Indonesia memiliki lautan yang luas dan pesisir yang indah. Tidak hanya sekadar lanskap yang memukau mata, tetapi juga keseimbangan ekosistem yang rapuh. Dalam perjuangan melindungi keanekaragaman hayati, perempuan adat telah memainkan peran sentral yang sering kali terlupakan.
Perempuan, sering kali terhubung secara emosional dengan laut dan pesisir. Mereka bukan hanya pengamat pasif, tetapi penggagas aksi nyata. Di berbagai komunitas pesisir, perempuan memegang peran kunci dalam menjaga kebersihan pantai, mendukung ekowisata, dan memastikan keberlanjutan sumber daya laut.
Salah satunya, kisah Asmania, kelompok perempuan adat Pulau Pari di Kepulauan Seribu. Dirinya dan beberapa nelayan lainnya saat ini berjuang di pengadilan Swiss. Mereka menuntut hak wilayah mereka yang saat ini belum ada titik terang. Sejak perusahaan semen, PT Holcim datang dan merusak ekosistem di Pulau Pari, masyarakat pesisir merasa sangat dirugikan dan kehilangan segalanya. Mata pencaharian semakin menurun, biodiversity laut yang semakin hilang, dan kekerasan berlapis yang dirasakan oleh perempuan pesisir.
“Ketika para suami tidak mendapat ikan di laut untuk dijual, maka kami para ibu-ibu akan berusaha lebih keras lagi. Kami harus membantu menambah penghasilan di rumah,” jelas Asmania di acara Green Press Community, Kamis, 9 November 2023 di Pusat Perfiliman Usman Ismail.
Asmania menceritakan bagaimana perusahaan industri ekstraktif merusak wilayah pesisir dengan limbah kimia. Sehingga, ikan di laut menjadi mati, tanaman mangrove menjadi rusak dan terumbu karang pun hancur. Hal ini juga menjadi ketakutan masyarakat Pulau Pari ketika perubahan iklim terjadi.
“Gelombang air akan besar dan dengan rusaknya ekosistem di laut, akan mudah terjadi abrasi,” jelasnya.
Asmania menambahkan saat ini para perempuan adat pesisir memanfaatkan sepetak tanah untuk menanam dan menambahkan pendapatan untuk kebutuhan di keluarga. Mereka menanam sayur dan padi. Akan tetapi, dengan iklim yang tidak menentu, membuat tanaman mereka kering dan tidak tumbuh lagi. “Padahal dengan menanam kami melawan. Tapi kalau sudah begini akan semakin sulit kondisinya,” tambahnya.
Apa yang dialami Asmania, menjadi refleksi bagaimana keterlibatan perempuan adat bukan hanya terbatas pada aspek lingkungan. Tetapi juga mencakup dimensi ekonomi dan sosial. Di banyak daerah, perempuan adat memimpin usaha mikro kecil yang berfokus pada produk dan jasa berbasis laut. Memberikan dampak positif pada perekonomian lokal dan mendukung kemandirian finansial perempuan adat. Pemberdayaan ekonomi ini memainkan peran penting dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Seperti halnya yang disampaikan oleh Hilda Lionata, Manager Program Kelautan Yayasan Konservasi Alam Nusantara. Di mana para perempuan adat khususnya yang tinggal di pesisir laut timur, memiliki kearifan lokal yang dapat melindungi biodiversitas laut. Di Maluku, misalnya, mama-mama masih menggunakan tradisi kearifan lokal bernama Sasi.
Sasi merupakan tradisi berisikan aturan untuk tidak mengambil hasil laut maupun di darat dalam jangka waktu tertentu. Sasi menjadi aturan adat yang dapat menjaga lingkungan pesisir dan konservasi laut. Ketika menangkap ikan di laut, masyarakat di Maluku akan melakukan ritual terlebih dahulu dipimpin oleh kepala adat atau tokoh agama. Pun, ketika menangkap ikan, mereka tidak akan menggunakan alat yang dapat merusak ekosistem. Tetapi mereka akan menyebarkan umpan makanan ke laut untuk memancing ikan datang.
“Bahan yang digunakan pun tidak berasal dari bahan kimia. Mereka menggunakan bahan yang ramah lingkungan dan tidak merusak ekosistem di laut,” jelas Hilda.
Hilda juga menambahkan, hasil tangkapan ikan di laut akan dijual untuk menambah pendapatan kebutuhan di rumah. Namun, hasil pendapatan itu tidak akan dipakai seluruhnya. Masyarakat Maluku akan menyimpan sisa pendapatan untuk membantu tetangga keluarga yang anaknya ingin sekolah atau kuliah. “Jadi siapapun mereka yang tidak sanggup menyekolahkan atau menguliahkan anaknya, akan dibantu kebutuhannya dengan tabungan pendapatan ini,” tegasnya.
Dari tradisi yang ada di Maluku, menyadarkan kita bahwa perempuan sangat berperan dalam menjaga keseimbangan laut dan pesisir, kata Hilda. Para mama dan perempuan yang ada di Timur tidak serakah dan berusaha agar semua orang mendapatkan akses yang baik.
Hilda menambahkan, masih ada tantangan yang harus diatasi. Seperti, stereotip gender, terbatasnya pendidikan dan pelatihan, serta minimnya representasi perempuan dalam pengambilan keputusan.
“Strategi kami mungkin tidak frontal. Namun, kami berusaha bagaimana perempuan yang tinggal di pesisir dan laut dapat berdaya oleh kemampuan serta tradisi mereka sendiri. Sehingga masyarakat bisa berdaya tanpa pemerintah. Mereka akan dengan mudah mengelola sumber daya alam mereka tanpa ada intervensi,” tegas Hilda.
Dari cerita di atas, kita tidak hanya sekadar menyadari dan mengakui. Tetapi juga mendukung keterlibatan perempuan dalam konservasi laut dan pesisir. Dengan memberdayakan perempuan secara penuh, kita dapat menciptakan perubahan positif. Juga upaya melindungi kehidupan laut dan memastikan kelangsungan ekosistem pesisir.
Melalui pemahaman yang lebih mendalam, tentang peran perempuan dalam konservasi laut dan pesisir, kita dapat bersama-sama membentuk masa depan yang berkelanjutan dan penuh keadilan bagi alam dan masyarakat. Mengutip dari pemaparan Susi Pudjiastuti, Menteri KKP 2014-2019, pada Green Press Community tersebut, “Suarakan dan edukasi terus-menerus. Baik dalam ruang diskusi, pelatihan dan ruang-ruang lainnya. Pekerjaan ini tidak mudah, jadi kita harus berjuang bersama-sama dan melakukannya bersama-sama.”