Seri diskusi pendidikan kritis untuk perempuan Cina Benteng telah mencapai sesi keenam. Kali ini mengangkat tema “Hak Penyandang Disabilitas dan Upaya Memenuhi Hak Penyandang Disabilitas.” Kegiatan ini berlangsung pada Rabu, 12 Juni 2024, dan dihadiri oleh 20 perempuan pengurus dan kader KWPS Lampion Merah Abadi. Diskusi ini difasilitasi oleh Bapak Yusti Ekoputro dan Ibu Octa Famelia dari PPSW Jakarta. Diskusi ini pun dilakukan dikediaman Ketua RW 01, Bapak Cuan Hoy, di Desa Belimbing.
Tidak hanya menjadi ajang bertukar pikiran, tetapi juga merupakan upaya untuk membangun kesadaran kolektif di antara para perempuan Cina Benteng. Terutama mengenai pentingnya pemahaman tentang hak-hak penyandang disabilitas. Sebagai kelompok yang sering kali terpinggirkan, perempuan penyandang disabilitas membutuhkan dukungan yang lebih luas dari masyarakat untuk mendapatkan hak-hak mereka.
Para fasilitator memulai dengan memperkenalkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 yang berisi pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities. Undang-undang ini menegaskan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dengan masyarakat lainnya. Termasuk hak atas kesetaraan, non-diskriminasi, aksesibilitas, dan hak untuk hidup dengan aman dan nyaman tanpa ancaman kekerasan atau eksploitasi.
Para peserta diskusi diajak untuk menggali lebih dalam mengenai bagaimana hak-hak ini dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui permainan interaktif seperti “Lempar dan Kupas Jeruk,” peserta berbagi pengalaman pribadi tentang kebahagiaan. Kemudian dikaitkan dengan pentingnya menciptakan lingkungan yang inklusif dan mendukung untuk semua orang, termasuk penyandang disabilitas.
Walaupun hak-hak penyandang disabilitas telah diakui secara hukum, penerapannya di lapangan masih menemui banyak kendala. Salah satu tantangan terbesar adalah stigma dan diskriminasi yang masih kuat di masyarakat. Banyak penyandang disabilitas yang masih mengalami penelantaran, kekerasan, dan tidak mendapatkan akses yang layak terhadap pendidikan, pekerjaan, dan fasilitas umum. Dalam kelompok diskusi, para peserta memetakan kebutuhan dasar dan hak-hak perempuan penyandang disabilitas. Kemudian menyusun rencana aksi untuk memastikan bahwa hak-hak ini dipenuhi.
Kelompok pertama, misalnya, menekankan pentingnya pelayanan yang setara dan bebas dari diskriminasi. Sementara kelompok kedua menyoroti kebutuhan akan akses pendidikan dan partisipasi dalam kegiatan sosial. Kelompok ketiga menegaskan pentingnya hak untuk mengutarakan pendapat dan memiliki akses yang sama terhadap transportasi umum.
Selain membahas hak-hak dasar, diskusi ini juga menyoroti pentingnya partisipasi politik perempuan, khususnya perempuan penyandang disabilitas. Perempuan Cina Benteng diharapkan dapat menjadi agen perubahan di komunitas mereka, mendorong kebijakan yang sensitif gender dan inklusif. Diskusi ini menekankan bahwa partisipasi politik yang inklusif bukan hanya tentang kehadiran perempuan dalam proses politik. Tetapi juga memastikan bahwa suara mereka didengar dan dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.
Seri diskusi ini menjadi langkah penting dalam membangun kesadaran dan memperkuat kapasitas perempuan Cina Benteng untuk memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas. Dengan mengidentifikasi kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, diharapkan para peserta dapat menerapkan pengetahuan ini dalam kehidupan sehari-hari. Juga, terus mendorong terciptanya masyarakat yang lebih inklusif.
Pemerintah, melalui berbagai kebijakan dan program, sudah menunjukkan komitmennya dalam melindungi hak-hak penyandang disabilitas. Namun, partisipasi aktif dari masyarakat, khususnya perempuan, sangat penting untuk memastikan bahwa hak-hak ini tidak hanya ada di atas kertas. Tetapi juga terwujud dalam realitas. Diskusi ini, dengan segala interaksi dan pembelajaran yang terjadi, merupakan contoh nyata dari upaya kolektif menuju kesetaraan dan keadilan bagi semua anggota masyarakat tanpa terkecuali.