Daeng Ngasih, Menanam Harapan di Pekarangan Rumah

Daeng Ngasih, Perempuan Adat Desa Bonto Manurung, Kabupaten Maros, berusia 50 tahun, telah melalui perjalanan hidup yang penuh tantangan. Sejak kecil, dewasa, hingga menikah dan mempunyai anak, ia kerap kali menjalani aktivitas fisik yang berat. Namun, beberapa tahun terakhir, sejak kondisi kesehatan Daeng Ngasih mulai menurun, kemampuannya untuk melakukan rutinitas tidak seperti dahulu lagi. Meski demikian, semangatnya untuk aktif berkontribusi bagi keluarga dan komunitasnya di tengah tantangan yang dihadapi akibat krisis iklim tetap berkobar.

Daeng Ngasih rutin hadir dikegiatan pelatihan hortikultura atau penanaman sayuran di lahan pekarangan yang difasilitasi oleh SCF melalui program Estungkara dalam mendukung kedaulatan pangan yang menjadi salah satu ciri khas masyarakat adat. Pelatihan ini menjadi titik balik bagi Daeng Ngasih. Ia menjadi salah satu peserta pelatihan tersebut. Di sinilah ia belajar tentang teknik bercocok tanam yang efisien, serta pentingnya keragaman tanaman.

Pelatihan hortikultura bukan hanya memberikan pengetahuan, tetapi juga mengubah cara pandangnya terhadap potensi yang ada di sekitar rumahnya. Setelah pelatihan dan mendapatkan pendampingan, Daeng Ngasih mulai menanam beberapa bibit hasil dari pembagian setelah pelatihan seperti bibit terong, cabai, tomat, sawi, dan berbagai sayuran lainnya di pekarangan kecilnya.

“Sedikit demi sedikit, lahan yang sebelumnya hanya dimanfaatkan untuk tanaman jangka panjang, kini berkembang menjadi kebun sayur,” ujar Daeng Ngasih senang.

Daeng Ngasih merawat tanamannya dengan mempraktikkan teknik pelatihan yang ia peroleh. Setelah beberapa waktu, ia mulai menikmati hasil panen terong yang ia tanam. Ini bukan hanya soal menikmati sayuran segar, tetapi juga tentang rasa pencapaian yang membuatnya merasa lebih berdaya.

Ia senang karena mampu memanfaatkan media tanam sederhana yang ramah lingkungan. Hanya dengan menggunakan campuran tanah, sekam, dan kotoran hewan, serta pupuk organik cair dari sisa cucian air beras, Daeng Ngasih menunjukkan bahwa pertanian berkelanjutan tidak memerlukan biaya besar. Ia juga berusaha mengubah pemahaman perempuan lain yang masih percaya bahwa menanam sayuran hanya bisa dilakukan saat musim hujan.

“Lewat pelatihan ini, saya jadi paham bahwa banyak sayuran dapat tumbuh dengan air yang lebih sedikit, sehingga memudahkan kami para perempuan untuk mulai bertani tanpa harus menunggu musim,” ujar Daeng Ngasih.

Dengan berbagi bibit dan pengetahuan tentang cara menanam, Daeng Ngasih tidak hanya memberdayakan diri sendiri, tetapi juga komunitasnya. Ia mendorong dan menumbuhkan semangat kolektif di kalangan perempuan lainnya untuk memanfaatkan pekarangan mereka.

Dalam proses ini, Daeng Ngasih menjadi contoh nyata bahwa perempuan adat dapat mengambil peran penting dalam peningkatan ketahanan pangan dan pemberdayaan ekonomi keluarga.

Perubahan yang dialami Daeng Ngasih mencerminkan kekuatan perempuan dalam membentuk komunitas yang lebih mandiri. Dengan mengolah lahan pekarangan, Daeng Ngasih tidak hanya meningkatkan kesehatan keluarganya dengan sayuran segar, tetapi juga mengurangi ketergantungan pada pasar dalam menjaga kedaulatan pangan komunitasnya.

Kini, Daeng Ngasih tidak lagi membeli sayuran, hanya memenuhi kebutuhan lain seperti ikan, bawang, dan lain sebagainya selain sayuran. Dari segi ekonomi, ini memberikan dampak yang signifikan bagi ekonomi keluarganya.

Dalam menghadapi berbagai tantangan, ia tidak hanya menemukan cara untuk beradaptasi, tetapi juga membawa perubahan bagi orang-orang di sekitarnya. Melalui praktik baik ini, Daeng Ngasih menunjukkan bahwa perempuan, ketika diberikan pengetahuan dan dukungan, mampu mengubah keadaan tidak hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk komunitas yang lebih luas. Di tengah kesederhanaan hidupnya, ia telah menanam benih harapan dan inspirasi bagi banyak orang di desanya.

Ditulis oleh Dewi Utari, SCF Makassar

Penulis :

Ma'ruf Nurhalis