Relasi perempuan dan alam sudah menjadi wacana yang sering dibicarakan oleh berbagai kalangan. Baik masyarakat umum, praktisi, aktivis, hingga akademisi. Secara praktik dan paradigma, hubungan perempuan dan alam sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1970-an dan menjadi gerakan pada tahun 1980-an.
Carolyn Merchant dalam Radical Ecology: The Search of a Livable World (2005) menjelaskan jika kesadaran akan relasi perempuan dan alam memunculkan istilah “ecofeminism” yang diperkenalkan oleh penulis asal Prancis, Françoise d’Eaubonne, yang kemudian menjadi sebuah gerakan di Amerika.
Namun terlepas dari narasi sejarah ekofeminisme yang dianggap muncul dari Barat, Vandana Shiva dalam bukunya Staying Alive: Women, Ecology, and Survival in India (1988) menunjukkan bahwa ekofeminisme sebagai gerakan, sebenarnya sudah dimulai oleh perempuan di India sebelum gerakan ekofeminisme di Barat. Gerakan dikenal dengan gerakan Chipko atau gerakan memeluk pohon agar tidak ditebang. Namun kontribusi perempuan dalam gerakan ini awalnya diabaikan dan dianggap tidak signifikan.
Studi yang dilakukan Vandana Shiva sebenarnya cukup menunjukkan kepada kita bahwa ekofeminisme baik itu secara gagasan ataupun gerakan sebenarnya telah ada dan tumbuh di masyarakat. Namun sering kali tidak teridentifikasi. Merespons hal tersebut, tulisan ini ingin menunjukkan bahwa gagasan ekofeminisme juga telah tumbuh di masyarakat Indonesia, khususnya di masyarakat adat. Secara spesifik, tulisan ini akan mengulas bagaimana praktik dan gagasan ekofeminisme tumbuh di masyarakat adat Talang Mamak, Dusun Simarantihan, Provinsi Jambi.
Perempuan Talang Mamak dan Alam
Masyarakat adat Talang Mamak memahami alam sebagai sumber kehidupan. Mereka menganggap bahwa alam tidak hanya menyediakan pangan bagi manusia, namun juga obat-obatan. Dalam sebuah percakapan saya dengan Bukhori, salah satu dukun kampung di Talang Mamak, banyak sekali tumbuhan yang dapat dimanfaatkan untuk kesehatan. Dia menggambarkan bahwa alam merupakan apotek raksasa bagi manusia.
Hubungan masyarakat adat Talang Mamak dan alam sebenarnya tidak hanya dibangun pada basis kepentingan kehidupan mereka. Bahwa hubungan manusia dan alam harus berotasi pada hubungan timbal balik. Fahmi, tokoh adat di masyarakat adat Talang Mamak menjelaskan jika alam telah memberikan kehidupan bagi manusia, maka manusia juga bertanggung jawab untuk menjaga alam tersebut. Masyarakat adat Talang Mamak juga memiliki gambaran bahwa manusia dan alam memang sebenarnya memiliki hubungan yang signifikan, terlebih lagi bagi perempuan.
Dalam hal ini perempuan dan alam dipahami sebagai dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Carolyn Merchant dalam The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (1980) menjelaskan bagaimana alam dianggap sebagai nurturing mother atau ibu yang mengasuh dan memberikan kehidupan. Ide tentang bumi sebagai ibu tumbuh dan dipahami dibanyak masyarakat. Dalam konteks Indonesia, sering didengar dengan adagium ibu pertiwi.
Dalam konteks masyarakat adat Talang Mamak, mereka percaya bahwa bumi adalah ibu yang selalu memberikan kehidupan. Bahwa bumi adalah ibu dan langit adalah bapak. Dari keduanya, maka akan lahir sebuah kehidupan.
Manifestasi ide perempuan dan alam di masyarakat adat Talang Mamak tidak hanya berhenti pada ide bumi sebagai ibu. Masyarakat adat Talang Mamak juga percaya bahwa padi yang ditanam juga merupakan manifestasi perempuan. Mereka percaya padi merupakan anak perempuan.
Hal ini yang membuat masyarakat Talang Mamak tidak melakukan transaksi jual beli untuk padi mereka. Mereka percaya padi adalah saudara manusia atau sodara nyawa. Padi diibaratkan saudara manusia yang dilahirkan oleh ibu bumi.
Baumah: Ide dan Praktik Ekofeminisme
Dalam tulisan saya di estungkara.id yang berjudul “baumah: Kedaulatan Pangan Ala Masyarakat Adat Talang Mamak” saya menjelaskan salah satu tradisi dan adat istiadat yang terus dilakukan oleh masyarakat adat Talang Mamak berkaitan dengan alam adalah baumah.
Praktik baumah merupakan praktik berladang untuk pemenuhan kebutuhan pangan bagi masyarakat Talang Mamak. Selain menanam padi, masyarakat Talang Mamak juga menanam sayur dan buah-buahan seperti labu, ubi, cabai, terung, durian, manggis, dan duku.
Masyarakat Talang Mamak melakukan baumah secara gotong royong, lintas gender, dan lintas generasi. Selama 3 bulan lebih saya tinggal bersama masyarakat adat Talang Mamak dan terlibat dalam aktivitas mereka khususnya dalam baumah.
Terlihat jelas, yang memainkan peran sentral dalam praktik baumah adalah perempuan. Catatan Elviza Diana di mongabay.id “Orang Talang Mamak, Bertahan Hidup di Hutan Tersisa” (2019) menjelaskan jika sebenarnya terdapat pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan Talang Mamak dan baumah. Laki-laki bertugas untuk membuka dan membersihkan lahan, dan perempuanlah yang akan merawat hingga memanen.
Bukhori, selaku tokoh adat menjelaskan, karena padi merupakan manifestasi anak perempuan maka yang berhak memanen padi untuk pertama kali adalah perempuan. Dalam berbagai kesempatan, hampir setiap orang Talang Mamak yang saya temui menjelaskan bahwa perempuan merupakan kunci dalam proses baumah.
Lina, salah satu perempuan Talang Mamak yang melakukan baumah, menjelaskan perempuan juga dilambangkan sebagai lambang kesuburan. Alasan itulah, peran perempuan dalam baumah sangat penting.
Selain itu, Bukhori juga menjelaskan jika peran perempuan dalam proses baumah sebenarnya tidak berhenti sampai pada panen saja. Perempuan juga mengambil peran dalam proses penggilingan padi menjadi beras atau betumbu.
Dari proses penggilingan padi, masyarakat adat Talang Mamak percaya akan ada banyak gangguan dari makhluk gaib mulai dari makhluk yang ada di dapur hingga yang ada di lesung. Pengetahuan untuk mengusir makhluk tersebut hanya dimiliki oleh perempuan Talang Mamak. Maka dari itu, perempuan adat Talang Mamak-lah yang akan mengawal padi hingga menjadi beras.
Praktik baumah secara ide memang memiliki nilai yang menunjukkan signifikansi perempuan. Saya sendiri melihat bagaimana praktik ini dapat menjadi daya tawar bagi perempuan Talang Mamak untuk bernegosiasi dengan laki-laki. Kontrol perempuan dalam praktik pemenuhan pangan dapat menempatkan perempuan pada relasi yang tidak hegemonis. Dalam hal ini, perempuan menjadi sosok yang menjaga keberlangsungan kehidupan keluarga maupun komunitas secara umum.
Namun terlepas dari hal tersebut, praktik baumah di masyarakat adat Talang Mamak sendiri sebenarnya mendapatkan tantangan seiring perkembangan zaman. Karena adanya praktik membakar dalam membuka lahan untuk baumah, praktik ini sering kali dianggap sebagai praktik yang merusak alam. Padahal dari penelusuran saya sendiri, karena sistem baumah sendiri dipraktikkan secara berpindah-pindah, bekas bukaan lahan sebenarnya dapat pulih dengan sendirinya karena setelah ditanami padi, masyarakat Talang Mamak akan menanam tanaman hutan untuk menandai lahan tersebut. Masyarakat Talang Mamak juga percaya jika dengan menggunakan konsep demikian, tanah dapat memiliki waktu untuk beregenerasi.
Tantangan juga datang dari masyarakat adat Talang Mamak yang bekerja di perusahaan. Mereka dilarang untuk membuka lahan untuk baumah karena dianggap sumber penghidupan mereka tidak lagi digantungkan pada praktik baumah. Tantangan tersebu
tlah yang akan membuat ruang bagi perempuan pada akhirnya hilang. Karena jika praktik baumah tidak dilakukan, maka perempuan akan kehilangan posisi tawarnya.
Kepungan perusahaan seperti sawit dan tanaman industri lainnya di sekitar wilayah Talang Mamak sebenarnya membuat masyarakat Talang Mamak digiring untuk semakin meninggalkan praktik baumah. Belum lagi kebijakan penyeragaman model produksi yang juga membuat masyarakat tercerabut dari model produksi yang mereka kuasai dan diwarisi secara turun-temurun. Masyarakat Talang Mamak pada akhirnya digiring untuk mengganti jalan sumber penghidupan mereka.
Banyak masyarakat yang melihat praktik baumah hanya kegiatan domestik yang tidak signifikan. Ini yang membuat stigma dan subordinasi semakin kuat di kelompok perempuan Talang Mamak. Peran perempuan adat dalam tradisi baumah, dilihat sebagai praktik yang biasa saja atau tidak memiliki arti. Pandangan seperti itu sebenarnya banyak tumbuh di masyarakat industri. Chandra Talpade Mohanty dalam Feminisme Tanpa Batas: Dekolonisasi Teori dan Praktik Solidaritas (2022) menjelaskan, sering kali di masyarakat industri, pekerjaan rumah tangga atau domestik dianggap pekerjaan waktu senggang.
Dari persoalan tersebut, saya ingin menekankan bahwa memahami praktik baumah tidak hanya sebatas pada persoalan kebutuhan fisiologis, namun lebih dari itu, praktik itu harus dipahami sebagai pemberian ruang bagi perempuan Talang Mamak. Baumah sebenarnya menjadi medium bagi perempuan Talang Mamak agar membangun sistem pangan yang berkelanjutan baik itu secara ekologis maupun sosiologis.
Pembukaan lahan sawit di sekitar wilayah Taman Nasional Bukit Tiga Puluh untuk kebutuhan industri, menjadi pun menjadi tantangan. Ini dikarenakan sistem bukaan lahan yang tidak berkelanjutan secara ekologis dan memaksa lahan untuk terus memproduksi kapital.
Tentu saya disini tidak bermaksud untuk meromantisasi “bumi adalah ibu” atau “padi adalah saudara perempuan” yang menunjukkan gambaran nature as female. Tentu lebih dari itu sebenarnya mendorong pengakuan hak kontrol dan pemanfaatan lahan bagi perempuan dan melihat praktik baumah sebagai medium pendampingan perempuan, keadilan gender, dan juga untuk kepentingan ekologi yang berkelanjutan.
*Artikel ini ditulis oleh: Miftha Khalil Muflih_Magang ESTUNGKARA_CRCS UGM