Maret hingga Juni, kegiatan Sekolah Lapang yang diinisiasi oleh program Estungkara & SCF di Kabupaten Maros telah menunjukkan hasil yang mengesankan. Kegiatan ini tidak hanya memberikan pengetahuan baru kepada para petani. Tetapi juga merangkul kearifan lokal dan praktik tradisional yang telah ada. Inisiatif ini melibatkan masyarakat adat di Desa Bonto Manurung dan Desa Bonto Somba. Dengan fokus utama pada transisi dari penggunaan bahan kimia ke bahan organik dalam penanaman jagung komposit.
Pada bulan Maret, proses identifikasi calon peserta dimulai dengan kriteria yang jelas: petani yang inovatif, konsisten, dan inklusif. Kriteria ini bertujuan untuk menciptakan suasana belajar yang inklusif dan berkelanjutan. Serta menjawab tantangan perubahan kebiasaan dari penggunaan bahan kimiawi ke bahan organik melalui sistem agrosilvopastura. Setelah proses identifikasi, terpilihlah dua puluh petani dari Desa Bonto Somba dan dua puluh petani dari Desa Bonto Manurung yang siap mengikuti kegiatan sekolah lapang.
Sistem agrosilvopastura, menurut B Huber (2020), merupakan integrasi antara praktik pertanian (agro), kehutanan (silvo), dan peternakan (pastura). Di Desa Bonto Manurung dan Desa Bonto Somba, sistem ini diterapkan dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan dan kesejahteraan petani. Berikut adalah tiga kisah inspiratif dari peserta Sekolah Lapang yang menunjukkan penerapan sistem ini.
Pak Maman, atau Dg Sore, adalah seorang petani berusia 50 tahun yang hanya mengenyam pendidikan dasar. Setelah merantau selama 10 tahun, ia kembali ke Desa Bonto Manurung untuk mengolah lahannya. Lahan Pak Maman terdiri dari sawah, kebun kacang tanah, merica, dan coklat. Ia juga memiliki 12 ekor sapi yang digembalakan di lahan khusus yang ditanami rumput gajah.
Pak Maman merupakan salah satu petani yang sangat antusias mengikuti Sekolah Lapang. Meskipun awalnya asing dengan istilah agrosilvopastura, ia penasaran dan bersemangat untuk mempelajarinya. Selama mengikuti Sekolah Lapang, Pak Maman mulai mengandalkan beberapa sapi dan memanfaatkan kotoran sapi untuk membuat pupuk organik. Tujuannya mengurangi ketergantungannya pada pupuk kimia.
Keluarga Daeng Ali mengalami kerugian besar dari panen jagung pada bulan April. Tanah lahan mereka yang seluas dua hektar sudah kehilangan kesuburan karena penggunaan pupuk kimia dalam jangka panjang. Harga jual jagung yang fluktuatif juga memperparah kerugian mereka.
Belajar dari pengalaman pahit ini, Iwan, anak bungsu Daeng Ali, mulai mengandalkan sapi mereka dan menggunakan rumput gajah sebagai pakan ternak. Ia juga berinisiatif membuat pupuk organik dari bahan-bahan lokal. Ibu Ina, anak pertama Daeng Ali, turut berpartisipasi dengan menanam sayur-mayur yang digunakan untuk membuat pestisida nabati. Sekolah Lapang memberikan harapan baru bagi keluarga Daeng Ali untuk menjadi lebih mandiri dalam mengelola lahan mereka.
Lima petani dari Dusun Bara, Desa Bonto Somba, turut serta dalam Sekolah Lapang meskipun akses ke dusun mereka sangat sulit. Dusun Bara terkenal dengan gula merah berkualitas tinggi yang disadap dari pohon aren. Para petani dari Dusun Bara berkontribusi dengan menyediakan gula merah untuk membuat pupuk organik berbasis MOL (Mikro Organisme Lokal). Gula merah membantu proses dekomposisi bahan-bahan organik, meningkatkan kualitas pupuk yang digunakan oleh para petani.
Sekolah Lapang di Kabupaten Maros bukan hanya tentang transfer pengetahuan, tetapi juga tentang menghidupkan kembali praktik-praktik pertanian yang berkelanjutan dan inklusif. Sistem agrosilvopastura telah terbukti efektif dalam meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani. Program ini juga membuktikan bahwa kolaborasi antara pengetahuan modern dan kearifan lokal dapat menciptakan solusi yang inovatif dan berkelanjutan.
Melalui cerita-cerita inspiratif dari Pak Maman, keluarga Daeng Ali, dan petani dari Dusun Bara, kita melihat bagaimana semangat belajar dan kolaborasi dapat membawa perubahan positif. Sekolah Lapang dan program Estungkara & SCF telah memberikan harapan baru bagi para petani di Kabupaten Maros. Membantu mereka menjadi lebih mandiri dan berdaya saing dalam mengelola lahan pertanian mereka.
Sekolah Lapang di Kabupaten Maros adalah contoh nyata bagaimana program inklusif dan berkelanjutan dapat membawa perubahan positif dalam kehidupan masyarakat. Dengan menggabungkan pengetahuan modern dan kearifan lokal, para petani tidak hanya belajar tentang teknik baru tetapi juga bagaimana menjaga dan memanfaatkan sumber daya alam dengan lebih baik. Kisah-kisah dari peserta Sekolah Lapang memberikan inspirasi dan harapan bahwa pertanian berkelanjutan bukan hanya mungkin tetapi juga dapat dicapai dengan kerja keras dan kolaborasi.