ICIR Ke-6: Bangun Demokrasi di Masyarakat Adat Lewat Film

KEMITRAAN berkolaborasi dengan Yayasan BaKTI, dan Rumah Generasi berpartisipasi dalam penyelenggaraan the International Conference on Indigenous Religions (ICIR) yang keenam di Kota Ambon. Event ini merupakan event rutin internasional untuk mengeksplorasi dan merayakan keberagaman agama dan kepercayaan lokal yang turut melibatkan akademisi, peneliti, dan praktisi dari seluruh dunia untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman mengenai agama-agama adat serta praktik spiritual yang hidup di masyarakat.

Sebagai bagian dari agenda ICIR, KEMITRAAN, Yayasan BaKTI dan Rumah Generasi menyelenggarakan side event lewat nonton bersama film “Mentawai: Soul of The Forest“. Film ini adalah sebuah karya yang mengeksplorasi keindahan dan kompleksitas kehidupan suku Mentawai, yang tinggal di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, Indonesia. Dengan latar belakang hutan tropis yang rimbun dan kaya akan keanekaragaman hayati, film ini tidak hanya menyajikan visual yang menakjubkan tetapi juga mengangkat tema yang mendalam tentang keberlanjutan, budaya, dan hubungan manusia dengan alam.

Suku Mentawai memiliki tradisi dan cara hidup yang sangat terikat dengan alam. Mereka dikenal dengan kebiasaan berburu, meramu, dan bercocok tanam yang berkelanjutan. Film ini menggambarkan bagaimana suku Mentawai mengadaptasi hidup mereka dengan lingkungan sekitar, serta bagaimana mereka memanfaatkan sumber daya alam tanpa merusak ekosistem.

“Film Mentawai: Soul of The Forest ini menggambarkan hubungan spiritual masyarakat adat Mentawai dengan hutan, yang mereka anggap sebagai sumber kehidupan dan identitas budaya,” ujar Martison Siritoitet, inisiator film saat diskusi pemutaran film.

Martison juga menceritakan bahwa setiap rumah adat yang disebut Uma memiliki roh dari jaman leluhur. Sehingga apabila akan melakukan renovasi rumah maupun, maka perlu dilakukan ritual yang dipimpin oleh Sikerei, tetua adat Mentawai. Hal ini bertujuan untuk menjaga harmonisasi dengan roh-roh leluhur.

Nobar ini terbuka untuk umum dan turut dihadiri mahasiswa IAKN Kota Ambon, Komunitas Tuli Maluku, dan masyarakat umum. Nurul, salah satu perwakilan dari Komunitas Tuli Maluku menyampaikan apresiasinya setelah pemutraan film dengan menggunakan Bahasa isyarat.

“Saya senang dengan tayangan film yang baru saja diputar, dan saya menunggu film serupa berikutnya,” ujar Nurul melalui penggunaan Bahasa isyarat.

Film sebagai salah satu bentuk seni memainkan peran penting dalam mewujudkan demokrasi, baik sebagai alat ekspresi maupun sebagai sarana komunikasi. Keduanya mampu menciptakan ruang dialog yang membuka diskusi tentang isu-isu sosial, politik, dan budaya. Melalui karya film, kita dapat menyampaikan pandangan kritis terhadap isu-isu dan kebijakan public guna mendorong upaya advokasi serta mengajak masyarakat berpikir secara kritis hingga mampu berpartisipasi dalam proses demokrasi.

Mentawai: Soul of The Forest mampu menciptakan narasi yang relevan yang dapat membantu mengubah cara pandang masyarakat terhadap isu-isu tertentu, menciptakan kesadaran kolektif yang esensial dalam masyarakat demokratis. Film ini juga dapat menginspirasi penonton untuk lebih memahami dan mengapresiasi nilai-nilai demokrasi.

Film produksi 2019 ini juga menyajikan gambaran situasi masyarakat adat Mentawai yang saat itu mengalami persoalan air karena deforestasi. Dan hingga saat ini, situasi tersebut masih sangat relevan. Martison dalam diskusi menyampaikan bahwa lewat film, ia dan Yayasan Pendidikan Budaya Mentawai (YPBM) juga mendorong persoalan ini lewat advokasi melalui media film. Hal ini menunjukkan bahwa film tidak hanya menjadi sarana hiburan, tetapi juga alat vital dalam mendorong partisipasi aktif masyarakat, memperkuat nilai-nilai demokrasi, dan menciptakan ruang dialog yang inklusif.

Delon, salah satu peserta dari IAKN Ambon menyampaikan bahwa lewat film ini dia bisa melihat upaya untuk pelestarian budaya terutama bagi generasi muda. Delon dalam diskusi juga turut menyampaikan bahwa di komunitasnya, kini budaya dari orangtua terdahulu kian pudar di generasi muda, sehingga perlu adanya media dalam upaya membangun Kembali adat dan budaya.

Penulis :

Melia