“Apa yang kami lakukan ini menjadi suatu kekuatan ekonomi kerakyatan yang tidak hanya bergantung bekerja di sektor perusahaan atau tambang saja. Warga di Pulo Merah ini dapat berdaya di daerahnya sendiri bahkan bisa menciptakan lapangan pekerjaan sendiri.”
Begitulah yang disampaikan Suyitno, Pelaku Wisata di Pulo Merah, Kabupaten Banyuwangi saat membagikan pengalamannya di ‘ngobrol inklusif’ yang diadakan oleh KEMITRAAN Indonesia pada 10 Agustus 2023.
Suyitno kesehariaannya bekerja sebagai pengajar surfing. Beliau juga menyewakan papan surfing pribadi miliknya untuk disewakan kepada pengunjung wisatawan. Tidak hanya itu, dirinya juga menjadi penjaga pantai kalau-kalau ada wisatawan yang tenggelam saat berenang di pantai.
“Walaupun gaji pekerja wisata di Jawa ini sangat kecil, tapi saya gak memikirkan itu. Terpenting bagaimana saya berusaha membuat wisatawan itu bisa jalan-jalan dengan nyaman dan tenang selama di pantai,” tambah Suyitno.
Suyitno bercerita, selama dirinya bekerja sebagai pekerja wisata, ada banyak sekali orang-orang khususnya anak muda yang datang ke pantai untuk meminta solusi atau berbagi pengalaman tentang sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak. Biasanya, anak muda yang lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) maupun Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sering menghampiri Suyitno untuk meminta lapangan pekerjaan.
“Saya akhirnya mendorong mereka dan mengajari mereka untuk bisa berdaya sendiri dengan kemampuan dan bakat yang mereka miliki untuk bisa memperkuat ekonomi mereka. Kan, anak muda sekarang banyak yang sudah menggunakan sosial media, kenapa gak dari situ dikembangkan agar bisa menjadi income bagi mereka,” jelasnya.
Melihat kondisi tersebut, Suyitno akhirnya tidak hanya sekadar memberi saran, tapi dirinya menawarkan kepada anak-anak muda tersebut untuk belajar surfing dan menjadi relawan penjaga pantai secara gratis. Suyitno pun membuka kelas untuk anak-anak Sekolah Menengah Atas (SMA) yang ingin bekerja sambil sekolah.
“Agar tidak selalu mengharapkan pemerintah. Jadi kalau masyarakat ini ekonominya kuat yang jelas seperti kerusuhan dapat diperkecil. Kita juga kasih proposal ke sekolah agar anak-anak mereka dikirimkan ke tempat kami untuk belajar ekonomi kerakyatan.”
Suyitno juga sering mengajak diskusi mahasiswa jurusan pertanian yang sering datang berkunjung ke pantai untuk dapat membantu para petani dengan menciptakan produk pertanian agar hasil panen dan penjualan petani bagus.
“ada salah satu mahasiswa yang akhirnya menghasilkan produk dari buah naga dan bisa diekspor ke luar negeri. Ini menjadi salah satu motivasi untuk kami berkarya untuk negeri ini.”
Apa yang dilakukan Suyitno tidak lain agar anak-anak muda di daerahnya menjadi entrepreneur mandiri berbasis kerakyatan. Dirinya resah ketika anak-anak muda yang lulus dari bangku sekolah dan tidak mampu untuk kuliah harus menganggur di rumah dan tidak menghasilkan apa-apa.
Suyitno menuturkan hampir dari 200 lebih pedagang yang ada di Pulo Merah terlibat dalam pengelolaan wisata yang kami lakukan. Dengan bekerja sama dengan Perhutani, diwakilkan oleh PT Palawi, pemerintah Banyuwangi serta organisasi masyarakat, kini wisata Pulo Merah dapat mandiri secara pendapatan dan pengetahuan.
Dampak perekonomian pun semakin meningkat. Pedagang di sekitaran Pulo Merah kini berhasil menjual hasil pertanian mereka sampai ke tingkat kabupaten bahkan kecamatan. Contohnya seperti paguyuban pedagang asongan buah naga kini sudah mulai berinovasi menjual sirup buah naga, dodol buah naga bahkan keripik buah naga.
“Dan mereka masuk ke dalam pembinaan 1 bulan sekali. Jadi kami kumpulkan mereka dan mereka dikasih pendampingan agar mereka mampu inovatif,” jelas Suyitno.
Hasil pendapatan dari penyewaan jasa pun akan dibagi-bagi untuk mendukung operasional sekolah surfing dan relawan penjaga pantai. Sisanya akan dibagikan kepada anak-anak muda yang bekerja per harinya.
Suyitno dan teman-teman kelompok yang ada di Pulo Merah pun juga melakukan daur ulang sampah menjadi pupuk. Melihat keresahan para petani yang banyak tidak mendapatkan subsidi pupuk dan harus mengeluarkan uang yang lebih untuk membeli pupuk kimia. “Itu pun kadang stoknya habis cepat. Keseringan juga gak dapat.”
Para petani dihimbau untuk membawa sampah rumah tangga mereka ke tempat pengelolaan daur ulang sampah agar mereka bisa mendapatkan imbalan pupuk organik secara gratis. Tidak hanya berdaya mandiri, mereka juga bisa menjaga kebersihan dan kelestarian di sekitar pantai.
Berbeda dengan Suyitno yang fokus terhadap ekosistem wisata pantai, Teh Jarsih kini menjadi ketua kelompok gula semut bagi para penyadap di daerah Kasepuhan Cibarani. Awal mula dirinya mengikuti jejak orang tuanya yang juga seorang penyadap. Mulai belajar dari cara pengeringan, pembuatan, pencatatan dan distribusi, kini Teh Jarsih dipercaya untuk mengelola kelompok usaha tersebut.
“Sistem di kelompok itu, setiap penyadap yang menjual hasilnya dihargai dengan 23 ribu per kilonya. Nah nanti hasil penjualan itu dipotong sebanyak 3 ribu untuk disimpan dan menjadi tabungan bagi si penyadap,” jelas Teh Jarsih.
Dari tabungan itu nantinya dapat dipakai menjadi modal bagi si penyadap jika dalam keadaan kesusahan. Juga bisa dipakai untuk kebutuhan keluarga jika mengalami keterbatasan dalam pendapatan.
Teh Jarsih melihat, dengan adanya kelompok ini, dampak peningkatan perekonomian bagi masyarakat pun lebih manusiawi. Jika dulu mereka dibayar lebih rendah dari biasanya, dengan adanya kelompok ini bisa dibayar jauh lebih mahal. Bonusnya, mereka dapat mendapatkan uang dari hasil tabungan investasi kerakyatan tadi.
“Tapi untuk saat ini masih belum banyak penyadap yang mau berkomitmen untuk membuat gula semut itu. Ini karena alat yang dipakai masih manual sehingga butuh waktu dan tenaga yang banyak. Kami juga masih menjual produk di sekitaran daerah ini saja, belum keluar. Akses di sini jauh sekali kalau mau jual secara pengiriman,” jelas Teh Jarsih.
Apa yang dilakukan Suyitno dan Teh Jarsih di Pulo Merah dan Kasepuhan Cibarani, menjadi sebuah narasi tanding tentang kekuatan dan dampak ekonomi kerakyatan itu sendiri. Menurut Suyitno, dengan adanya pemberdayaan ekonomi kerakyatan ini, mengurangi standar mandiri masyarakat di Banyuwangi.
Mereka tidak lagi beranggapan bahwa bekerja harus lah di perusahaan maupun pertambangan. Apalagi hadirnya perusahaan dan pertambangan di daerah mereka, justru memecah kesatuan dari masyarakat itu sendiri. Belum lagi dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan.
“Kami mau hidup dengan tenang dan nyaman serta mandiri. Mau berdaya dengan ekonomi kerakyatan yang ada. Tidak ingin bergantung sama pemerintah dan lapangan pekerjaan yang justru menyulitkan,” tegas Suyitno.
Suyitno menegaskan kalau pemerintah memang ingin membantu masyarakat berdaya dengan hasil perekonomiannya, seharusnya pelatihan dan pemberdayaan dilakukan langsung di daerah. Sehingga yang mendapat kesempatan belajar pun merata.
“Saya sering kali melihat kalau pemerintah buat pelatihan itu di hotel. Nanti digantilah uang transportasinya. Tapi yang pergi ya itu-itu saja orangnya gadak yang ganti. Jadinya kan ada ketimpangan juga. Seharusnya pemerintah jemput bola, bukan bola yang dibawa ke stadion lain,” tutupnya.