Masyarakat Adat Marapu Hadapi Perkembangan Dunia Modern

Dalam menghadapi perkembangan dunia modern, masyarakat tradisional seringkali dihadapkan pada dilema. Antara mempertahankan nilai-nilai budaya dan tradisi mereka atau mengadopsi unsur-unsur baru yang dibawa oleh modernitas.

Salah satu contoh yang menarik untuk dianalisis adalah bagaimana masyarakat Sumba mempertahankan nilai tradisi Marapu. Serta sistem kepercayaan dan adat istiadat mereka, di tengah-tengah arus modernisasi yang semakin mempengaruhi kehidupan sehari-hari.

Tradisi masyarakat adat Marapu adalah warisan budaya yang kaya dari masyarakat Sumba, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Marapu bukan hanya sekadar sistem kepercayaan, tetapi juga mencakup norma-norma sosial, ritual, dan seni yang meresap dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sumba. Oleh karena itu, memahami dan memelihara nilai-nilai Marapu menjadi kunci untuk melestarikan identitas budaya mereka.

Dengan masuknya teknologi, globalisasi, dan perubahan sosial ekonomi, masyarakat Sumba dihadapkan pada tekanan untuk beradaptasi dengan tren dan perubahan modern. Tantangan utama adalah bagaimana mereka dapat menyelaraskan nilai-nilai Marapu dengan tuntutan dan dinamika dunia modern tanpa mengorbankan integritas budaya mereka.

Hal tersebut menjadi selaras dari cerita perjuangan Marungga Foundation dalam mempertahankan kepercayaan Marapu di tengah kompleksitas isu-isu keadilan, hak asasi, dan perubahan sosial yang terus berlangsung. Anton Jamawara, Direktur Marungga Foundation, pada ‘ngobrol inklusif’ yang diadakan oleh KEMITRAAN pada 8 Juli 2023 lalu, berbagi cerita bagaimana mereka menjadi garda terdepan dalam upaya ini, menghadirkan suara masyarakat adat Marapu dan membangun jembatan menuju kesetaraan hak dan pengakuan mereka.

Pada tahun 2016, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menciptakan momentum penting bagi para penganut Marapu. Keputusan ini mengakui makna agama terhadap administrasi kependudukan, memberikan pijakan hukum terkait identitas keagamaan Marapu. Data menunjukkan bahwa di Sumba Timur sendiri, terdapat 16.800 orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai Marapu, menyumbang sekitar 55 persen dari total penduduk Sumba dan 105.000 di seluruh Indonesia.

“Tantangan utama bagi penganut Marapu bukan hanya sebatas keyakinan, melainkan juga hak-hak dasar kewarganegaraan,” ungkap Anton Jamawara.

Marapu dihadapkan pada ketidakakuanan negara dalam mengakui agama lokal, yang memunculkan kekerasan berlapis di berbagai aspek kehidupan. Terutama terkait dengan isu-isu anak, perempuan, dan disabilitas, di mana putusan MK tahun 2017 No. 97 menjadi pijakan penting dalam memperjuangkan pengakuan hak-hak mereka terutama soal hak anak-anak, perempuan dan disabilitas.

“Sebenarnya hal yang menarik bagi kita adalah kalau melihat secara yuridis formal bahwa pasal 29 dalam uud konstitusi sudah clear dan final karena berbicara tentang kebebasan berkeyakinan dan berkepercayaan,” jelas Anton.

Namun, Marapu bukan hanya sebatas kepercayaan; itu adalah simbol keselarasan dan keseimbangan antara manusia, sesama, dan alam. Nilai-nilai ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Sumba Timur sejak zaman dahulu, sebelum konsep ekologis pun dikenal.

Dalam konteksnya terhadap pengakuan perempuan dan perkawinan anak pun, Anton menegaskan bahwa kita harus berhati-hati akan hal ini juga menjadi tantangan sampai sekarang. Di Maranggu Foundation terkenal dengan sebutan marapu ornamen, adalah mentunaikan identitas marapu untuk melakukan suatu hal.

“Soal dia bisa kawin tangkap dan anak-anak dijadikan budak serta dipaksa kawin, itu memang terjadi dan kami melihat sendiri. Akan tetapi mereka melihat sebagai konteks budaya. Karena di Sumba terkenal dengan lapisan sosialnya. Namun yang harus diingat adalah bahwa tidak semua hal itu terjadi karena saat ini mereka sudah ada yang sadar HAM,” jelasnya.

Di dalam Marapu, ritual adat tidak akan berjalan kalau tidak ada perempuan, pun setiap keputusan harus disampaikan kepada perempuan. Penting bagi kita memahami soal bagaimana budaya marapu secara general agar tidak salah tafsir, kata Anton. “Tetapi dalam konteks yang benar-benar Marapu, dia bicara soal hak anak dan pengakuan peran perempuan.”

Dalam mempertahankan nilai Marapu untuk generasi mendatang pun melibatkan dua aspek utama. Pertama, melalui kepemimpinan lokal yang dipegang oleh tetuah adat yang mentransfer pengetahuan melalui pendekatan storytelling. Kedua, pendirian sekolah adat untuk melestarikan pengetahuan budaya dan kearifan lokal, yang bertujuan agar nilai-nilai ini dapat diwariskan antar generasi.

Anton Jamawara menyoroti kompleksitas tantangan, terutama dalam konteks regulasi pendidikan kepercayaan. Pemendikbud No. 27 tahun 2016 menjadi landasan bagi upaya Marungga Foundation dalam mengadvokasi pendidikan anak-anak di Sumba Timur.

“Bukan soal tidak bisa sekolah. Konteks sosial dalam artian bahwa orang marapu belum mengakses aminduk. Belum merubah dan mengurus. Aminduk adalah dasar dari semua layanan dasar. Karena itu semua pusatnya,” tambahnya lagi.

Saat ini, sudah ada enam sekolah model yang menerapkan layanan pendidikan kepercayaan, namun tantangan masih muncul terutama terkait instrumen dan standar pendidikan lokal. Salah satu pencapaian positif adalah kerjasama dengan Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia, yang menghasilkan buku panduan untuk sekolah-sekolah Marapu. Buku ini menjadi pedoman bagi penyuluh dan telah direplikasi di berbagai daerah di Indonesia yakni Yogyakarta dan Sulawesi.

Tantangan terbesar tetap berada pada kebijakan yang dapat merata keseluruh masyarakat. Bagaimana kebudayaan dan kearifan lokal Marapu dapat bertahan melalui solidaritas kepemimpinan dan storytelling menjadi harapan besar bagi Marunagga Foundation. Dengan upaya ini, diharapkan Marapu dapat terus hidup dan memberikan kontribusi berarti dalam keberagaman budaya Indonesia.

“Marapu mendapati kekerasan berlapis. Sudah lah, dia etnis minoritas dan agama lokal juga tidak diakui oleh negara. Bahwa mengintervensi marapu bukan berbicara soal keyakinan tetapi yang kita lihat adaah bagaimana hak dia setara dengan lainnya, misalnya akses pendidikan, layanan kesehatan dan akses terhadap lingkungan,” tutupnya.

Penulis :

Yael Stefany