Hermina Mawa: Pejuang Perempuan Adat dari Tanah Rendu

Namanya Hermina Mawa, perempuan adat berkulit sawo matang dengan rambut ikal; beberapa sudah mulai terlihat putih menunjukkan bahwa usianya tidak muda lagi. Hermina lahir di kampung Kawa, desa Labolewa, kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo tahun 1974 dari pasangan Mama Imelda Dheta dan Andreas Tenga.

April tahun 1992 mama Mince kemudian pindah ke kampung Rendu mengikuti orang tuanya. Empat tahun kemudian, mama Mince menikah dengan Yohanes Don Bosco Riba dan dikarunia dua orang anak. Namun sayang, pada tahun 2005 sang suami meninggal karena penyakit lever yang dideritanya. Kejadian ini mengubah predikatnya menjadi perempuan kepala keluarga. Kini, mama Hermina kerap disapa mama Mince oleh sesama saudara di kampung Kawa.

Mama Mince berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan harian dengan mengelola ladang seluas 0,75 ha. Ada padi, jagung, kacang-kacangan, umbi-umbian dan juga sayur-sayuran yang menjadi tanaman utama. Mama Mince mengaku bahwa tekstur tanah di Rendu tidak sesubur tanah di tempat lain. Karena itu ketika musim panas dirinya tidak bisa terus mengandalkan hasil pertanian. Hasil ladang dipanen setahun sekali untuk dikonsumsi dan beberapa dijual di pasar Raja dan pasar Mbai seperti beras, jagung dan kacang-kacangan.

Dari penjualan hasil panen tersebut, mama Mince mendapatkan penghasilan berkisar Rp. 200.000,00/bulannya. Hasil inilah yang digunakan mama Mince untuk kebutuhan sekolah anaknya dan kebutuhan hidup sehari-hari. Tentu, pendapatan yang minim tersebut masih jauh dari kata cukup. Oleh karena itu, mama Mince menekuni tenun dan beternak untuk membantu membiayai kebutuhan sekolah kedua anaknya dan kebutuhan lainnya.

Mama Mince mulai belajar tenun sejak dirinya berada di bangku sekolah dasar dari ibunya. Beliau sudah terbiasa menenun dengan baik. Untuk bisa menghasilkan selembar kain tenun mama Mince membutuhkan waktu selama tiga minggu. Harga selembar kain tenun berkisar Rp. 350.000 – Rp 400.000,-. Tidak cukup sampai menenun, mama Mince pun beternak kambing, babi dan ayam. Meski tidak dijual secara rutin, namun ternak ini sangat membantu ketika dia sedang ingin membutuhkan biaya mendadak.

Selain menjadi kepala rumah tangga, mama Mince juga terkenal sebagai sosok pejuang perempuan adat di Rendu sejak tahun 2015. Dirinya aktif menyampaikan aspirasi dan melakukan perlawanan menolak hadirnya wacana pembangunan waduk Lambo. Mama Mince bersama 41 perempuan adat lainnya berkumpul dan membentuk kelompok perempuan yang diberi nama Kelompok Pejuang Tanah Rendu (KOMPETAR). Komunitas ini sebagai wadah untuk mengorganisir perempuan adat yang ada di Rendu, di bawah kepengurusan harian komunitas (PHKOM) PEREMPUAN AMAN dan mama Mince dipercaya sebagai sekretaris PHKOM KOMPETAR.

Komunitas adat Rendu dikenal dengan kawasan sabananya yang indah dan sumber daya alam yang melimpah. Masyarakat adat Rendu mampu memenuhi kebutuhan harian mereka hanya dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Hal ini membuat ketergantungan akan pasar atau barang dan bahan yang diproduksi dari luar wilayah adat sangat rendah.

Padang penggembalaan Malaledu, tempat ritual Kage Wae, mata air Napu, sungai Lowo Pebhu dan hutan adat Robo Meze mampu membuat masyarakat adat Rendu terjamin keberlangsungan hidupnya sejak ratusan tahun yang lalu. Karena itu, mama Mince sangat mencintai warisan leluhurnya.

Cintanya akan warisan leluhur, membuat dia tak selangkah pun mundur untuk melakukan perlawanan untuk menolak pembangunan waduk Lambo. Tahun 2021 mama Mince ditangkap oleh aparat karena melakukan pengadangan di pintu masuk titik nol area pembangunan Waduk Lambo. Komitmennya untuk menjaga warisan nenek moyang tidak pernah padam.

“Tanah itu adalah ciptaan Tuhan dan perjuangan leluhur. Kami tidak mau tanah kami dihancurkan. Jika itu terjadi kami harus ke mana? Apakah kami harus terlantar? saya akan terus mempertahankan hak hidup masyarakat,” tegas mama Mince.

Sebagai perempuan adat, banyak tantangan yang dialami oleh mama Mince terutama dalam mengorganisir perempuan-perempuan adat di kampung Rendu. Sulitnya mendapat izin dari keluarga ketika mereka harus keluar rumah atau keluar kampung, salah satunya. Akan tetapi hal ini tidak mematahkan semangat juang mama Mince. Strategi pendekatan yang dilakukan mama Mince secara terus menerus akhirnya berhasil meluluhkan pandangan keluarganya. Mama Mince terus hadir melakukan konsolidasi bersama dengan perempuan adat lainnya untuk menjadi garda terdepan dalam melindungi tanah leluhur dan menolak pembangunan waduk Lambo.

Mama Mince selalu memimpin aksi agar pembangunan waduk Lambo bisa dihentikan. Namun, kekuatan proyek strategi nasional terus menerus mengirim aparat kepolisian untuk melakukan kriminalisasi kepada para perempuan adat dan masyarakat yang menjaga wilayah adatnya. Meski saat ini dia kalah karena pembangunan sudah berjalan, tidak mematahkan sedikit pun hasratnya untuk terus berjuang.

Bersama dengan teman-teman pengurus PHKOM KOMPETAR, mama Mince aktif berjuang untuk terus melakukan advokasi dan konsolidasi dengan tokoh masyarakat, pemerintah desa dan panitia relokasi, untuk memperjuangkan keberlanjutan hidup masyarakat terdampak. Utamanya yang ada di dusun Malapoma, di mana bisa dipastikan pemukiman tersebut akan tergenang oleh air akibat pembangunan waduk Lambo.

Mama Mince berharap agar hak-hak masyarakat adat yang terdampak akibat pembangunan waduk Lambo, diberi ganti rugi oleh pemerintah. Juga memastikan semua masyarakat adat yang terdampak mendapatkan tempat relokasi yang aman. “Saya akan terus berjuang bersama masyarakat untuk mendapatkan hak-hak kami terutama aset-aset yang tidak terakomodasi dan memastikan mendapatkan tempat untuk kami dapat melanjutkan kehidupan kami jika air datang,” tutupnya.

Penulis :

Sisilia Wunu