Kickoff Penyusunan Peta Jalan Masyarakat Adat: Upaya Wujudkan Indonesia Rumah Bagi Semua

Oleh: Yael Stefany

KEMITRAAN bersama Kementerian PPN/Bappenas resmi memulai penyusunan Peta Jalan Pemenuhan Hak, Pelindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Adat dalam acara kickoff yang digelar di Hotel Mercure Sabang, Jakarta, Selasa (24/6). Langkah ini menjadi bagian penting dari implementasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029, khususnya dalam upaya menjamin hak dan memberdayakan masyarakat hukum adat secara berkelanjutan.

Kickoff ini menjadi ruang awal bagi seluruh pemangku kepentingan—dari kementerian/lembaga, organisasi masyarakat sipil, akademisi, hingga perwakilan masyarakat adat—untuk menyatukan langkah dan memperkuat komitmen bersama dalam membangun arah kebijakan yang berpihak pada kelompok yang selama ini kerap termarjinalkan.

Direktur Agama, Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Bappenas, Didik Darmanto, menegaskan pentingnya pendekatan kolaboratif dan partisipatif dalam penyusunan peta jalan. “Pembangunan yang tidak inklusif hanya akan memperlebar ketimpangan. Karena itu, masyarakat adat harus ditempatkan sebagai bagian penting dalam proses perencanaan pembangunan,” ujarnya dalam laporan kegiatan.

Peta jalan ini, lanjut Didik, akan menjadi panduan lintas sektor dan lintas lembaga untuk memperkuat perlindungan dan pemberdayaan masyarakat adat di seluruh Indonesia. Proses penyusunannya akan melibatkan rangkaian diskusi kelompok terfokus (FGD), konsultasi publik, serta dialog langsung dengan komunitas adat di berbagai wilayah.

Sejumlah tokoh turut hadir dalam sesi talkshow yang menggambarkan kompleksitas dan urgensi pengakuan serta perlindungan masyarakat hukum adat. Salah satunya adalah Sjamsul Hadi dari Kementerian Kebudayaan yang mengungkap fenomena “erupsi budaya”—di mana generasi muda adat mulai menjauhi identitas budaya mereka. “Banyak yang malu menggunakan bahasa ibu mereka. Ini sinyal krisis identitas,” ujarnya.

Akademisi Universitas Indonesia, Suraya Aafif, menyoroti pentingnya pendekatan berbasis hak dan penghormatan. “Perubahan memang mungkin, tapi harus datang dari masyarakat adat itu sendiri. Negara tidak boleh memaksakan modernitas dengan cara menghapus identitas budaya,” tegasnya.

Sementara itu, Cecep Sanusi dari Forum KAWAL Kasepuhan menyampaikan harapan agar peta jalan ini mampu membuka ruang partisipasi bagi generasi muda adat. “Kita butuh regenerasi, dan itu hanya bisa terjadi jika pemuda diberi ruang untuk ikut menentukan masa depan komunitasnya.”

Acara ini juga dihadiri oleh lebih dari 20 perwakilan kementerian dan lembaga yang selama ini memiliki irisan kebijakan terhadap masyarakat hukum adat, seperti Kemendagri, Kementerian ATR/BPN, KLHK, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kemenko PMK. Seluruh perwakilan sepakat bahwa masih terdapat tantangan besar dalam hal sinkronisasi data, kepastian hukum atas wilayah adat, serta keterbatasan intervensi akibat belum adanya pengakuan formal dari pemerintah daerah.

“Pendaftaran tanah ulayat misalnya, sebelum adanya regulasi baru, hanya sebatas deklaratif. Sekarang dibutuhkan dorongan kuat agar pemerintah daerah segera menetapkan wilayah adat secara resmi,” ujar Suwito, Direktur Pengaturan Tanah Pemerintah, Tanah Ulayat dan Tanah Komunal, Kementerian ATR/BPN.

Sementara dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Mares Ersan, menyebutkan bahwa hingga saat ini baru terdapat 165 unit SK Penetapan Hutan Adat di Indonesia, dan jumlah itu dinilai masih jauh dari cukup.

Arman dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengingatkan bahwa keberhasilan peta jalan ini sangat bergantung pada keberanian negara untuk mengakui eksistensi masyarakat adat secara penuh, baik secara hukum (de jure) maupun dalam praktik nyata (de facto). “Kita butuh kepemimpinan yang kuat, tidak hanya teknokratis, tetapi juga berpihak,” tegasnya.

Ke depan, rangkaian kegiatan lanjutan seperti FGD, dialog multipihak, dan kunjungan ke komunitas adat akan digelar sebagai bagian dari proses penyusunan peta jalan yang lebih komprehensif. Hasil akhir dari proses ini akan menjadi dasar penyusunan kebijakan yang responsif, kontekstual, dan berbasis kebutuhan nyata masyarakat hukum adat di berbagai wilayah Indonesia.

Peta jalan ini diharapkan tidak hanya menjadi dokumen strategis, tetapi juga simbol dan instrumen nyata negara dalam membangun Indonesia yang inklusif, adil, dan berdaulat atas identitas budaya dan keragaman sosialnya.

Penulis :