Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub), dimulai dari inisiatif Gus Dur di Pesantren Al-Wasilah di Garut pada tahun 1999, untuk menyebarkan isu keberagaman dan toleransi. Dari lokakarya di pesantren tersebut, perjalanan Jakatarub terus berkembang dan dilanjutkan di Vihara Vipassana Graha di Lembang, tempat deklarasinya resmi dilakukan. Gereja Santa Maria Tanpa Noda di Buah Batu Bandung pun menjadi titik awal terbentuknya Jakatarub.
Sejak tahun 2000 hingga 2005, gerakan Jakatarub belum begitu masif. Baru lah pada tahun 2005, dengan keikutsertaan Wawan Gunawan, diadakan Youth Interfaith Camp pertama. Namun, setelah itu, komunitas ini mengalami vakum beberapa tahun karena kurangnya regenerasi, terutama dari kalangan anak muda.
“Jadi dulu itu belum banyak yang anak muda di dalamnya, gak seperti sekarang. Biasanya dulu orang yang lulus kuliah atau yang lagi semester atas, jadi regenarasinya susah,” ujar Kaana Putra Mahatma, divisi media Jakatarub.
Namun pada tahun 2010, Jakatarub kembali aktif dengan berbagai kegiatan. Sejak tahun 2019 sampai dengan sekarang, kini, pengurus Jakatarub diisi oleh anak-anak muda mulai dari pengurus sampai ke anggota, dengan berbagai latar belakang gender maupun agama.
Nama Jakatarub sendiri selain memiliki arti akronim, terinspirasi dari budaya sunda yakni Jatarub yang mencuri selendang bidadari dan mengintip bidadari yang sedang mandi. “Jadi kita ngintip keberagaman orang lain kita ngintip cara orang lain beribadah,” jelas Kaana.
Sebagai jaringan, Jakatarub meyakini bahwa ruh dari Jakatarub sendiri adalah membangun kerjasama dan kedekatan dengan berbagai pemuka agama dan komunitas keberagaman lainnya. Jakatarub tidak hanya eksklusif untuk anak muda, tetapi juga membuka dialog dengan pemuka agama dan pemerintah.
“Sebagai contoh, saat ini sekretariat Jakatarub berada di kantor Gereja Pasundan secara gratis. Ini gak bisa didapatkan kalau tidak ada hubungan emosional yang lama dan dekat antara Jakatarub dengan pemuka agama di Gereja Pasundan,” tambah Kaana.
Tidak hanya itu, tiap tahunnya Vihara Vipassana Graha dijadikan ruang musyawarah atau rapat kerja oleh Jakatarub secara gratis pula. Bahkan diberikan ruang tidur dan ikut bantu memasak konsumsi selama acara berlangsung, kata Kaana.
Dalam kinerja edukasi dan advokasinya, Jakatarub memiliki beberapa program kerja yang mencakup berbagai bidang, seperti Cafe Religi, Cafe Humanity, diskusi bulanan bernama DuGem (Diskusi Gembira), Wi-Fi, dan Ngaprak. Setiap program pun memiliki ciri khas tersendiri dan berkontribusi pada isu perdamaian, keberagaman, dan toleransi. “Akan tetapi ada penundaan sementara pada kegiatan Dugem karena sekarang kami fokus ke acara Bandung Lautan Damai,” jelas Ernita Kusuma, divisi jaringan Jakatarub.
Jakatarub juga melakukan kerjasama dengan pemuka agama dan pemerintah dalam kerja-kerja edukasi dan advokasinya seperti bekerjasama dengan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) dan Kementerian Agama (Kemenag). Sehingga kegiatan mereka tidak hanya sebatas webinar maupun FGD, tetapi juga aksi nyata yang membuka jaringan di berbagai tempat, termasuk di pinggiran Bandung.
Tujuannya adalah menghapus stigma negatif terhadap perbedaan dan mempromosikan perdamaian, keberagaman, serta toleransi. Mereka tidak hanya menyebarkan isu-isu ini tetapi juga mengajak beberapa lembaga lain untuk turut serta, seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Wahana Lingkungan (Walhi) Jawa Barat, serta komunitas lintas iman dan perdamaian lainnya, untuk berbicara dari berbagai perspektif.
“Jadi di Jakatarub itu ada acara besarnya yang dilakukan tiap tahunnya. Ada Bandung Lautan Damai, Youth Interfaith Camp dan rapat kerja. Jadi biasanya kami merayakan hari besar seperti hari toleransi international, 16 HAKTP dan Hari HAM International,” tambah Kaana.
Jakatarub juga pernah melakukan kegiatan Voice for Peace dimana kegiatan ini melatih jurnalis dan media agar menuliskan narasi tentang keberagaman tanpa permusuhan. Para content creator di media sosial pun dilatih agar dapat menciptakan konten yang toleransi. Serta memberikan pengembangan kapasitas bagi komunitas perdamaian agar tidak reaksioner dalam melihat perbedaan diluar arus utama.
“Kita kalau berbicara semua orang bisa toleransi pasti mau, tapi kalau melihat kondisi sekarang kayaknya belum. Contohnya saja kayak kasus pesantren al-zaytun yang dimana masyarakat yang menganggap ritual agama yang berbeda dari arus utama masih dianggap sesat. Itu masih jadi tugas kita bersama,” jelas Sabahuddin, divisi advokasi Jakatarub.
Sabahuddin melihat bahwa Bandung Raya belum benar-benar toleran. Masih banyak pelanggaran-pelanggaran yang dibuat oleh pemerintah. Akan tetapi mereka masih percaya bahwa masih ada praktik perdamaian di Bandung Raya dan ini tidak hanya jadi fokus Jakatarub saja.
“Mungkin di kota Bandungnya udah lumayan masif, karena kayak Jakatarub kan ngumpulnya di kota, akan tetapi kalau di daerah kabupaten masih belum. Nah, makanya kenapa akhirnya kami membuat bandung lautan damai di daerah pinggiran agar isu ini semakin berkembang dan diketahui oleh banyak orang,” jelas Sabahuddin.
Hal ini dikarenakan, kabupaten Bandung masih jarang adanya ruang-ruang perjumpaan antar iman dan agama. Pun setiap kabupaten yang ada di Bandung memiliki perbedaan isu. Sehingga Jakatarub harus melakukan pemetaan agar edukasi yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang ada disana.
“Misalnya di Bandung Selatan isunya adalah soal banyaknya penutupan gereja makanya kegiatannya dibuat yakni ruang-ruang perjumpaan antar agama. Jadi macam-macam ragam isunya,” tambah Sabahuddin.
“Mungkin kita bisa melihat bagaimana orang kristen dan islam sudah bisa bergandengan dan saling menerima tapi yang susah adalah orang islam dihadapkan dengan aliran islam yang lain dan orang kristen diperhadapkan dengan gereja yang lain. Dialog antar agama itu sudah banyak tapi dialog antar lintas iman itu yang belum banyak,” tambah Kaana.
Isu yang sensitif, pun menjadi tantangan selanjutnya bagi Jakatarub. Ditambah Jakatarub berisikan anak-anak muda sehingga tidak jarang diremehkan baik dari masyarakat maupun pemerintah. Mereka berusaha mengubah pola pikir yang masih meremehkan suara anak muda, karena mereka percaya bahwa anak muda juga memiliki kontribusi berharga dalam membangun perdamaian dan toleransi.
”Karena kan Jakatarub itu, kan, representasinya anak muda untuk menyuarakan keberagaman, walau banyak yang tidak mendengarkan dan memberikan kami ruang, tapi masih ada juga kegiatan dari pemerintah yang mengundang Jakatarub. Inikan berarti mereka masih mau mendengarkan suara anak muda. Kayak kemarin kami ada kegiatan dengan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan kami kasih policy brief ke FKUB,” jelas Kaana.
Tidak cukup sampai disitu, Jakatarub juga kerap mendapatkan peringatan ketika melakukan advokasi dan ruang-ruang dialog. Ernita menceritakan bagaimana ketika Jakatarub mengadakan konsolidasi di Gereja Kristen Pasundan Dayeuhkolot. Mereka mendapatkan peringataan untuk tidak melakukan kegiatan konsolidasi di tempat tersebut.
“Mereka tetap hadir, akan tetapi hadirnya mereka itu justru membawa polisi dan ini sama aja kayak intimidasi dan mengundang ketakutan dari masyarakat. Padahal kita hanya ingin meluruskan konflik gereja ini kenapa sebenarnya,” jelas Ernita.
Kaana menambahkan, intimidasi yang sering didapat oleh Jakatarub lebih banyak dialami secara pribadi. Misalnya saja, salah satu teman Jakatarub yang sedang kuliah menganut kepercayaan diluar dari enam agama yang diakui. Berdampak pada nilai mata kuliah agamanya yang tidak keluar di portal universitas. Juga salah satu teman Jakatarub yang masih duduk dibangku SMA. Dirinya mendapatkan hinaan karena memiliki aliran kepercayaan diluar dari arus utama.
“Ada juga teman Konghucu yang mau buat SKCK disuruh milih agama islam saja biar gampang urusan administrasinya. Juga aturan pemaksaan pemakaian hijab di sekolah-sekolah. Jadi dari lingkup pendidikan dan pemerintah masih belum memiliki prespektif HAM dan Hak Berkeyakinan dan Beragama,” jelas Kaana.
Ini lah yang menjadi salah satu tantangan terbesar bagi Jakatarub sendiri terutama dalam kegiatan advokasi kasus. Jakatarub yang terlibat dalam advokasi non-litigasi, tidak hanya mendampingi korban, tetapi juga membangun kedekatan dengan pemerintah.
“Kalau untuk advokasi, tantangannya di pemerintah yang takut dengan ormasnya. Jadi satu sisi Jakatarub mendampingi korban satu sisi Jakatarub membangun kedekatan dari nol lagi dengan pemerintah,” jelas Sabahuddin.
Hukum yang masih timpang terutama di Peraturan Bersama terkait Izin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah ibadah, juga salah satunya. Dimana tertulis syarat membangun rumah ibadah harus memiliki 90 tandatangan jemaat yang ingin mendirikan rumah ibadah. Lalu, 60 orang dari warga sekitar, dan itu yang sangat memberatkan, kata Sabhuddin.
“Jadi banyak konflik horizontal yang ada dimasyarakat. Apalagi Jakatarub tidak ingin bermusuhan dengan masyarakat,” tambahnya.
Dengan banyaknya tantangan yang dihadapi, tidak mengurangi semangat untuk terus mempromosikan perdamaian di Bandung. Jakatarub akan tetap konsisten dalam gerakan toleransi, tidak hanya di kota tetapi juga di daerah pinggiran. Mereka juga ingin memberikan edukasi dan pendampingan kepada pelaku, bukan hanya sebagai efek jera, tetapi juga untuk mencegah berkelanjutan.
Jakatarub memiliki keyakinan bahwa langkah-langkah kecil dan konsisten dapat membawa perubahan positif dalam membangun perdamaian dan toleransi di masyarakat.
“Perdamaian ini bukan jalan satu, dua atau lima tahun tapi jalan panjang. Kita mah pengennya besok udah damai dan ini masih sulit. Mungkin harapannya kita gak jadi musuh pemerintah dan masayarakat terus terusan. Jakatarub itu gak pengen go internasional tapi Jakatarub pengen go di desa-desa,” harap Kaana.
“Mungkin masyarakat luas belum banyak yang menerima tapi kita bisa mulai dari ruang lingkup kecil dulu aja. Kayak tempat tongkrongan dengan teman-teman. Jadi kalau ada yg berbeda dari kita bukan berarti menyeramkan tapi kita sama saja dan setara,” timpal Sabahuddin.