Sinar senja memeluk perlahan Desa Moa, menggambarkan keindahan yang tersembunyi di antara pegunungan Sulawesi Tengah. Suasana asri dan bersih terasa sejak pertama kali kaki saya menginjak tanah ini. Meskipun langit agak redup waktu itu, namun pemandangan yang memukau hingga ke kejauhan tetap dapat dinikmati, ditemani hawa dingin yang menyejukkan jiwa. Desa yang terhampar di kecamatan Kulawi Selatan ini memang tak terlalu luas, hanya satu ruas jalan membentang.
Pertemuan saya dengan Mas Uchu, penduduk asli Moa, membuka jendela kehidupan desa ini. Dari anak-anak hingga dewasa, masa hidupnya dihabiskan di Moa. Setiap kunjungan dari luar, terutama yang dibawanya, membuatnya bangga. Begitu pula dengan seluruh warga Moa, yang setiap kedatangan sanak saudara langsung disambut penuh kehangatan, bahkan disediakan makanan dan minuman.
Ketika memasuki Desa Moa dari arah timur, sepupu Mas Uchu seakan menyambut kedatangan saya dengan ramah. Keterbukaan dan gotong royong menjadi keseharian mereka. Bahkan, sebuah kegiatan menanam padi ladang bersama menjadi momentum kebersamaan yang mengakar kuat dalam budaya desa ini. Salman, teman masa kecil Mas Uchu, memberitahu tentang kegiatan tersebut. Semua penduduk diajak bahu-membahu menanam di ladang milik keluarga Salman, menciptakan kebersamaan yang tak terhitung.
Desa Moa, terletak di ketinggian 700-1200 mdpl dengan luas 35 kmĀ², menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat sekitar. Akses menuju desa ini tidaklah mudah, hanya sepeda motor yang bisa melintasi jalan setapak di tepi jurang terjal. Namun, setiap upaya untuk sampai ke sini seolah menjadi cerita perjalanan yang penuh makna.
Pagi di Desa Moa diawali dengan cerita tentang rumah adat yang kini hanya kenangan. Struktur bangunan rumah yang dulunya megah kini berganti beton. Sayangnya, kebijakan sosial dan ekonomi negara membawa perubahan, memudarkan kearifan lokal desa. Padahal, rumah adat Moa dahulu memiliki pondasi yang kokoh, melawan gempa dengan kuat. Namun, kini, rumah tanpa beton dianggap sebagai simbol kemiskinan.
Sejarah perjalanan masyarakat Moa tercermin pula dalam cara mereka beraktivitas. Dari jalan kaki, mikul, berkuda, hingga sekarang, menggunakan sepeda motor sebagai sarana transportasi. Kehidupan di desa ini masih mempertahankan tradisi berjalan kaki untuk pergi ke ladang dan kebun, menghormati bumi tempat mereka hidup.
Menanam padi ladang bersama menjadi cerita lain di Desa Moa. Salman, dengan bahasa Kulawi Uma yang mungkin sulit dimengerti, menceritakan tentang kegiatan menanam yang melibatkan seluruh desa. Metode kearifan lokal yang turun-temurun, yaitu gilir balik atau ladang berotasi, tetap dipegang teguh oleh masyarakat. Mereka hanya menanam satu kali dalam setahun, menjaga keseimbangan alam dan menciptakan hasil pertanian organik tanpa bahan kimia.
Adapun proses gilir balik tersebut, di mana ladang hanya ditanami satu kali dalam setahun, setelah itu lahan bekas ladang tersebut dibiarkan menghutan kembali dalam kurun waktu 5-10 tahun. Kemudian, lahan tersebut akan kembali lagi dijadikan ladang padi. Namun, sebagian dari bekas areal ladang itu akan ditanami tanaman kopi atau dijadikan kebun kakao. Jadi, pada praktiknya, pola gilir balik itu dilakukan dengan merotasi lima sampai 10 areal lahan, tanpa harus melakukan perambahan hutan.
Sistem ladang berotasi ini menghasilkan komoditas bahan pangan seperti padi dan palawija serta sayur-sayuran organik secara alami. Semua tanaman pertanian pun terbebas dari bahan kimia baik itu pupuk insektisida bahkan pestisida. Pengetahuan kearifan lokal tersebut yang sampai sekarang ini masih dipegang teguh oleh masyarakat desa Moa.
Hasil dari padi ladang oleh masyarakat Moa, pun tidak diperjualbelikan. Masyarakat Moa akan menyimpan hasil padi di lumbung dalam bentuk gabah. Biasanya padi tersebut disimpan selama satu tahun. Ketika akan dikonsumsi baru, lah, gabah itu digiling menjadi padi. Dulunya proses gabah masih di tumbuk secara manual dengan menggunakan lesung. Tapi seiring dengan perkembangan, saat ini sudah menggunakan mesin penggilingan padi dengan kapasitas yang kecil.
Selain praktik gilir balik, ada juga lahan yang dimanfaatkan bernama pampa. Pampa oleh perempuan adat dimanfaatkan untuk berkebun sayur-sayuran seperti sawi, kacang-kacangan, jagung, cabai, dan bumbu dapur. Inilah yang membuat kita atau siapa pun yang datang ke desa Moa tidak perlu merasa takut untuk kekurangan makan. Pampa merupakan satu zonasi tradisional masyarakat adat Moa, di mana otoritas pengelolaan dan pemanfaatan menjadi milik kaum perempuan. Pampa dianggap sebagai dapur perempuan yang ada di desa Moa. Luas lahan yang tidak terlalu besar namun cukup menampung banyak jenis tanaman sebagai masakan sehari-hari.
Namun, seiring waktu, tantangan muncul dalam bentuk modernisasi. Rumah tanpa beton dianggap sebagai tanda kurang mampu, dan padi ladang yang ditanam dengan metode tradisional menjadi semakin langka. Pembangunan tower BTS, meski telah ada, belum beroperasi karena kasus korupsi. Akses internet yang sangat dibutuhkan di era digital ini menjadi impian yang belum terwujud.
Namun, masuknya internet juga membawa peluang baru. Desa Moa bisa lebih dikenal, hasil perkebunan dapat dijual melalui media sosial atau pasar online. Namun, bersamaan tantangan pun akan muncul. Bagaimana masyarakat Moa akan beradaptasi dengan teknologi ini? Apakah keberadaan internet akan memecah belah atau mempererat kebersamaan yang selama ini dijaga dengan erat?
Peluang dan tantangan ini masih menjadi pertanyaan besar. Namun, Mas Uchu dan masyarakat Desa Moa yakin bahwa nilai-nilai tradisional dan kekeluargaan mereka tidak akan hilang. Meskipun terbuka terhadap modernisasi, mereka tetap menjaga akar budaya yang kuat, seperti jalinan kebersamaan dalam menanam padi ladang bersama. Sebuah perjalanan mendalam ke Desa Moa, tempat di mana alam dan manusia, tradisi dan modernitas, bersatu dalam harmoni yang menginspirasi.
*Artikel ini ditulis oleh: Fiky Yudhistira_Mahasiswa Magang Estungkara_FISIPOL UGM 2023