Reforma Agraria Sebagai Solusi Keadilan Sosial Ekologis

Koalisi masyarakat sipil yang beranggotakan sejumlah organisasi dan komunitas menyelenggarakan Konferensi Tenurial untuk ketiga kalinya. Konferensi tersebut dilaksanakan pada tanggal 16-17 Oktober 2023 di Gedung Serbaguna Gelora Bung Karno, Jakarta. Konferensi ini bertujuan untuk mendorong pelaksanaan reforma agraria serta pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) untuk mewujudkan keadilan sosial ekologis.

Kegiatan ini diawali dengan diskusi regional di 7 wilayah Indonesia pada bulan September. Membahas sejumlah krisis agraria di seluruh Indonesia untuk dijadikan acuan dalam penyusunan dokumen konsensus nasional di Konferensi Tenurial 2023.

Konferensi ini dimulai dengan ritual keselamatan dan kelancaran acara yang dipimpin oleh masyarakat adat dari Kasepuhan Cikarang. Dilanjutkan dengan pelaporan hasil Konferensi Regional dari region Jawa, Bali, Nusa, Papua, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Maluku dan pulau-pulau Keci. Pun, menghadirkan beberapa narasumber yang merepresentasikan gerakan, akademik, organisasi keagamaan, budayawan, dan generasi muda dalam mengulas keadilan sosial-ekologis agraria-SDA.

“Konferensi Tenurial 2023 menjadi sangat penting. Sebab akumulasi masalah agraria dan kerusakan alam yang mengamputasi hak-hak dasar masyarakat semakin masif terjadi di skala nasional. Krisis multidimensi ini membutuhkan responsif, sikap, dan aksi kolektif jaringan koalisi masyarakat sipil untuk keadilan tenurial dan gerakan rakyat lainnya,” ujar Dewi Kartika, Ketua Steering Committee saat pembukaan Konferensi Tenurial 2023.

Dalam paparannya, Dwi Kartika menyatakan bahwa konferensi ini secara strategis penting untuk membangun konsensus nasional. Untuk cita-cita keadilan sosial-ekologis melalui reforma agraria sejati dan pengelolaan sumber daya alam berkeadilan. Konsensus ke depan diharapkan menjadi agenda strategis, tawaran, sekaligus desakan solusi dari gerakan masyarakat sipil lintas sektor.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sebanyak 2.710 konflik agraria di Indonesia selama dua periode pemerintahan Joko Widodo. Sebagian didominasi oleh konsesi perkebunan. Sementara sebanyak 72% dari konflik sumber daya alam disebabkan oleh perusahaan swasta dan 13% terjadi pada Proyek Strategis Nasional (PSN).

“Indeks ketimpangan penguasaan tanah sudah mencapai puncak ketimpangan yang besar. Di mana 1% pengusaha dan pemodal menguasai 68% aset kekayaan tanah. Pada sektor perkebunan sawit saja kurang lebih 25 grup perusahaan dan konglomerasi mendominasi penguasaan tanah seluas 16,3 juta hektar. Lalu, klaim kawasan hutan seluas 30,7 hektar yang dikuasai oleh 500 perusahaan. Sementara pada bisnis pertambangan mencapai 37 hektar di seluruh wilayah Indonesia,” tambahnya.

Selain tanah dan SDA yang hanya dipandang sebagai barang ekonomi, Konferensi Tenurial 2023 juga menyoroti masih banyaknya ancaman agraria. Seperti suburnya praktik korupsi agraria-SDA oleh negara dan pengabaian prinsip Kesetaraan Gender, Disabilitas dan Inklusi Sosial (GEDSI).

Konferensi ini harapnya menjadi wadah konsolidasi gerakan masyarakat sipil lintas sektor. Seperti, petani, buruh, masyarakat adat, nelayan, komunitas miskin kota dan CSO di luar koalisi tenur. Sebanyak 750 peserta hadir dari Sabang hingga Merauke. 37,2% di antaranya adalah perempuan, yang juga termasuk dalam anggota komunitas adat.

Sebagai salah satu anggota koalisi tenurial, Direktur Eksekutif KEMITRAAN, Laode Muhammad Syarif, saat media gathering penyelenggaraan Konferensi Tenurial menyatakan bahwa pemerintah perlu untuk memenuhi janji dalam melindungi kelompok rentan, salah satunya, dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat. Pengesahan RUU ini juga menjadi salah satu yang ditekankan dalam Konferensi Tenurial kali ini.

Adapun ragam diskusi Panel dalam konferensi ini yakni, pertama, Tenurial di wilayah Otorita, Daerah Istimewa, dan Otonomi Khusus. Kedua, Perempuan, Generasi Muda, kelompok marginal dan rentan dalam krisis Agraria-SDA multidimensi. Ketiga, Tenurial wilayah tangkap nelayan, wilayah adat dan wilayah hidup masyarakat di pesisir dan pulau – pulau kecil.

Keempat, Hambatan politik dan kebijakan dalam pencapaian kedaulatan pangan. Kelima, Kondisi buruh di sektor industri ekstraktif (pertambangan, perkebunan, kehutanan dll). Keenam, Posisi masyarakat sipil dalam isu perubahan iklim, transisi energi, dan perdagangan karbon. Ketujuh, Reformasi pengakuan atas ragam hak dan kekayaan Agraria-SDA. Kedelapan, Perlindungan dan pemenuhan HAM bagi para pejuang lingkungan, agraria, dan masyarakat adat.
Kesembilan, Pengaruh politik global terhadap dinamika kebijakan Agraria-SDA nasional. Kesepuluh, Refleksi dan pembelajaran kemenangan rakyat untuk pembentukan lembaga pelaksana Reforma Agraria Sejati dan pengelolaan SDA.

“Di kampung kami perempuan tidak ada ruang untuk berbicara, jika perempuan berbicara maka bapak-bapak akan tidak setuju. Hutan menjadi tempat kami untuk berbicara, untuk sumber kehidupan, namun hutan kami ditebang. Sehingga perempuan adat Bersatu untuk memperjuangkan hutannya, karena hutan yang menafkahi anak-anak. Pemerintah tidak merespons sama sekali permasalahan ini,” ujar Mama Marice, Ketua Pengurus Perempuan AMAN Tobati, Jayapura.

Di panel yang sama Hasnia, Komunitas Perempuan Pesisir Sumbawa, juga mengatakan bahwa beban perempuan tidak hanya di domestik saja. Tetapi juga di ruang publik yang dianggap mempunyai kewajiban untuk mendukung suami mencari nafkah tambahan. Hal ini mengakibatkan perempuan tidak terlibat dalam ranah yang luas, dan tidak terlibat aktif pada isu-isu gender. Oleh karena itu, penting untuk melakukan pendidikan kritis sebagai modal utama agar perempuan tidak di eksploitasi serta membangun kesadaran.

Ada empat hasil Konsensus Nasional 2023 Konferensi Tenurial 2023. Pertama, meluruskan dan mengoreksi paradigma, kebijakan, praktik reformasi agraria, dan pengolahan sumber daya alam. Serta peraturan lain yang kontra terhadap keadilan sosial-ekologis, serta rekomendasi menyusun RUU Agraria dan mempercepat pengesahan RUU Masyarakat Adat. Kedua, melakukan reformasi kelembagaan untuk memastikan terwujudnya reforma agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan. Ketiga, mempercepat dan mengembangkan pengakuan negara atas keragaman bentuk penguasaan kekayaan agraria-SDA, baik di darat, pesisir, dan pulau-pulau kecil. Keempat, memastikan perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAM bagi masyarakat adat, petani, nelayan dan perempuan yang berjuang.

Empat rekomendasi tersebut diharapkan dapat mendorong pemerintah menciptakan sebuah mekanisme yang berkeadilan dan inklusif bagi seluruh lapisan masyarakatnya.

Penulis :

Melia