YBBI Adakan FGD Aksi Koalisi

Kalimantan Tengah telah menjadi saksi sejumlah kejadian Kebakaran Hutan dan Lahan (KARHUTLA) yang menghantam wilayahnya berulang kali. Termasuk pada tahun 1997-1998, 2015, 2019, dan yang terakhir pada 2023. Dampak dari KARHUTLA tidak hanya merusak lingkungan dan biofisik lahan, tetapi juga mengakibatkan kemerosotan sosial ekonomi masyarakat.

Upaya pencegahan telah diinisiasi melalui berbagai instrumen hukum. Seperti, undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Daerah, termasuk PERDA Nomor 5 tahun 2003. Yang kemudian direvisi menjadi PERDA Nomor 1 tahun 2020 tentang pengendalian KARHUTLA.

Namun, bagi Masyarakat Hukum Adat (MHA) Dayak Ngaju, terutama di wilayah gambut, kebijakan ini memiliki dua sisi yang kontradiktif. Di satu sisi, peraturan tersebut menjadi landasan hukum untuk menjalankan proyek konservasi hutan serta memberlakukan sanksi terhadap pembakar hutan. Namun, di sisi lain, kebijakan ini juga mempengaruhi budaya berladang yang merupakan bagian integral dari identitas masyarakat. Tradisi berladang bukan sekadar mencari pangan, melainkan juga menyiratkan keberlanjutan budaya dan ekonomi keluarga Dayak Ngaju.

Menurut hasil kajian dari Diskusi Kampung tahun 2023, masyarakat Dayak Ngaju secara historis tidak berladang di wilayah gambut. Akan tetapi lebih cenderung berladang di pematang atau tanah gambut yang sudah matang. Berladang dengan skala 2 hektar dapat menghasilkan 100 gabah padi, mencukupi kebutuhan pangan keluarga 4-5 orang selama tiga tahun. Serta menjadi sumber pendapatan yang mampu meringankan biaya pendidikan anak-anak.

Namun, sejak diberlakukannya PERDA, aktivitas berladang di wilayah gambut telah terhenti. Hal ini berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat. Seperti, hilangnya mata pencaharian, kerentanan pangan, tergerusnya budaya lokal, dan ketergantungan terhadap bantuan pemerintah (Diskusi Kampung 2023). Program-program ketahanan pangan yang diperkenalkan pemerintah untuk mengatasi kerentanan ini ternyata belum berhasil optimal.

Hasil kajian Yayasan Betang Borneo Indonesia (YBBI) pada tahun 2023 menunjukkan bahwa program-program tersebut tidak berjalan secara partisipasi. Tidak cocok dengan kondisi biofisik lahan, dan tidak mempertimbangkan aspek budaya masyarakat Hukum Adat Dayak Ngaju dalam pengelolaan lahan, terutama di wilayah gambut.

Perlindungan dan pemeliharaan Hak Hidup Masyarakat Hukum Adat Dayak Ngaju dengan mempertimbangkan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan tercermin dalam implementasi PERDA Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Pulang Pisau. Namun, keberlanjutan ekosistem hanya dapat dicapai jika pengelolaan lahan mampu mengakomodasi kepentingan ekonomi dan ekologi secara seimbang. Khususnya dalam konteks lahan gambut yang kritis.

Menghadapi tantangan ini, langkah kolaboratif menjadi krusial. YBBI, melalui program ESTUNGKARA-Kemitraan, telah memimpin upaya untuk memperkuat sistem ketahanan pangan bagi Masyarakat Hukum Adat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah secara umum dan Kabupaten Pulang Pisau secara khusus. Focus Group Discussion (FGD) yang melibatkan koalisi dari berbagai pihak seperti organisasi masyarakat sipil (CSO), perguruan tinggi, dan kelompok perempuan dari wilayah dampingan YBBI, menjadi wadah evaluasi dan penyusunan solusi konkret terhadap kerentanan pangan yang dihadapi oleh masyarakat adat Dayak Ngaju.

Dengan pendekatan ini, diharapkan kebijakan dan program yang diimplementasikan mampu menghormati dan mempertimbangkan nilai-nilai budaya lokal. Serta kearifan masyarakat adat dalam upaya mencapai kedaulatan pangan yang berkelanjutan di Kalimantan Tengah.

Langkah-langkah ini perlu didukung dengan komitmen penuh dari berbagai pihak untuk menciptakan kebijakan yang inklusif dan berkelanjutan. Mengingat pentingnya harmoni antara manusia, ekosistem, dan budaya dalam mengelola sumber daya alam.

Penulis :

YBBI