Sejak tahun 2010, Kasepuhan Cibarani mulai didampingi oleh Rimbawan Muda Indonesia (RMI) dalam sebuah perjalanan transformasi yang bertujuan menciptakan lingkungan yang mendukung pemberdayaan perempuan, perlindungan hutan adat, serta peningkatan ekonomi. Pendampingan ini tidak hanya bertujuan melestarikan nilai-nilai adat, tetapi juga memperkuat posisi masyarakat adat dalam menghadapi derasnya arus modernitas. Dalam kurun waktu tersebut, momentum ini menjadi langkah strategis bagi masyarakat Kasepuhan untuk memperoleh pengakuan atas hak-haknya sebagai masyarakat adat. Sekaligus memperkuat kapasitas komunitas mereka dalam beradaptasi dengan tantangan global.
Namun, perjalanan ini bukan tanpa rintangan. Salah satu konflik utama yang dihadapi adalah sengketa tenurial yang dipicu oleh terbitnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175 Tahun 2003. Keputusan ini memperluas kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan secara sepihak memasukkan sebagian besar wilayah adat sebagai bagian dari hutan negara. Tanah cawisan—yang selama ini menjadi lahan pemukiman, pertanian, dan fasilitas umum masyarakat adat—diklaim sebagai kawasan konservasi. Meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat yang merasa menjadi “tamu” di tanah leluhur mereka sendiri.
Selain konflik tenurial, Kasepuhan Cibarani juga menghadapi intimidasi budaya, seperti yang terjadi pada tahun 2012 ketika upacara adat Seren Taun dibubarkan secara paksa oleh organisasi massa keagamaan. Insiden ini meninggalkan trauma mendalam meskipun akhirnya Pemerintah Kabupaten Lebak menerbitkan Surat Keputusan (SK) pengakuan masyarakat adat. Pendampingan oleh RMI menjadi titik balik penting dalam perjuangan ini.
Melalui edukasi, advokasi, dan perencanaan berbasis partisipasi, masyarakat adat berhasil membangun kepercayaan diri dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Puncaknya, pada tahun 2015, Pemerintah Daerah Lebak mengesahkan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Kasepuhan.
Dalam upaya memberdayakan komunitas, berbagai program strategis diluncurkan. Salah satu inisiatif yang menonjol adalah Forum Konsolidasi dan Advokasi Wilayah Adat Lebak (KAWAL). Dimana mengintegrasikan peran pemuda dalam advokasi dan penguatan hak-hak adat. Di sisi lain, partisipasi aktif masyarakat Kasepuhan dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan kegiatan Semi Lokal berhasil mendorong keterlibatan kolektif perempuan dan laki-laki dalam berbagai agenda, termasuk upacara adat Seren Taun. Sinergi ini membuka ruang bagi masyarakat untuk mengelola sumber daya, meningkatkan pendidikan, membangun ekonomi, dan memperjuangkan hak-hak adat mereka.
Meski demikian, tantangan besar masih menghantui. Pada tahun 2024, tingkat pendidikan masyarakat Kasepuhan masih relatif rendah, di mana mayoritas penduduk hanya lulusan SD atau SMP. Kondisi ini memicu berbagai masalah sosial seperti pernikahan dini dan perceraian. Secara ekonomi, banyak masyarakat yang memilih bekerja di luar komunitas, seperti di Jakarta atau Malaysia, untuk mencari penghidupan. Di sisi lain, kesadaran terhadap pelestarian lingkungan juga belum optimal, sehingga upaya perlindungan hutan adat menghadapi berbagai kendala.
Sebagai bagian dari upaya inovasi, beberapa program diperkenalkan selama masa pendampingan. Program English Night Class dirancang untuk meningkatkan keterampilan bahasa Inggris generasi muda. Membuka peluang mereka untuk terhubung dengan dunia global tanpa meninggalkan identitas lokal. Selain itu, seminar keterampilan yang mencakup leadership, public speaking, dan personal branding diselenggarakan untuk memperkuat kapasitas pemuda Kasepuhan.
Forum Pemuda Kasepuhan Cibarani (FORMULASI) juga aktif memanfaatkan platform media sosial untuk mempromosikan budaya lokal, menjadikan dunia maya sebagai panggung advokasi mereka.
Tidak kalah penting, Focus Group Discussion (FGD) bersama ibu-ibu PKK menjadi ruang pemberdayaan yang melibatkan perempuan dalam pembangunan berbasis komunitas. Diskusi ini bertujuan membangun keluarga yang edukatif, kreatif, dan mampu beradaptasi dengan perubahan zaman.
Fenomena transformasi di Kasepuhan Cibarani adalah contoh nyata pemberdayaan komunitas dalam menghadapi modernitas. Inisiatif seperti English Night Class dan pembuatan konten digital tidak hanya meningkatkan keterampilan praktis masyarakat, tetapi juga menjadi jembatan antara tradisi dan inovasi.
Seperti yang diungkapkan oleh Sachs (2015), pembangunan berkelanjutan membutuhkan keseimbangan antara aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dalam konteks Kasepuhan, pelestarian hutan adat dan penguatan ekonomi lokal menjadi dua pilar utama yang saling melengkapi.
Perjalanan Kasepuhan Cibarani adalah bukti bahwa tradisi dan modernitas dapat berjalan harmonis. Dengan strategi berbasis kearifan lokal dan partisipasi kolektif, Kasepuhan Cibarani memiliki peluang besar untuk menjadi contoh transformasi masyarakat adat yang tangguh, inklusif, dan relevan di tengah perubahan zaman. Semoga kisah ini menginspirasi komunitas adat lainnya untuk melangkah menuju masa depan yang berkelanjutan tanpa kehilangan akar budaya mereka.
*Penulis: Ayu Maun Nadhifah (CRCS UGM), Peserta Magang Estungkara 2024