tidak pernah berhenti terjadi. Salah satu kelompok yang tidak luput menjadi korban dari perampasan tanah adalah masyarakat adat. Hutan dan tanah merupakan dua hal yang tak ternilai harganya bagi masyarakat adat. Sehingga ketika perampasan HAM terjadi, tentu mereka tidak tinggal diam. Perlawanan demi perlawanan dilakukan, akan tetapi mereka harus kena imbasnya; kriminalisasi.
“Daerah kami sebelumnya belum terjamah, 75% hutan murni, kemudian pada 2018 mereka (PT Sawit Mandiri Lestari) mulai masuk. Masyarakat dan perangkat desa menolak perkebunan kelapa sawit dengan melakukan semacam patrol setiap minggu, tapi mereka terus melakukan land clearing. Mereka juga melakukan politik adu domba antar warga. Pada 2020 menyebabkan 6 orang yang ditangkap termasuk saya karena saya dianggap sebagai provokator. Saya merayakan hari ulang tahun saya di tahanan,” cerita Effendi Buhing, Ketua Komunitas Masyarakat Adat Laman Kinipan, Kalimantan Tengah.
PT SML merupakan perusahaan sawit yang beroperasi di Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Dilansir dari kompas.com, perusahaan ini melakukan perluasan kebun sawitnya sampai ke wilayah hutan adat setempat. Inilah yang menjadi titik permasalahan bermula. Sejak 2018, konflik antara PT SML dan masyarakat adat Laman Kinipan sudah berlangsung. Masyarakat adat Laman Kinipan menolak pembabatan hutan adat yang sudah ada sejak dulu.
Kisah Effendi hanya satu dari sekian banyak kisah serupa. Kriminalisasi dalam bentuk penahanan pejuang lingkungan dan agraria adalah sebuah bentuk pelanggaran HAM. Setidaknya ada 3 Pasal dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dilanggar saat kriminalisasi semacam ini terjadi.
Pasal 5 ayat 3 berbunyi, “setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.” Lalu, pasal 6 ayat 2 berbunyi, “identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.” Terakhir, pasal 24 ayat 1 yang berbunyi, “setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat dan berserikat untuk maksud-maksud damai.”
“Dari 2021 hingga 2022 tercatat ada 8 penangkapan orang Papua di beberapa kota di Indonesia. Ada juga aksi teror bom molotov di LBH Jakarta dan LBH Papua. Semua ini adalah bentuk ancaman dari oknum pelaku illegal logging. Kemudian ada acara-acara adat di Papua yang tidak diperbolehkan oleh polisi dengan dalih masyarakat adat tidak terdaftar di Kesbangpol. Penembakan orang Papua dipandang sebagai hal yang biasa karena kesalahpahaman terkait gerakan separatisme, padahal korban bisa merupakan pejuang hak adat. UU Otonomi Khusus tidak mampu mencegah segala perampasan yang terjadi pada masyarakat adat di Papua,” tutur Teddy Wakum, YLBHI Papua Pos Merauke.
Menurut Syamsudin dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), ada lima faktor utama yang mendorong krisis agraria terjadi. Yaitu, ketimpangan tanah, kriminalisasi, alih fungsi lahan, kemiskinan, dan kerusakan ekologis. Di tengah membesarnya kelima hal ini, pemerintah tetap tidak menujukkan komitmen perlindungan bagi masyarakat adat.
Rapuhnya perlindungan dan pemenuhan HAM bagi masyarakat adat pejuang lingkungan dan agraria menegaskan kembali urgensi disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat. RUU Masyarakat Adat alat vital untuk mewujudkan keadilan bagi masyarakat adat. Sayangnya, meski draf RUU Masyarakat Adat sudah diusulkan pada DPR RI sejak tahun 2010, sampai saat ini RUU tersebut tidak kunjung disahkan.
Panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk melakukan konseptualisasi tentang masyarakat adat kemudian membuat political will dari pemerintah dipertanyakan. Kepentingan-kepentingan tertentu lantas muncul sebagai hambatan disahkannya RUU Masyarakat Adat. Seperti, bahwa RUU ini akan menghambat laju pembangunan dan investasi di Indonesia. Dengan keberpihakan pemerintah pada pembangunan, perusahaan akhirnya memiliki kekuatan yang besar dalam menjalankan proyek-proyek mereka. Membuat konflik agraria menjadi unfair fight.
“Perusahaan selalu memiliki kelebihan karena izinnya, tapi masyarakat tidak punya apa-apa untuk melawannya. Kami adalah surat dari tanah masyarakat adat dan anak-anak adalah materainya,” ucap Effendi Buhing.
Selain itu, harus ada pembenahan dalam standar prosedur polisi dan aparat keamanan dalam penegakkan hukum di isu agraria. Pendekatan yang selama ini dipakai adalah pendekatan represif. Sementara tahap negosiasi dan persuasi sering kali terlewat, terutama di daerah-daerah yang jauh dari pusat keramaian. Oleh karena itu, reformasi kepolisian dan aparat keamanan perlu menjadi pertimbangan bagi pemerintah. Respons cepat dan tepat dari masyarakat sendiri dalam konflik agraria juga perlu ditingkatkan, masyarakat harus memahami kemampuan hukum.
Krisis agraria tidak hanya bersinggungan dengan HAM. Tetapi krisis agraria merupakan sebuah persoalan HAM. Lahan yang diperebutkan merupakan hak masyarakat adat dan kekerasan serta kriminalisasi dengan jelas adalah pelanggaran HAM. Dengan segala risiko pelanggaran HAM dalam mempertahankan wilayahnya, masyarakat adat secara konsisten tetap menuntut lahan mereka. Hal ini karena persoalan lahan adalah persoalan jangka panjang.
Marlena dari Forum Petani Bersatu (FPB) mengatakan bahwa perusahaan sering datang menemui masyarakat dan langsung menginterogasi. Tak hanya itu, mereka membujuk agar masyarakat mau menjual tanahnya.
“Kami juga pernah dihajar polisi. Banyak ibu-ibu yang takut dengan perusahaan dan berpikir bahwa mereka tidak mungkin mampu mempertahankan tanahnya. Sehingga mereka memilih untuk menjual tanahnya dan bekerja untuk perusahaan menjadi buruh. Tapi pada saat buruh perusahaan menginjak usia 40 tahun, mereka tidak akan digunakan lagi karena dianggap tidak produktif. Sedangkan tanah sudah tidak punya lagi. Begitulah permainan perusahaan yang licik.”
Marlena menceritakan tentang bagaimana PT Sandabi Indah Lestari (SIL) yang bergerak di bidang perkebunan dan industri kelapa sawit di Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu terus melakukan upaya-upaya untuk merampas lahan yang dikelola petani. Intimidasi terus dirasakan oleh petani yang menolak memberikan lahannya. Dilansir dari WALHI, pada Agustus 2023 lalu, seorang petani bernama Mirhakim dipaksa menyerahkan 15 hektar tanahnya melalui surat resmi dari Pengadilan Negeri Tais. Untungnya perampasan ini gagal dilaksanakan berkat perlawanan FPB.
Masyarakat adat dan masyarat marginal lainnya akan terus memperjuangkan tanah mereka. Mereka lahir dan hidup diatas tanah itu. Keterikatan masyarakat adat dengan tanah mereka sepatutnya tidak boleh terbantahkan.
Dilaksanakannya Konferensi Tenurial 2023 ini, pemerintah Indonesia dapat menguatkan peraturan-peraturan terkait HAM yang sesuai. Serta merumuskan kebijakan-kebijakan pro pembangunan yang tidak melindas HAM masyarakat adat dan masyarakat marginal lainnya.
*Reportase ini ditulis oleh: Meilisa Anggraeni