Bara, Manusia Pegunungan yang Beradat

Bara, kampung pegunungan yang dikenal dengan Dusun Bara. Dusun yang kelompok masyarakatnya berada di Desa Bonto Somba, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan dengan RT berjumlah tiga. Kisah sejarah kampung tersebut cukup menarik, karena dikisahkan oleh para tokoh adat saat berkesempatan berdiskusi di rumah adat Bugis, bahwa Bara adalah tanah yang diberikan oleh Kerajaan Goa dengan syarat luas wilayahnya seluas kulit kerbau yang dipotong tipis. Hasil potongan tersebut dibentangkan sambung menyambung menjadi bentuk bulat. Saat kedua ujungnya bertemu masa seluas itulah wilayah dusun tersebut dikisahkan pula bahwa dalam bahasa bugis Bara memiliki makna yaitu pagar dari kulit kerbau.

Dusun Bara merupakan masyarakat yang memiliki pemangku adat dengan komposisi garis keturunan dan tak akan terputus, mereka memiliki peran penting dalam upacara-upacara bersawah. Mulai dari musim tanam hingga musim pesta panen. Peran dan upacara tersebut dari nenek moyang mereka hingga sekarang masih tetap dilaksanakan. Pemangku Adat tersebut terdiri dari penyebutan sebagai berikut, Tao tua, Pinakki, Karaing, dan Mangalarrang.

Kemudian masyarakat mulai melembagakan struktural adat dengan orang berbeda pula. Sebagai syarat dalam pengakuan Masyarakat Hukum Adat, struktur lembaga adat mulai posisi ketua, sekretaris, bendahara sampai pada anggota telah dimiliki pada tahun 2022. Sehingga, struktural adat di Dusun Bara terdiri dari Pemangku Adat dan Lembaga Adat.

Menariknya, ikatan adat melekat kuat dengan bertani sawah yang telah turun temurun diajarkan leluhurnya. Hingga adat lahir karena pengelolaan tanah atau lahan untuk padi sawah.

Dusun bara, memiliki sekolah rakyat yang diinisiasi oleh pemuda desa dari RT satu (1) yang bernama Suryadi. Dirinya seorang pemuda kelahiran 1997, mulai membicarakan keresahannya dari tahun 2021. Keresahan itu lahir dari pengamatannya di dusunnya sendiri melihat anak-anak tidak diberikan haknya oleh Negara atas Hak Pendidikan. Pengakuan dari beliau bahwa perjuangan mereka dilakukan secara kolektif mulai dari peran Pemangku Adat, Kepala Dusun dan Pemerintah Desa yang menjadi teman seperjuangan atas inisiatif baik dari bung Suryadi.

Anak-anak di dusun yang telah putus sekolah dari tahun 2012 mulai kembali merasakan sekolah dengan sebutan “Sekolah Kolong” karena ruang belajarnya di bawah kolong rumah khas Makassar milik Suryadi. Perjuangan mereka masih panjang hingga masih bergerak dan tak kenal lelah untuk sambil mengajar anak-anak dusun, serta mengadvokasi agar peran pemerintah hadir dalam pemenuhan sarana dan prasarana sekolah. Sebab faktanya para siswa-siswi masyarakat adat sangat bersemangat sekolah dan hal itu terlihat dari niat mereka belajar, bermain dan bersosial di lingkungan sekolah kolong. Perjuangan pendidikan untuk anak-anak kemudian mendapat pengakuan dan akhirnya “Sekolah Kolong” menjadi anak cabang dari SDN 238 INPRES Bonto Parang di Desa Bonto Manurung pada tahun 2023 dengan bantuan advokasi Sulawesi Community Foundation (SCF).

Kemudian, masyarakat Dusun Bara yang mayoritas petani padi sawah dan jagung, ternyata juga bermata pencaharian sebagai pengumpul getah pinus untuk dijual. Sebagai lapisan masyarakat, perempuan telah memiliki peran dalam ekonomi masyarakat adat melalui Kelompok Wanita Tani dengan produksi unggulan, yaitu pengelolaan nira menjadi gula semut. Kerja sama diantara masyarakat sangat terasa kuat saat berkesempatan terlibat dengan mereka dalam kegiatan memproduksi gula semut tersebut, karena para bapak berperan mengambil air nira dari pohon aren dan para perempuan berkumpul bersama memasak nira menjadi gula dan menjadikannya produk gula semut. Kelompok Wanita Tani di dusun bara berjumlah 2 kelompok.

Dusun Bara sebagai masyarakat adat di pegunungan yang aksesnya begitu sulit untuk sampai ke pusat-pusat ekonomi, pemerintahan dan pendidikan nyatanya bersatu tidak kebetulan saja. Sebab persatuan adat Dusun Bara melahirkan sikap bahu membahu membangun kampungnya untuk merebut hak-haknya sebagai warga negara. Hingga akhirnya kehadiran SCF melalui program Estungkara dengan KEMITRAAN berperan dalam memperkuat dan mengokohkan perubahan di dusun.

Tidak hanya itu, tentu dusun-dusun yang berada di pegunungan Kabupaten Maros pastinya memiliki karakter dan perjuangan yang sama. Sehingga masyarakat adat sebagai bagian yang termarjinalkan tentu perjuangannya harus didukung dan diperkuat atas hak-haknya sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tabe

Penulis :

Bung Kris