Cerita Masyarakat Adat Desa Marena Rebut Kembali Tanah Adat

Pada masa Orde Baru, Indonesia mengadopsi kebijakan ekonomi kapitalistik sebagai ideologi pembangunan. Sayangnya, kebijakan tersebut menimbulkan berbagai permasalahan di berbagai sektor, terutama dalam sektor pertanian, perkebunan, dan tanah adat. Desa Marena di Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah, menjadi saksi bisu konflik agraria panjang yang tumbuh akibat kebijakan tersebut.

Desa Marena, yang dihuni oleh masyarakat Suku To Kulawi, telah berabad-abad menggantungkan hidup pada tanah adat. Konflik ini berawal dari perubahan rezim kepemilikan tanah pada abad ke-19. Mengakibatkan penguasaan tanah bergeser dari masyarakat Suku To Kulawi ke tangan perusahaan daerah milik pemerintah. Pada tahun 1970-1975, Desa Marena menjadi bagian dari Proyek Rehabilitasi Lahan Kritis yang kemudian berubah menjadi perkebunan cengkeh.

Proses pembebasan tanah adat masyarakat tidak hanya tidak sesuai dengan prosedur, tetapi juga tidak transparan. Ukuran lahan yang diambil untuk proyek tidak selaras dengan data resmi. Juga, ada klaim tanah oleh pimpinan proyek yang tidak sesuai dengan ketentuan. Pembebasan tanah ini disertai intimidasi dan stigma terhadap mereka yang menolak menyerahkan lahan. Bahkan dengan tuduhan sebagai PKI, mengingat kejadian G30S/PKI yang masih menyelimuti tahun 1970.

Pada tahun 1981, pengelolaan perkebunan cengkeh & casia vera diserahkan kepada Perusahaan Daerah Sulawesi Tengah (PD-SULTENG) dengan status hak pengguna usahaan. Pada tahun yang sama, Departemen Kehutanan menetapkan sebagian wilayah sebagai Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) tanpa sosialisasi kepada masyarakat.

Masyarakat Suku To Kulawi di Desa Marena, yang hidupnya sangat tergantung pada pertanian, merasa kehilangan akses ke sumber daya (lahan) yang menjadi mata pencaharian utama mereka. Hak-hak dasar dalam pemilikan dan pengelolaan sumber daya alam diabaikan oleh negara. Tanah adat bagi mereka bukan hanya sebatas aset ekonomi, melainkan bagian integral dari identitas dan tradisi.

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa bumi dan kekayaan alam di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun, realitasnya menunjukkan ketimpangan kepemilikan lahan di wilayah-wilayah pertanian. Pendekatan timber management dalam pengelolaan hutan tidak memadai untuk mengakomodasi aspek sosial dan budaya dalam kehidupan masyarakat.

Konsep hegemoni, sebagaimana diungkapkan oleh Gramsci, tampak nyata dalam sengketa lahan Desa Marena. Ketidaksetaraan dalam kepemilikan lahan produktif menjadi struktur yang meresap dalam kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat. Tekanan kebutuhan akan tanah untuk bertahan hidup melebihi fondasi status quo.

Dengan bertambahnya jumlah penduduk, lahan pertanian dan fasilitas umum tidak mengalami peningkatan proporsional. Masyarakat Desa Marena menghadapi lahan yang semakin sempit, meningkatnya jumlah petani yang tidak memiliki lahan, dan lahan pemukiman yang terbatas. Semua ini merupakan akumulasi dari dominasi Perusahaan Daerah Sulawesi Tengah terhadap penguasaan tanah.

Meskipun demikian, masyarakat Desa Marena tidak menyerah begitu saja. Mereka mengembangkan strategi untuk merebut kembali kepemilikan lahan dari perusahaan daerah. Melalui negosiasi, mediasi, dan penyelesaian jalur hukum, mereka mencapai kesepakatan yang adil dengan pihak perusahaan dan akhirnya kembali merebut tanah mereka yang dahulu.

Keterlibatan pihak eksternal, seperti komunitas pecinta alam Awam Green, menjadi kunci keberhasilan. Sinergi antara masyarakat lokal dan pihak eksternal membuktikan bahwa ketika masyarakat bersatu, mereka dapat mengatasi kompleksitas tantangan yang dihadapi. Rekonstruksi kepemilikan lahan tidak hanya mengembalikan mata pencaharian, tetapi juga menciptakan dasar untuk perbaikan dan perkembangan di masa depan.

Dalam konteks ini, peran negara sangat penting untuk memastikan kesetaraan redistribusi lahan sebagai faktor produksi bagi para petani. Mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia harus menjadi fokus utama pemerintah. Tanpa itu, konflik agraria dan ketidaksetaraan dalam kepemilikan lahan akan terus merajalela, mengancam keberlanjutan hidup masyarakat.

*Artikel ini ditulis oleh: Sofia Rizki_Mahasiswa Magang Estungkara_FISIPOL UGM 2023

Penulis :

Yael Stefany