Pagi itu, kabut tipis menyelimuti Kampung Pasir Eurih, sebuah pemukiman adat yang berada di kaki Gunung Bongkok, Kabupaten Lebak, Banten. Kampung ini adalah bagian dari Kasepuhan, komunitas masyarakat adat yang hidup selaras dengan alam dan mempertahankan tradisi leluhur mereka. Wilayah Kasepuhan Pasir Eurih ini didominasi oleh pegunungan yang kaya dengan keanekaragaman hayati. Hal ini yang menjadikan bagian tak terpisahkan dari ekosistem Halimun Salak. Hutan adat ini bukan hanya penopang ekologi, tetapi juga sumber kehidupan, budaya, dan spiritualitas bagi masyarakat.
Pagi itu, suasana dingin membuat kami enggan beranjak dari tempat istirahat. Namun, sebuah bunyi ritmis yang terdengar dari kejauhan—“trang treng trong… trang treng trong…”—membangkitkan rasa penasaran kami. Sekitar 200 meter dari tempat kami menginap, kami menemukan sekelompok perempuan, lebih dari 20 orang, berkumpul di sebuah saung (gubuk tradisional) dengan semangat yang tinggi. Mereka sedang melakukan rempugan. Sebuah tradisi menumbuk padi secara bersama-sama yang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Kasepuhan Pasir Eurih selama bertahun-tahun.
Rempugan, dalam bahasa Sunda, berarti kerja bersama atau gotong royong. Di Kasepuhan, tradisi ini lebih dari sekadar kegiatan fisik. Ia melambangkan kebersamaan dan kekuatan sosial perempuan dalam menjaga dan melestarikan budaya lokal. Aktivitas menumbuk padi ini dilakukan di Saung Lisung, sebuah bangunan adat yang secara khusus digunakan untuk mengolah padi menjadi beras dengan alat tradisional berupa alu dan lesung.
Pada pagi itu, sebanyak 20 pocong (ikat) padi ditumbuk oleh para perempuan. Satu pocong padi dapat menghasilkan 3 hingga 4 liter beras. Sehingga dalam waktu 3 hingga 4 jam, mereka berhasil mengumpulkan sekitar 60 hingga 80 liter beras. Beras yang dihasilkan bukan sekadar bahan pangan sehari-hari, melainkan digunakan dalam berbagai ritual adat yang sangat sakral.
Rempugan bukanlah sebuah ritual dalam dirinya. Tetapi proses penting dalam menyiapkan bahan makanan yang digunakan untuk mendukung Rukun Tujuh, yaitu tujuh tahapan bertani secara tradisional berdasarkan ajaran leluhur. Tahapan tersebut dimulai dari Asup Leuweung (membuka lahan di hutan) hingga Seren Taun (upacara syukur atas hasil panen). Setiap makanan yang disajikan dalam ritual ini, seperti nasi, kue, dan hidangan lainnya, harus dibuat dari Pare Gede, varietas padi lokal yang hanya tumbuh di wilayah Kasepuhan.
Namun, yang membuat tradisi ini semakin istimewa adalah aturan adat bahwa hanya perempuan yang boleh melakukan penumbukan padi. Keputusan ini bukan tanpa alasan. Dalam perspektif masyarakat adat, perempuan dianggap memiliki hubungan kuat dengan siklus kehidupan dan kesuburan. Penumbukan padi dengan tangan, tanpa menggunakan mesin, melambangkan penghormatan terhadap leluhur dan alam.
Perempuan di Kasepuhan tidak hanya menjalankan peran tradisional sebagai pengolah pangan. Tetapi juga sebagai penjaga harmoni antara manusia, alam, dan spiritualitas. Bagi mereka, menumbuk padi secara manual bukan hanya tugas fisik, melainkan sebuah proses spiritual yang menghubungkan mereka dengan leluhur dan alam. Setiap hentakan alu di lesung membawa makna simbolis tentang kesuburan, kehidupan, dan keseimbangan.
Lebih dari itu, keterlibatan perempuan dalam tradisi Rempugan memperlihatkan betapa inklusifnya budaya di Kasepuhan. Perempuan dari berbagai usia dan latar belakang berkumpul bersama, saling mendukung, dan memperkuat ikatan sosial di antara mereka. Tidak ada perbedaan status sosial dalam tradisi ini—semua perempuan memiliki peran penting dan dihargai. Tradisi ini menjadi ruang bagi mereka untuk belajar, berbagi, dan memperkuat solidaritas perempuan dalam komunitas.
Dalam banyak budaya agraria, perempuan sering dipandang sebagai penjaga bumi dan kehidupan, yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidup melalui pengolahan hasil bumi. Di Kasepuhan, perempuan memainkan peran sentral dalam proses pertanian. Keterlibatan mereka dalam tradisi Rempugan mempertegas status mereka sebagai pemegang kunci keberlanjutan budaya.
Meskipun Kasepuhan Pasir Eurih terletak jauh dari pusat-pusat urbanisasi, mereka tetap merasakan dampak modernisasi. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah mempertahankan tradisi di tengah arus perubahan. Mesin-mesin penggiling padi kini tersedia, namun masyarakat adat Kasepuhan memilih untuk tetap menumbuk padi secara tradisional demi menjaga keaslian dan nilai spiritual bahan pangan yang digunakan dalam ritual.
Bagi masyarakat Kasepuhan, padi bukan sekadar makanan. Ia adalah simbol kehidupan, dan proses penumbukannya memiliki dimensi spiritual yang mendalam. Penumbukan dengan mesin dianggap dapat menghilangkan “jiwa” dari padi, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi keberkahan hasil ritual. Oleh karena itu, meskipun ada cara yang lebih mudah dan cepat, mereka tetap mempertahankan cara-cara tradisional yang diwariskan oleh leluhur.
Di tengah perubahan zaman, tradisi seperti Rempugan menghadapi berbagai tantangan. Namun, semangat perempuan di Kasepuhan Pasir Eurih untuk menjaga warisan leluhur mereka tetap kuat. Dengan penuh dedikasi, mereka terus menjalankan tradisi ini, memastikan bahwa nilai-nilai budaya dan spiritual yang mereka pegang teguh tidak hilang ditelan modernisasi.
Pagi yang awalnya dingin dan berkabut di Kasepuhan Pasir Eurih berakhir dengan kekaguman kami terhadap kekuatan dan semangat para perempuan yang terus menjaga tradisi. Mereka adalah penjaga kehidupan, keseimbangan alam, dan warisan budaya yang telah bertahan selama berabad-abad di bawah bayangan megah Gunung Bongkok dan hamparan perbukitan ekosistem Halimun Salak yang kaya akan keanekaragaman hayati.
Tradisi Rempugan bukan hanya simbol keberlanjutan adat, tetapi juga bukti kuat bagaimana perempuan Kasepuhan berperan sebagai penjaga alam dan budaya di tengah tantangan zaman. Mereka adalah penjaga kehidupan, yang dengan setiap hentakan alu, terus menanamkan harapan dan keberlanjutan bagi generasi mendatang.