Lembaga Bumi Lestari (LBL) telah melaksanakan sosialisasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) di enam desa dampingan. Adapun desa yang dampingan tersebut adalah; Desa Kalamba, Desa Ndapayami, Desa Wanggameti, Desa Mbatakapidu, Desa Mauramba, dan Desa Meurumba. Kegiatan ini melibatkan berbagai elemen masyarakat. Termasuk perwakilan pemerintah kecamatan, pemerintah desa, BPD, LPM, lembaga adat, tokoh perempuan, dan penyandang disabilitas.
Direktur LBL, Stef Landu Paranggi, mrengatakan sosialisasi ini bertujuan untuk menghapus tindak kekerasan seksual terhadap masyarakat adat. Terutama untuk perempuan adat, baik itu kekerasan dalam rumah tangga maupun kekerasan seksual. Isu ini menjadi perhatian serius pemerintah dan aktivis kemanusiaan karena angka kekerasan seksual yang terus meningkat. Dengan masyarakat adat, anak-anak, dan kaum disabilitas sebagai kelompok yang paling rentan.
Korban kekerasan seksual di pedesaan sering kali luput dari pantauan aparat penegak hukum. Ini terjadi karena berbagai faktor, seperti minimnya pengetahuan tentang kategori atau jenis kekerasan seksual. Juga ketidaktahuan tentang cara pelaporan, serta diskriminasi dari keluarga atau masyarakat. Oleh karena itu, LBL dengan dukungan KEMITRAAN melalui Program ESTUNGKARA, memandang perlu untuk melakukan sosialisasi UUTPKS Nomor 12 Tahun 2022.
Narasumber dalam sosialisasi ini adalah Kanit PPA Polres Sumba Timur, IPTU Ahmad Furgan. Berdasarkan data Polres Sumba Timur, kasus kekerasan seksual di wilayah ini sangat tinggi. Menempatkan Sumba Timur pada peringkat keempat di Nusa Tenggara Timur. Banyak kasus yang ditangani melibatkan pelecehan seksual oleh orang tua kandung terhadap anak, orang tua wali, bahkan terjadi di lingkungan sekolah. Penyebabnya beragam, seperti konsumsi minuman keras dan menonton film porno.
Dalam materinya, IPTU Ahmad Furgan menjelaskan pengertian kekerasan seksual mencakup segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana. Sebagaimana diatur dalam undang-undang. Tujuan umum dari pengaturan tindak pidana kekerasan seksual didasarkan pada asas-asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia. Juga pencegahan segala bentuk kekerasan seksual, penanganan, perlindungan, dan pemulihan hak korban, serta menciptakan lingkungan tanpa kekerasan seksual.
Beliau juga menjelaskan bentuk-bentuk tindak KS, termasuk pelecehan seksual non-fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik. Hukuman bagi pelaku kekerasan seksual sangat berat, mulai dari hukuman penjara bertahun-tahun, denda, hingga hukuman kebiri.
Pelaksanaan sosialisasi ini mendapat apresiasi dari pemerintah desa dan seluruh unsur masyarakat adat. Mereka sangat berterima kasih kepada LBL dan pihak kepolisian yang telah memberikan pemahaman tentang UUTPKS. Diharapkan adanya sosialisasi ini, masyarakat di desa dampingan LBL dapat terhindar dari tindak KS dan lebih sadar akan hak-hak mereka.
Melalui upaya sosialisasi ini, LBL berharap dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya penghapusan KS. Khususnya di komunitas adat yang sering kali menjadi korban yang tak terlihat. Mari kita dukung bersama upaya LBL dan pihak terkait dalam menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan seksual.