16HAKTP: Ruang Aman Untuk Perempuan Berdaya Bebas Dari Kekerasan

Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP) dimulai pada 25 November hingga 10 Desember 2024. Serangkaian kegiatan diselenggarakan oleh organisasi dan komunitas demi menyuarakan kepada seluruh elemen masyarakat untuk memperkuat upaya perlindungan bagi korban kekerasan berbasis gender, memenuhi hak-hak mereka, dan bersama-sama mengakhiri kekerasan terhadap perempuan. Tahun ini tema yang diangkat adalah “Lindungi Semua, Penuhi Hak Korban, Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan”. Tema ini diangkat sebagai respons atas situasi darurat kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.

Dikutip dari siaran pers Komnas Perempuan, Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad menyatakan, “Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan mencatat jumlah pengaduan kasus Kekerasan terhadap Perempuan pada Tahun 2023 sebanyak 289.111, dimana 4.347 di antaranya merupakan pengaduan kasus ke Komnas Perempuan, sementara 3.303 kasus di antaranya merupakan kasus kekerasan berbasis gender. Dengan jumlah ini berarti rata-rata Komnas Perempuan menerima pengaduan sebanyak 16 kasus setiap hari.”

Data pengaduan kasus tersebut kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan sering terjadi di ranah personal/domestik, yaitu sebanyak 284.741 kasus (98.5%). Ruang domestik yang seharusnya menjadi tempat aman justru menjadi lokasi utama terjadinya kekerasan.

KEMITRAAN melalui program Estungkara menggelar diskusi publik dalam series Ngobrol Inklusif bertema “Membangun Ruang Aman Untuk Kelompok Marginal dan Etnis Minoritas”. Diskusi ini menghadirkan dua narasumber dari komunitas, yaitu Hermina Mawa, Perempuan Adat Rendu Kabupaten Nagekeo, dan Chen Fie, Satgas Pencegahan Kekerasan KWPS Lampion Merah dari Komunitas Cina Benteng Kabupaten Banten.

Kedua narasumber bercerita bagaimana konteks di masing-masing wilayah membangun ruang aman untuk melindungi perempuan dari praktik kekerasan. Chen Fie melalui Satgas Pencegahan Kekerasan di KWPS Lampion Merah dan dukungan PPSW Jakarta rutin menggelar diskusi kritis untuk meningkatkan pengetahuan perempuan dari etnis Cina Benteng terkait bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pencegahan praktik kekerasan hingga pelaporannya. Satgas yang sudah terbentuk sejak tahun 2023 telah menjadi ruang aman bagi perempuan etnis Cina Benteng yang juga mengalami kekerasan untuk mendapatkan perlindungan.

“Kami mulanya tidak tahu apa itu bentuk-bentuk kekerasan karena sudah berlangsung lama, jadi sering dianggap hal biasa. Ternyata kekerasan harus diputus. Kami melakukan pencegahan lewat series diskusi dan juga sosialisasi kepada warga dengan sejumlah atribut, seperti pembagian stiker edukasi, poster, dan roll banner yang ditempatkan di sejumlah titik agar warga bisa membaca,” cerita Chen Fie.

Sedikit berbeda dengan di wilayah Mama Mince, panggilan akrab Hermina Mawa. Desa Rendu Butowe merupakan desa yang terdampak proyek strategis nasional berupa pembangunan Waduk Mbay Lambo. Dampak dari pembangunan ini, sejumlah warga harus tergusur dari wilayah tempat tinggalnya, dengan penggantian kompensasi yang tidak sepenuhnya menutup kerugian, baik kerugian materi dan kerugian sosial. Mama Mince bersama kelompok mama mama di Desa Rendu membentuk wilayah pengorganisasian berbentuk kelompok ekonomi yang juga sebagai wadah perjuangan advokasi bersama.

“Kami bersama PEREMPUAN AMAN dibekali pelatihan seperti paralegal untuk bisa melakukan advokasi dalam memperjuangkan hak-hak kami, selain itu juga pengembangan inovasi tenun,” cerita Mama Mince.

Pemberdayaan ekonomi berupa tenun menjadi ruang aman bagi mama mama Desa Rendu Butowe di tengah konflik pembangunan waduk. Menenun sudah menjadi bagian dari tradisi kehidupan masyarakat adat di Rendu Butowe. Meski demikian, Mama Mince bercerita bahwa menenun yang dilakukan saat ini masih perlu dilakukan inovasi lebih lanjut, baik produk tenun ini nanti bisa menjadi tas atau topi, sehingga lebih mudah dijual ke pasar dengan harga yang lebih terjangkau.

Kampanye 16HAKTP menjadi salah satu momentum penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat dengan melibatkan generasi muda, tokoh masyarakat, dan organisasi non-pemerintah, juga mendorong kolaborasi multi-sektoral, baik di tingkat nasional maupun daerah. Meski demikian, penting juga untuk memperkuat perempuan secara pengetahuan dan juga kapasitas ekonomi sebagai benteng melindungi diri sendiri terhadap praktik kekerasan di lingkungannya. Satgas kekerasan di perempuan etnis Cina Benteng dan kelompok ekonomi tenun di masyarakat adat Rendu merupakan bentuk ruang aman yang sudah terbentuk saat ini.

Ruang aman dalam hal ini tidak hanya diartikan sebatas ruang fisik, namun secara filosofis dapat berupa aturan perundangan, hukum dan aturan adat, ruang partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan, termasuk perencanaan program perlindungan perempuan dari kekerasan. Kampanye 16HAKTP diharapkan dapat mendorong tersedianya ruang aman yang dapat memberikan dukungan untuk pemenuhan hak perempuan korban kekerasan, seperti rumah aman, pendampingan hukum, dan pendampingan psikologis.

Penulis :

Melya Findi Astuti