Cindakko adalah salah satu dusun dari tiga dusun yang membentuk Desa Bonto Somba, di Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Tiga dusun itu, Bonto-Bonto, Bara, Dan Cindakko, juga menjadi tepi batas dari tiga kabupaten sekaligus, Maros, Gowa, dan Bone. Wilayah Cindakko terbagi menjadi tiga bagian utama, Parangluara, Bokkongmata-Kacoci, dan Jakka-Jampua.
Ketiga wilayah ini berjarak lumayan jauh dan masing-masing dipisahkan oleh tiga sungai besar, Malente, Erlembang, dan Matteko. Selain dihiasi oleh sungai-sungai besar, Cindakko juga dikelilingi lereng-lereng, yang sebagian besarnya telah berisi pohon pinus, kokoh dan berdesakan, yang pada waktu tertentu ditutupi kabut. Orang-orang yang mendiami tempat inilah yang dikenal sebagai masyarakat adat Cindakko. Leluhur mereka telah mendiami tempat ini sejak ratusan tahun lalu.
Sekarang, sebagian besar lanskap Cindakko dijejeri oleh undakan-undakan sawah berteras. Sawah-sawah itulah yang digarap oleh masyarakat adat Cindakko sebagai salah satu sumber penghidupan utama. Masyarakat adat Cindakko mengelola sawah mereka, menanam padi, hanya sebanyak sekali setahun saat musim hujan datang. Karena bermukim di lereng gunung, mereka belum punya teknologi yang cukup untuk menyuplai air ke sawah-sawah mereka saat musim kemarau tiba.
Setiap kali melihat petakan persawahan tersusun rapi di kaki gunung itu, saya selalu bertanya-tanya, sejak kapan masyarakat adat Cindakko mulai menanam padi. Setidaknya selama dua bulan saya tinggal dan menetap di sini, belum ada informasi yang bisa mengantarkan saya pada jawaban atas pertanyaan itu. Tetapi Daeng Ramallang, salah satu pemangku adat yang bergelar Gallarang, yang berusia 70-an tahun, bercerita ke saya bahwa sejak dulu orangtuanya telah menanam padi. “Saya masih [berusia] sekitar 6 atau 7 tahun waktu itu,” Daeng Ramallang berusaha mengingat. “Dan saya sudah biasa membantu orang tua dan kakek saya menanam padi di sawah,” lanjutnya.
Selain hidup dari hasil menanam padi di sawah, masyarakat adat Cindakko juga hidup dari hasil berkebun. Mereka menanami kebun mereka dengan berbagai jenis tanaman, seperti jagung, kopi, sayur, dan berbagai jenis buah seperti alpukat, mangga, pisang, dan lain-lain. Meski sebetulnya tanaman di kebun mereka juga tidak seberapa untuk dibawa ke pasar tapi sangat cukup untuk menghidupi mereka.
Selebihnya, mereka menyadap nira aren untuk dibuat gula merah. Salah satu produk yang mereka buat untuk dijual di pasar. Daeng Saparuddin bercerita ke saya bahwa hampir semua barang-barang yang berhasil dia beli, termasuk traktor yang sekarang dia pakai untuk menggarap sawahnya, adalah hasil dari penjualan gula merah. “Hanya ditambah satu ekor sapi saja,” jelas Daeng Saparuddin.
Masyarakat adat Cindakko juga memelihara sapi. Tidak seperti peternak yang pernah saya lihat sebelumnya, masyarakat adat Cindakko memelihara sapi dengan melepasnya begitu saja. Tanpa kandang. Sapi bagi masyarakat adat Cindakko seperti tabungan, jika butuh uang mendadak, mereka menjual sapi mereka.
Belakangan, setelah mereka mendapatkan izin untuk mengelola 321 hektar hutan desa, masyarakat adat Cindakko mulai beraktivitas sebagai penyadap getah pinus, yang juga sering mereka sebut sebagai sumber penghidupan yang cukup membantu mereka.
Satu hal yang menurut saya menarik tentang masyarakat adat Cindakko, yang barangkali juga menjadi ciri dari berbagai masyarakat adat, adalah nyaris semua aktivitas yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari adalah peristiwa ritual. Artinya, tidak ada aktivitas yang mereka lakukan tanpa ritual. Semua jenis penghidupan di atas, terutama dalam hal menanam padi, dalam prosesnya, selalu disertai dengan berbagai ritual.
Sebelum menggarap sawah, masyarakat adat Cindakko melakukan ritual appanaung ri je’ne yang bertujuan untuk meminta dan menurunkan air—air yang mereka harapkan tidak terlalu kecil dan juga tidak terlalu besar. “Kita meminta kepada leluhur agar air yang datang tidak terlalu kecil, karena jika air terlalu kecil maka tanaman akan mati. Tapi juga sekaligus kami meminta agar air tidak terlalu besar, karena jika air terlalu besar, maka tanaman, bahkan kita juga, bisa mati,” jelas Ibu Eni, sebagai salah satu pemangku adat, saat saya menanyakan perihal ritual itu kepadanya.
Ketika ritual appanaung ri je’ne dilakukan, itu berarti bahwa masyarakat adat Cindakko telah tiba di musim tanam. Tapi untuk menanam, mereka harus menunggu hingga ritual selanjutnya kelar dilaksanakan. Ritual-ritual itu bergantian dan tidak boleh dilakukan sembarangan.
Ritual selanjutnya adalah ritual accera sapi. Ritual ini dilakukan sebagai upaya untuk mengapresiasi sapi sebagai hewan yang akan digunakan untuk membajak sawah. Meski semenjak tahun 2001, sebagian besar masyarakat adat Cindakko telah memiliki traktor dan mesin pembajak dari hasil menjual sapi-sapi mereka, ritual accera sapi masih mereka lakukan. Sama seperti memperlakukan sapi, mereka percaya bahwa mesin juga hidup, dan butuh accera (apresiasi dan pemberian darah).
Setelah accera sapi, masyarakat adat Cindakko melakukan ritual appalili, ritual yang menandakan bahwa proses menggarap sawah sudah boleh dilakukan. Ketika garapan sawah telah selesai dan padi telah tumbuh, masyarakat adat Cindakko melakukan ritual accera solongan (mengapresiasi saluran air). Mereka datang ke saluran air hulu, tempat air-air sawah mereka lewat, dan melakukan ritual.
Selanjutnya, sekitar sepuluh hari sebelum musim panen, para pemangku adat akan mengumumkan hari-hari a’liing. A’liing adalah salah satu hukum adat yang berlaku di Cindakko yang mirip dengan hukum adat sasi di Maluku. Selama tujuh hari masa a’liing, warga adat tidak boleh memotong rumput, memangkas ranting, menebang pohon, memancing ikan atau membunuh mahkluk hidup, dan masuk hutan. Satu-satunya yang boleh dilakukan adalah berdiam diri di rumah.
Masa a’liing ditentukan oleh para pemangku adat setelah ritual. Berdasarkan pengakuan Daeng Ramallang, dulu, leluhur mereka biasanya menghabiskan waktu tiga bulan untuk a’liing. Hukum adat ini adalah upaya untuk menyegarkan kembali alam sebelum para warga adat mulai memanen atau appapole.
Ritual adat yang lain, yang juga merepresentasikan relasi masyarakat adat Cindakko dengan alamnya, adalah ritual a’tumpi. Sebelum ritual ini dimulai, masyarakat adat Cindakko, terutama para perempuan adat, memasak kue tumpi yang terbuat dari beras ketan, gula merah, dan kelapa. Kue ini dikemas dan disajikan di baskom kecil dilengkapi dengan beberapa jenis material ritual lain seperti dauh sirih (leko), buah pinang (rappo), potongan kelapa berbentuk bulat (kaluku), beras (berasa’), dan lilin yang terbuat dari kemiri.
Ciri dari ritual yang dipimpin oleh Puang Sanro ini adalah dilaksanakan dengan tidak tidur semalaman. Orang-orang Cindakko, terutama para perempuan, mengelilingi kue tumpi yang mereka kumpul, dan mereka berusaha tetap dalam keadaan terjaga hingga pagi. Ketika saya bertanya, mengapa orang-orang begadang menjaga kue?
Daeng Eni, salah satu pemangku adat yang bergelar Bali Karaeng, menjawab, “satu kue tumpi berarti satu petak sawah, satu ikat tumpi ini, yang isinya tujuh potong kue, berarti satu kawasan hutan,” jeda Daeng Eni sambil memperlihatkan kepada saya satu ikat kue tumpi di tangannya, “artinya, kehilangan satu kue tumpi berarti kehilangan satu petak sawah, itulah kenapa kita begadang, untuk menjaga kue kita semua.” Puang Sanro juga menjelaskan kepada saya bahwa ritual ini adalah bentuk kesyukuran orang-orang Cindakko terhadap leluhur mereka yang telah mewariskan tanah tempat mereka hidup sekarang. “Ini hanya bentuk syukuran kami untuk leluhur, yang telah mewariskan tanah/sawah kepada kita dan kita masih tetap sehat hingga sekarang,” respon Puang Sanro saat dia melihat saya sudah berada di sampingnya saat ritual itu selesai dilakukan.
Selain ritual yang berkaitan dengan praktik penghidupan masyarakat adat Cindakko, ada berbagai jenis ritual lain yang juga setiap tahun selalu dilaksanakan di masyarakat adat Cindakko seperti accera tambara’ (penyucian pusaka adat), accera balombong (menyucikan tempat pembuatan gula merah), paeentengi ada’ (mendirikan hukum adat bagi warga adat yang melakukan pelanggaran seperti hubungan di luar nikah, nikah lari atau silariang, dll), a’mole (ritual yang dilakukan untuk mencari orang yang bersalah, semacam pengadilan adat), a’rangka (ritual untuk mendoakan orang-orang sekampung dan sedunia agar mendapatkan keselamatan), dan a’tumpi (ritual adat yang dilaksakana sekali tiga tahun). Dalam prosesnya, setidaknya seperti yang saya amati, ritual-ritual ini merepresentasikan relasi antara manusia, alam, dan leluhur masyarakat adat Cindakko.
Ritual-ritual ini, selain mencakup aspek spiritual, juga mencakup aspek sosial. Misalnya, setiap kali ritual atau perayaan adat (pesta pernikahan, pesta panen, acara a’tumpi, acara a’rangka, dan lain-lain) dilakukan, para warga adat yang laki-laki, baik yang muda maupun yang tua, berdatangan, berkumpul untuk melakukan tradisi a’llanja atau mallanca. Mallanca atau a’llanja berasal dari kata Bugis-Makassar yang berarti adu betis. Mereka melakukan tradisi ini bersama-sama, dan biasanya, dalam tradisi inilah mereka kembali saling bertemu dan saling bergurau satu sama lain. Ritual bagi masyarakat adat Cindakko, pada akhirnya, juga menjadi wadah untuk membangun kohesi sosial di masyarakat adat Cindakko.
Masyarakat adat Cindakko melakukan berbagai ritual itu, yang esensinya mencakup ketiga aspek hubungan intersubjektif antara manusia, alam, dan leluhur, sebagai representasi ideal dari kehidupan sehari-hari mereka. Ritual adalah cermin bagi kehidupan komunitas adat. Ritual appanaung ri je’ne (ritual meminta/menurunkan air), misalnya, dilaksanakan oleh mereka sebagai bentuk etis dan tanggungjawab mereka terhadap subjek-subjek lain, dalam konteks ini adalah air sebagai ‘subjek’ yang telah memungkinkan mereka untuk memulai mengelola sawah meskipun sawah-sawah mereka terletak di dataran tinggi.
Mereka juga meyakini bahwa alam—hutan tempat mereka tinggal dan mencari penghidupan—adalah bagian penting yang menopang kehidupan mereka. Alam telah memungkinkan mereka hidup sehingga suatu keharusan untuk menjaga relasi baik antara mereka. Untuk menjaga hubungan baik antara alam dan leluhurnya itulah, masyarakat adat Cindakko melakukan ritual-ritual di setiap fase hidup mereka.
Ketika pertama kali saya tiba di komunitas ini, setiap kali saya bertanya, “ritual ini dilakukan untuk apa, bu/pak?” Mereka selalu menjawab, “untuk bersyukur kepada leluhur atas apa yang kami dapatkan dari tanah kami, sekaligus untuk menyampaikan kepada leluhur bahwa kami masih tetap mengingat mereka, masih menjaga alam yang mereka wariskan.” Nyaris semua ritual adat yang dilaksanakan oleh masyarakat adat Cindakko menggambarkan bagaimana relasi masyarakat adat dengan alam dan leluhur mereka.
*Artikel ditulis oleh: Andi Alfian, Mahasiswa CRCS UGM yang melakukan riset di Program ESTUNGKARA