Jalan berlubang dan berbatu kala memasuki Desa Perupuk, Kecamatan Batubara, Deli Serdang, Sumatera Utara. Siang itu, cuaca panas terik. Kanan dan kiro sawah dengan padi terhampar luas. Ada juga kebun sawit. Sebagian kebun sawit tampak tak terurus, ada yang tergerus, terkena abrasi laut.
Dua lelaki tua bercelana selutut dan baju lusuh membawa parang dan cangkul. Mereka adalah Pak Agus dan Pak Hamzah, dua petani Desa Perupuk yang baru pulang dari kebun. Mereka meletakkan barang bawaan dekat pohon mangga depan rumah.
“Kondisi sudah berubah. Sejak 10 tahun lalu, sawit di desa ini sudah banyak tidak terawat. Ini akibat air asin dari laut masuk ke kebun sawit warga,” kata Agus memulai percakapan.
Dia mengatakan, warga tanam sawit secara otodidak hingga kurang pengetahuan soal tata kelola dan perawatan. Warga, katanya, tanam dengan dana dan kemampuan seadanya. Sejak 10 tahun lalu, kata Agus, pemerintah desa sampai kabupaten tidak pernah memberikan perhatian soal kesejahteraan maupun kebun sawit warga Desa Perupuk. Padahal, katanya, warga mengeluhkan soal abrasi daerah pesisir pantai yang menyebabkan mangrove terkikis. Dampaknya, abrasi terus meluas hingga mengancam lahan termasuk kebun sawit.
“Ketika air laut naik pasang, air akan masuk ke lahan sawit. Pasti air akan langsung masuk ke tanah dan mengenai akar dari sawit,” katanya.
Sebenarnya, kata Agus, garam bisa saja jadi pupuk tetapi kalau berlebihan tak bagus bagi tanaman termasuk sawit. Hamzah mengamini apa yang disampaikan Agus. Dia bilang, warga kebanyakan harus mengeluarkan dana ekstra untuk perawatan sawit mereka. Kondisi ini, membuat tak seimbang antara pendapatan dan biaya perawatan.
“Harga pupuk berkisar Rp250.000, bisa lebih. Biasa pun kami membayar gak langsung lunas tapi menyicil sampai masa panen tiba. Itu pun kalau didukung hasil panen rutin serta hasil banyak dan bagus. Kalau tidak, bisa jadi petani sawit berutang atau alami kerugian besar,” katanya, seraya bilang, dulu petani bisa panen seminggu sekali karena buah banyak. Kini, panen dua minggu sekali. Kondisi susah, terlebih masa pandemi menimbulkan masalah baru, banyak yang mencuri buah sawit petani.
Hamzah bilang, tak bisa mengawasi kebun sawit selama 24 jam karena harus pulang ke rumah. Pun tak ada biaya untuk membayar jasa penjaga kebun sawit.
Agus menimpali, kondisi sulit terlebih masa pandemi ini, warga rawat sawit seadanya. Mereka lakukan antara lain, meninggikan kebun sawit dengan tanah agar air laut tak masuk, rajin memotong pelepah tua serta memberikan pupuk.
Dengan bergantung pada sawit, keluarga Agus tak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka pun harus mencari pekerjaan sampingan.
“Biasa ada petani sawit juga menerima jadi jasa memanen di kebun orang lain. Bisa saja kebun sawit atau kebun lain,” katanya.
Tugas mereka, kata Agus, memanen kebun orang. Biasa ini terjadi pada pemilik kebun cukup berada dan tak sempat panen sendiri. Agus dan Hamzah berharap, pemerintah tidak hanya diam. Kondisi petani tambah sulit kala tata niaga panjang. Sawit–sawit petani masuk ke tengkulak yang bertindak sebagai agen, baru masuk ke pabrik. Petani tak bisa langsung menjual hasil sawit ke pabrik. Pabrik terdekat dari desa milik PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II).
“Akhirnya, kami petani sawit di desa ini tetap lakukan sebisa mungkin. Harus pintar-pintar mengelola walau biaya minim dan seadanya,” kata Agus. Ipah, petani perempuan Desa Perupuk juga cerita kesulitan berkebun sawit terlebih di masa pandemi belakangan ini.
“Sejak suami saya meninggal, saya harus banting tulang menghidupi keluarga dan mengelola sendirian kebun sawit peninggalan almarhum suami,” kata orangtua tunggal dua anak ini.
Dia melanjutkan kelola sawit dari sang suami yang meninggal dunia lima tahun lalu. Dia tak punya pengetahuan tentang pengelolaan sawit. Kebun sawitnya kini makin tak terurus karena dia juga harus mengurus anak di rumah. Karena keterbatasan dana, Ipah jarang beri pupuk, tambah parah lagi kala air laut masuk ke kebun sawit. Dia pun sering gagal panen atau tidak mendapatkan buah sawit banyak untuk dijual. Harga pupuk mahal, Ipah pun tidak punya uang untuk membeli.
Biasa Ipah ke kebun tiga kali seminggu untuk memantau dan membersihkan lahan bersama anak pertamanya. Dia membersihkan lahan dari sampah yang berserakan dan mencangkul tanah agar gembur. Juga memotong pelepah-pelepah tua. Dia juga memilih buah sawit yang berjatuhan.
Buah sawit Ipah sering busuk dan atau tak matang tetapi berguguran hingga tak layak jual. Sedikit sekali hasil panen sawit Ipah bisa jual ke tengkulak. Dia bilang, hanya mampu hasilkan 200 kilogram setiap panen dua minggu sekali dengan harga sekitar Rp900 per kg. Dengan hasil sebesar itu, katanya, tak bisa memenuhi keperluan keluarga dan sekolah kedua anaknya.
Ipah pun harus mencari pekerjaan sampingan untuk menambah pendapatan keluarga. Kadang, dia jadi buruh di kebun milik orang lain. Baginya, jelas tak bisa mengantungkan hidup hanya dari kebun sawit. Saat jadi buruh sawit, dia dapat upah Rp300 perkg hasil panen. Bantuan kepada petani sawit dari pemerintah desa maupun pemerintah kabupaten, katanya, minim. Dia berharap, pemerintah beri bantuan kepada petani di Perupuk agar bisa merawat dan mengelola sawit dengan berkelanjutan. “Bagaimanapun petani ada di Perupuk masih menggantungkan pendapatan dari hasil sawit.”
Kesulitan serupa juga dialami petani perempuan lain, Ilis. Suaminya sudah meninggal dunia tujuh tahun lalu hingga perawatan kebun sawit bertumpu di Ilis. Kebunnya ada di pesisir. Anak-anak merantau mencari kerja karena tinggal di desa serba sulit. Dia bilang, kehidupan petani sawit di desa itu memperihatinkan. Kondisi tambah parah kala pandemi dan harga sawit tak membaik sedang harga keperluan pokok terus merangkak. Harga sawit petani, katanya, tergantung tengkulak.
Pada Maret lalu, harga buah sawit Rp800-Rp1.000 per kg. “Enggak menentu soal harga. Lagi-lagi ini disesuaikan dengan harga tengkulak. Kami para petani tidak bisa mengelak karena kalau tidak sawit tidak laku. Mau tidak mau harus menerima berapa pun harga yang ditentukan,” katanya.
Sekali panen Ilis bisa hasilkan 250 kilogram, dengan harga jual per kg Rp900. Dalam sebulan Ilis peroleh pendapatan sekitar Rp500.000. Pendapatan sebesar itu, katanya, tentu tak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sama seperti Ipah, Ilis pun mencari pekerjaan sampingan guna mencukupi keperluan keluarga. Dia juga jadi buruh di kebun orang lain baik kebun cabai, bawang dan lain-lain. Upah dari buruh kebun itu biasa dapat Rp30.000-Rp50.000 per hari.
“Kalau nggak seperti itu gak akan bisa. Semua bahan pokok mahal, belum kebutuhan rumah tangga seperti listrik dan air. Terkadang harus gali lubang, tutup lubang.” Ilis berharap, pemerintah memberikan perhatian kepada para petani kecil.
Avena Matondang, antropolog mengatakan, seharusnya ada wadah yang menaungi petani dalam mengelola kebun sawit. Pemerintah dan perusahaan sawit, katanya, harus bertanggung jawab membantu warga di daerah itu. “Bagaimana pun mereka mendapatkan keuntungan dari sawit itu.”
Tirza Pandelaki, Manajer Program dan Kemitraan, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengatakan, rantai pasok sawit di Desa Perupuk, terlalu panjang. Petani, katanya, tidak bisa langsung jual ke pabrik. “Saat ini, petani terkurung jual ke tengkulak, ada kesepakatan non formal atau tidak di atas kontrak kerja.” Tirza mendesak, pemerintah memberikan fasilitas untuk menghidupkan kelembagaan dan menemukan pola kerjasama lebih seimbang serta menyejahterakan petani.