Pelatihan pengolahan gula semut di dusun Tanete Bulu. Kami, tim fasilitator desa bersama narasumber pelatihan bermalam di rumah ketua Kelompok Wanita Tani yang dinaungi pemandangan alam maha indah, terletak di kampung Tanete Bulu.
Untuk menuju ke sana, kami melewati jalan yang ekstrem; via dusun Bara ke dusun Tanete Bulu. (Saya menangis karena motor saya juga menangis). Kami naik motor bebek. dua motor. Dan, pada salah satu tanjakan terjal, kami seperti sedang naik motor kodok. Betul-betul dibikin merangkak. Tapi memang begitu, dari satu dusun dampingan ke dusun dampingan lainnya, selalu akses jalan yang mendominasi pembicaraan kami setelah sampai di lokasi.
Karena tenaga yang terkuras habis di perjalanan, acara pelatihan baru bisa berlangsung keesokan harinya. Kami tertidur pulas setelah makan malam.
Keesokan harinya, acara pelatihan pengolahan gula semut sudah dimulai pada pukul 10 pagi. Para Ibu, anggota KWT berkumpul di bawah pohon yang tidak jauh dari rumah warga pemasak gula. Padahal, awalnya kami agak ragu, bahwa pelatihan akan berlangsung sepi, karena kami datang terlambat.
Setelah semua ibu berkumpul, kami jalan bersama-sama menuju lokasi pelatihan. Di bawah tenda dan pohon-pohon yang menjulang tinggi, para ibu duduk dan bergiliran memasak Nira pada salah satu dapur pemasakan gula.
Sambil menunggu air Nira mendidih, kami berdiskusi perihal gula semut; cara pengolahan, air nira berkualitas, musim yang paling cocok memproduksi gula semut, hingga proses pemasaran gula semut.
Para Ibu antusias dengan penjelasan narasumber dan penasaran dengan hasil dari gula semut, sebab proses pelatihan itu adalah pengalaman pertama mereka. Selama ini, para anggota KWT, mengolah air nira hanya untuk menjadi gula batok.
Sayang sekali, praktik pengolahan gula semut mengalami kegagalan, karena lagi-lagi, faktor air nira yang digunakan sudah tua dan sudah mengalami proses fermentasi. Namun, sama seperti semangat para anggota KWT di dusun Cindakko, para Ibu di dusun Tanete Bulu juga tidak mau menyerah. Mereka lalu bersepakat berpindah ke dapur pemasak gula merah milik warga lainnya di tengah hutan yang berjarak sekitar 500 meter dari lokasi pertama.
Di sana, para ibu, seperti membajak wajan pembuat gula semut yang saat itu memang tidak berada di tempat, dan memindahkan setengah air nira dari wajan ke ember kosong. Setengah sisanya diharapkan dapat mudah mendidih dan menjadi gula semut.
Sambil menunggu air nira mendidih, ada proses perbincangan lepas tentang gula semut, dan mengapa para Ibu harus memproduksi gula semut. Para ibu sangat antusias menunggu air nira mendidih dan sangat penasaran dengan hasilnya. Setelah menunggu berjam-jam, air mendidih, dan wajan diturunkan dari balombong. Sambil mengaduk, para Ibu mulai percaya diri, karena air Nira yang mereka tunggu-tunggu mulai mengkristal. Para Ibu semakin semangat, mengaduk dengan wajah kagum, dan akhirnya mereka menghasilkan gula semut.