Dengan diberlakukannya KUHP baru di Indonesia, perubahan signifikan terlihat dalam kerangka hukum yang mengatur pelanggaran terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan. Meskipun ada upaya untuk memperkuat perlindungan terhadap hak-hak individu. Namun beberapa aspek mengindikasikan adanya ketidakjelasan dan bahkan kekhawatiran terkait dengan siapa sebenarnya yang mendapatkan perlindungan penuh.
Salah satu perubahan yang mencolok adalah terkait kriminalisasi atas pernyataan yang dianggap sebagai penghinaan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. Meskipun niatnya mungkin untuk melindungi nilai-nilai keagamaan, penerapan ketentuan ini juga dapat menimbulkan dampak pada kebebasan berekspresi.
Data menunjukkan bahwa kasus-kasus pelanggaran agama lebih sering berdampak pada individu atau kelompok minoritas. Dengan risiko penindasan terhadap mereka yang menyuarakan pandangan atau keyakinan non-dominan. Ini mengundang pertanyaan kritis tentang siapa sebenarnya yang mendapatkan perlindungan dalam konteks. Apakah upaya untuk melindungi kebebasan beragama berpotensi mengekang kebebasan berekspresi.
Dalam analisis lebih lanjut, pelanggaran terkait agama atau keyakinan lebih sering terjadi terhadap minoritas agama. Walaupun KUHP baru mencoba untuk memberikan perlindungan, masih terdapat celah hukum dan pelaksanaan yang tidak konsisten.
Penegakan hukum yang tidak adil atau diskriminatif terhadap kelompok minoritas dapat mengakibatkan ketidaksetaraan dalam perlindungan hukum. Penting untuk memastikan bahwa KUHP baru benar-benar melindungi semua warga negara, tanpa memandang keyakinan atau agama yang dianut.
Data juga menyoroti pengaruh politik dalam penegakan hukum terkait agama atau keyakinan. Kasus-kasus di mana pihak yang berkuasa memanfaatkan ketentuan tersebut untuk kepentingan politiknya sendiri menjadi isu yang patut dicermati. Ini menciptakan tantangan serius dalam memastikan bahwa KUHP baru benar-benar digunakan untuk melindungi hak asasi manusia. Bukan sebagai alat politik.
Pada Konsolidasi Agama Adat yang diadakan oleh ICIR di Solo beberapa bulan yang lalu, Zainal Abidin Bagir dari ICRS UGM menjelaskan bahwa ada beberapa masalah serius dalam pasal-pasal terkait agama. Akan tetapi, hukum yang baru tidak akan menjamin bahwa praktik di lapangannya akan berubah. Penting bagi kita untuk tidak menggunakan istilah penodaan agama karena sudah tidak ada dalam realitas litigasinya (KUHP).
“Memang akan ada orang intoleran, tapi tempatnya bukan dipenjara. Pidana bukan jalan terbaik, dan sebisanya dihindari. Kita ambil saja ini (disahkannya KUHP) sebagai momentum untuk mengangkat kembali isu penodaan agama untuk direvisi. Tetapi sampai sekarang belum dilakukan juga,” jelas Zainal.
Untuk itu, dalam upaya meningkatkan efektivitas perlindungan terkait agama atau keyakinan dalam KUHP baru, diperlukan pemantapan dalam batasan-batasan yang diberlakukan. Dialog dan partisipasi aktif dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk kelompok agama minoritas, dapat membantu merumuskan ketentuan yang lebih adil dan mencerminkan keberagaman masyarakat Indonesia.
Uli Parulian Sihombing, Komisi Nasional (KOMNAS) Hak Asasi Manusia (HAM) memberikan rekomendasi pendekatan keadilan restoratif melalui mediasi penal dalam penanganan kasus-kasus penodaan agama atau kepercayaan. Dasarnya adalah keadilan restoratif yang menekankan pada upaya pemulihan, dimana korban dan pelaku dengan difasilitasi oleh Aparat Penegak Hukum (APH) mencari solusi untuk upaya-upaya pemulihan.
“Konsep ini sebenarnya berakar pada hukum-hukum adat kita, yang kemudian diambil oleh sarjana barat dan disebut sebagai keadilan restoratif,” jelas Uli Parulian.
Sedangkan Asfinawati, akademisi dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera (STHJ), menambahkan kelompok mainstream yang sering kali menentukan ada atau tidaknya pernyataan kebencian terhadap agama. Laporan kelompok penghayat, 6 kelompok non-agama, dari anggota aliran yang dianggap sesat sering kali tidak ditindklanjuti.
“Saya mengusulkan, sekalipun hukum memang telah diciptakan, ruang pemaknaannya bisa kita rebut untuk kelompok minoritas, baik melalui jalan konstitusi, politik, maupun komisi independen,” jelas Asfinawati.
Perbaikan dalam implementasi dan penegakan hukum juga menjadi kunci. Pelatihan yang menyeluruh bagi aparat penegak hukum dan peningkatan kesadaran hukum di masyarakat dapat membantu memastikan bahwa KUHP baru tidak hanya sebatas teks hukum, tetapi juga menjadi instrumen yang efektif dalam melindungi hak asasi manusia bagi semua warga negara.