Sri Bungo dan Perjuangan Pertahankan Pangan Lokal SAD

Berkali-kali Sri Bungo meniup tumpukan ranting yang ia bakar sejak pagi, menjaga agar api tetap menyala di perapian yang ia buat di bawah sudungnya. Sudung-sudung dari terpal hitam yang ia dan rekan-rekannya buat cukup meneduhkan setiap orang yang duduk di dalamnya. Pagi itu, Sri Bungo bersama perempuan-perempuan dari Komunitas Suku Anak Dalam (SAD) Desa Dwi Karya Bakti disibukkan dengan persiapan Ajang Kreasi Makanan. Kegiatan ini melibatkan kelompok Perempuan PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga) Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo, dan mereka memilih area perkebunan sawit dekat pemukiman sebagai lokasi kegiatan.

“Biarlah terasa, Kak, memasak di alamnya, seperti orang tua kami dulu,” tutur Sri Bungo. Perempuan berusia dua puluh satu tahun ini adalah salah satu kader perempuan dari komunitas adat dampingan Pundi Sumatra. Sejak pagi, Sri Bungo sudah siap dengan gadung yang akan diolah menjadi nasi rimba. Meski dikenal beracun, gadung yang diolah Sri Bungo adalah pangan lokal yang sejak dulu telah dikonsumsi oleh Suku Anak Dalam.

“Kalau sekarang mencari gadung agak jauh masuk ke dalam,” cerita Sri Bungo sambil memarut gadung. Perempuan beranak satu ini gemar memasak sejak kecil. Dari neneknya, Sri Bungo mengetahui bahwa gadung mengandung racun sehingga harus diolah dengan benar. “Pembuatannya lama, Kak, bisa seminggu. Tiga hari direndam di darat dan sehari di sungai,” ujarnya. Sri Bungo menjelaskan bahwa racun pada gadung akan hilang dengan cara dicuci bersih berkali-kali. Setelah itu, gadung dijemur hingga kering, kemudian ditumbuk hingga menjadi tepung. Tepung tersebut direndam lagi untuk menghilangkan sisa racun, lalu dikeringkan sekali lagi sebelum akhirnya dimasak menjadi nasi rimba.

Asap dari sudung Sri Bungo semakin tinggi, tanda bahwa nasi rimba yang ia buat akan segera matang dan siap disantap. Selain Sri Bungo, ada Diding yang mengolah sagu menjadi bubur. Rata-rata umbi-umbian yang mereka dapat dari hutan diolah dengan cara direbus atau dicampur dengan air menjadi bubur. Meski terlihat sederhana, keduanya merupakan sumber pangan lokal yang sejak dulu sampai saat ini masih mereka konsumsi.

Diding bercerita bahwa pangan lokal ini mulai ditinggalkan karena proses pengolahannya yang lama. Semenjak tinggal bermukim pada tahun 2014, ia dan keluarganya mulai mengenal makanan instan dan perlahan meninggalkan jenis makanan yang direbus. “Mengolah ini lama, jadi kami jarang mau membuatnya, paling seminggu sekali kalau ke hutan dan ketemu gadung atau bahan lainnya baru kami olah,” tuturnya. Ia juga menyampaikan bahwa selama mengkonsumsi nasi rimba, tidak ada anggota keluarga yang mengalami sakit, berbeda dengan sekarang yang sering membuat anak-anak mereka terkena masalah pencernaan karena makanan instan.

Pengetahuan terhadap pangan lokal membuat komunitas Suku Anak Dalam mampu bertahan hidup tanpa mengkonsumsi beras. Namun, mereka mulai menghadapi krisis pangan lokal akibat alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan. Sumber pangan dari hutan mulai sulit dicari sehingga mereka mulai mengenal makanan instan.

Sri Bungo dan perempuan dari komunitasnya sepakat bahwa pangan lokal yang mereka miliki lebih sehat dibandingkan dengan makanan masyarakat pada umumnya. Meski sadar akan hal itu, mereka tak bisa berbuat banyak dari transisi pangan tersebut. Permasalahan ini telah coba diatasi oleh Pundi Sumatra melalui program ESTUNGKARA sejak tahun 2022. Para perempuan dari komunitas Suku Anak Dalam menjadi kelompok perubahan untuk menjaga tradisi pangan lokal mereka. Kegiatan yang dikemas dalam kampanye pangan lokal ini bertujuan melestarikan kembali serta memperkenalkan sumber-sumber pangan dari hutan yang biasa dikonsumsi oleh komunitas Suku Anak Dalam.

“Nasi rimba ini membuat kenyang, tapi mengolahnya lama,” tutur Sri Bungo. Di tengah gempuran makanan instan dan modern, beberapa perempuan dari komunitas Suku Anak Dalam adalah penjaga warisan kuliner yang tak ternilai harganya. Melalui upaya inklusi tersebut, harapan untuk melestarikan dan menghidupkan kembali kearifan lokal ini tetap menyala, seperti api di perapian Sri Bungo yang terus berkobar, menghangatkan, dan menghidupkan semangat komunitasnya. Mari bersama-sama mendukung dan menghargai keberagaman pangan lokal yang kaya akan cerita dan nilai budaya.

Penulis :

PUNDI SUMATRA